SOROTAN: Frasa Pidato Politik 'Tukang Jual Obat' vs Semboyan 'To'o Jogho Waga Sama'
redaksi - Jumat, 07 Maret 2025 15:26
Oleh: Maxi Ali Perajaka
KATA-KATA memiliki banyak kekuatan dalam konteks apa pun. Dalam politik, kekuatan kata-kata dianggap sebagai "wacana" – sebuah elemen yang tidak terpisahkan dari filsafat politik pascastruktural.
"Kata-kata" adalah sistem linguistik yang mengatur pernyataan dan konsep yang digunakan orang untuk memahami dunia.
Semua komunikasi antara entitas politik, antara pemerintah dan rakyatnya, dan antara pemimpin dan pengikutnya dilakukan melalui media yang dibuat dengan pemilihan kata yang cermat.
Kata-kata ini tidak netral dan memiliki implikasi politik.
Misalnya, dalam sistem politik internasional, ketika pembunuhan massal disebut sebagai "genosida", hal itu menghasilkan respons politik yang kuat dari komunitas internasional. Tetapi, jika pembunuhan yang sama disebut sebagai "perang suku", hal itu akan menghasilkan respons politik yang kurang proaktif.
Kata-kata pada dasarnya memiliki kekuatan untuk membentuk peristiwa dan hasil politik.
Misalnya, terminologi baru-baru ini, "politik bahasa", dijelaskan oleh Noam Chomsky dalam tulisannya bahwa "bahasa" adalah mata uang kekuasaan dalam pemilihan umum.
Menurut dia, kata-kata memiliki kekuatan untuk menginspirasi, mengaspirasi, memanipulasi, dan menekan semua jenis emosi dalam diri orang.
Pada umumnya politisi dengan mudah menggunakan kekuatan kata-kata dalam pidato mereka untuk memengaruhi pemilih.
Dalam komunitas internasional, politisi secara gamblang menggunakan label tertentu terhadap musuh mereka .
Misalnya, pemerintahan Bush menggunakan kata-kata “poros kejahatan” berulang kali, untuk melabeli Iran, Irak, dan Korea Utara. Ini adalah sebuah frasa yang berdampak kuat karena membentuk persepsi komunitas internasional terhadap negara-negara ini dalam jangka waktu panjang.
Frasa ‘tukang jual obat’, jejak digital yang sulit hilang
Mungkin karena terlalu bersemangat memulai tugas sebagai Kepala Daerah Kabupaen Nagekeo peride 2025-2029, Bupati Simplisius Donatus keseleo lidah menyebut frasa ‘tukang jual obat’ ketika menyampaikan Kata Sambutan usai Misa Perutusan Bupati dan Wakil Bupati Nagekeo, bertajuk 'Segalanya Hanya Bagi Tuhan dan Sesama," di Lapangan Berdikari, Danga, Selasa (4/3).
Meski tidak secara eksplisit kepada siapa label itu hendak disematkan, publik dengan mudah mengasosi bahwa label itu ditujukan salah satu atau semua tiga kontestan Pilkada 2024.
Mereka disebut ‘tukang jual obat’ karena lebih menekankan gaya dan tutur kata seperti yang dilakukan tukang jual obat di sejumlah pasar tradisional di Flores.
Tentu saja, dalam semangat ‘to’o jogho waga sama’ setiap warga Nagekeo, termasuk yang diaspora, berupaya memahami frasa ‘tukang jual obat’ itu secara positif. Artinya, sebagai frasa sentilan bernada humor.
Namun, yang tak dapat dipungkiri’ adalah bahwa frasa tersebut terlanjur diucapkan dan menggaung luas melalui media online dan medsos.
Frasa itu telah menimbulkan ‘jejak digital’ yang akan selalu terngiang, paling tidak selama pemerintahan Bupati Simplisius, 2025-2029.
