SISI KEHIDUPAN: Menikmati Musik Dunia Dari Worhopadha: "Dari Mata Belok ke Telinga"

redaksi - Minggu, 25 April 2021 16:13
SISI KEHIDUPAN: Menikmati Musik Dunia Dari Worhopadha: "Dari Mata Belok ke Telinga"The Tilman Brothers in action (Foto: Istimewa) (sumber: null)

Oleh: Anthony Tonggo*

SAYA percaya,  orang Ende yang lahir setelah era 1970an,  tak pernah lagi memikmati suguhan musik yang atraktif.  Itu lantaran pemusik lokal maupun nasional sudah menempatkan musik sebagai seni yang dinikmati lewat indra telinga, yang mengandalkan bunyi.

Ini berbeda dengan pemusik lokal Ende hingga dunia di era 1960an -  1970an yang memandang musik sebagai sebuah atraksi yang dinikmati lewat indra telinga dan mata.

Anda yang lahir pasca-1970an hanya menikmati harmoni bunyi dari para pemusik,  dan juga mata hanya menikmati tampilan fisik pemusik dan asesoris panggungnya. Namun di era 60an - 70an,  selain menikmati bunyinya,  kami juga disuguhkan atraksi permainan yang memikatkan mata. Bagaimana tidak!?

Tahun 1960an hingga 1970an,  di halaman gereja St. Maria Sofia Barat,  Kombandaru,  Nangaba, Ende,  saya sudah menyaksikan atraksi band "Pancaran Moeda" dari kampung Worhopadha (antara Kombandaru dan Nuabosi) yang digawangi Bele Mada -  Kako -  Rhengi-Cs. Mereka ini bermain gitar sudah pakai gigi, memetik gitar dari punggung atau pinggang,  dan memetik gitar di bawah selangkangan.  

Sekarang,  Anda bandingkan dengan pemusik zaman now! Dari pemusik lokal Ende hingga nasional; main gitarnya pasti standar.  Gitarnya digendong-peluk,  lalu jarinya digaruk ke tali gitar, berdiri lurus di tempat atau jalan pelan.

Ternyata setelah saya ke kota dan membaca media massa,  ternasuk tv,  di panggung musik dunia pun sama seperti Bele Mada-Kako-Rhengi Cs.  Sebutlah The Tielman Brother di Belanda,  The Beatles dan Rolling Stone di Inggris,  hingga Richard Bebeto Cs.,  pun beratraksi yang sama.  Main gitar pakai gigi,  gitar di punggung dan pinggang,  gitar di selangkangan,  main gitar dengan kaki naik di atas gitar,  main orgen pakai kaki,  main piano sambil berjalan mengitari pianonya, main piano sambil membelakangi pianonya, dll.

Panggung rock Indonesia pun pernah dihebohkan atrakasi nyentrik ala Ucok Aka (Harahap) di Surabaya. Mulai dari terjun pakai tali ke atas panggung kepala ke bawah hingga membakar diri dan kucing di atas panggung. Bahkan Ucok Harahap-lah yang pertama menggabungkan musik dengan dunia magic.

Inilah pemusik-pemusik bersejarah di panggung lokal hingga dunia yang menghipnotis para penggemarnya.

Apakah band Pancaran Moeda Worhopadha meniru The Tielman Brother,  The Beatles,  Rolling Stone,  dll.?

Aksi Khas Anak NTT

PANGGUNG musik dunia yang atraktit itu berawal dari The Tielman Brother.  The Tielman Brother adalah anak-anak Keluarga Tielman asal Timor, NTT.  Ketika di NTT,  band ini bernama The Timor Band.  Merekalah band tertua di Indonesia.

Ketika Andy Tielman dan saudara-saudaraya pindah ke Belanda,  di daratan Eropa jadi heboh dengan atraksi panggung mereka.  Unik,  aneh,  dan orisinal. Akhirnya orang Eropa menamainya The New Rock. Atraksinya khas anak desa NTT.

Dunia pun heboh dengan The Tielman Brother.  Muncullah aliran baru,  yaitu Rock and Roll.  Bermunculanlah rock and roll di mana-mana di seluruh sunia.  Mulai dari The Beatles dan The Rolling Stone di Inggris  hingga Elvys Presley di AS.

Lalu,  siapa meniru siapa? 

APA yang saya saksikan di Kombandaru di tahun 1960an -  1970an oleh Pancaran Moeda Worhopadha bukanlah sebuah tiruan dari dunia,  tapi aslinya gaya atraksi lucu-bernyalinya anak desa di NTT.  Toh rock and roll dilahirkan The Tielman Brother asal NTT, sedangkan Tielmen adalah keturunan Belanda (kawin dengan gadis desa di Timor).  Jadi,  The Tielman Brother adalah contoh khasnya anak NTT.

Jadi, Pancaran Moeda Worhopadha itu adalah aslinya anak desa di Ende khususnya,  Flores umumnya. Bedanya cuma mereka tidak naik ke panggung nasional dan dunia seperti Ucok AKA dan The Tielman Brother.

Pertanyaannya: Mengapa pemusik NTT pasca-The Tielman Brother tidak setenar The Tielman Brother? Anda pasti tahu jawabnya,  khan? Karena pemusik NTT kini ramai-ramai meniru dari luar,  sudah tidak berdasarkan keunikan yang khas ada pada anak NTT sendiri. Ada yang meniru dangdut,  meniru Jawa,  meniru Eropa,  dll. Kalau cuma meniru,  orang tidak suka tiruannya,  orang suka cari yang aslinya. (*)

* Anthony Tonggo, Penikmat Seni, Asal Ende,  tinggal di Yogyakarta. 

RELATED NEWS