Membangkitkan emosi dan persepsi publik
Pakar dan peneliti bidang komunikasi politik dari Universitas Pisa, Italia: Bracciale R., Andretta M., Martella A, (2017) mencirikan empat gaya bahasa komunikasi politik sebagai berikut.
Pertama, gaya bahasa melibatkan atau engaging (positif dan tidak agresif): Frasa politik untuk melibatkan pendukung dalam isu politik, mempromosikan diri sendiri dan partai, serta mengajak pendukung untuk bertindak atau meminta interaksi.
Kedua, gaya bahasa intim atau intimate (positif dan personal): Frasa politik yang membangun diskusi nonpolitik seputar emosi bersama dan aspek kehidupan pribadi.
Ketiga, gaya juara rakyat atau champion of the people (negatif dan agresif): Frasa politik yang menggunakan nada agresif untuk terlibat dalam penyederhanaan, pengambilan posisi, dan pelanggaran tabu untuk menggambarkan diri sebagai pembela rakyat terhadap "kemapanan."
Keempat, gaya orang di jalan atau man on the street (negatif dan agresif: Frasa politik yang menggunakan bahasa vulgar, emosi negatif, dan aktualisasi instrumental untuk melegitimasi diri di mata rakyat
Pada hakekatnya frasa politik diucapkan di forum publik dengan tujuan untuk menginspirasi, memanipulasi, dan membangkitkan berbagai macam persepsi dan emosi dari orang yang mendengarkannya.
Oleh karena frase politik dapat berimplikasi negatif, maka para ilmuwan komunikasi politik selalu mengingatkan supaya orang-orang dalam dunia politik (para politisi dan pejabat publik) supaya memilih kata-kata mereka dengan hati-hati, baik ketika mereka membuat poster kampanye dan berpidato di hadapan publik.
Peringatan itu sangat penting karena di setiap era, bahasa politik membentuk arah suatu bangsa.
Ingat, melalui pidato-pidatonya, Bung Karno menggelorakan semangat warga bangsa Indonesia untuk berjuang demi kemerdekaan RI. Melalui pidatonya pula Bung Karno mengobarkan bangsa Indonesia membela kemerdekaan RI.
Sayangnya, meskipun retorika selalu menjadi alat persuasi, dalam beberapa tahun terakhir, kita menyaksikan retorika -sejumlah politisi di tingkat nasional maupun daerah di Indonesia- berubah menjadi sesuatu yang berbahaya.
Melalui poster kampanye dan pidato, tak sedikit politisi kita menghasut dan mencemoohkan lawan politik sehingga memecah belah masyarakat dan merusak proses politik kita.
Politisi, yang didorong oleh kebutuhan untuk menarik perhatian dan memberi energi pada basis mereka, gemar menggunakan frasa bahasa yang sarat emosi, cenderung menyederhanakan isu, mengaburkan penilaian, dan melemahkan lembaga demokrasi.
Mirisnya, media dan medsos -yang diharapkan sebagai wahana pembawa penecerahan dan pemersatu masyarakat - justru ikut berperan dalam memperkuat retorika politis yang berkontribusi pada lahirnya masalah disinformasi dan keretakan sosial.
Mentalitas "kami vs. mereka"
Tak dapat dpungkiri bahwa dunia politik, berkembang subut mentalitas "kami vs. mereka".
Makanya, tak jarang para politisi mengandalkan daya tarik emosional yang mengeksploitasi ketakutan dan ketidakamanan, yang mengadu domba kelompok yang berbeda satu sama lain.
Mentalitas ‘kami vs mereka’ tidak hanya memperdalam polarisasi politik tetapi juga memecah belah masyarakat, melemahkan tatanan sosial yang menyatukan kita.
Kerusakannya melampaui hubungan pribadi—kerusakan ini memengaruhi lembaga politik kita, bahkan tatanan pemerintahan daerah dan negara kita.
Semakin sering bahasa yang menghasut digunakan untuk menyerang lembaga-lembaga seperti lembaga legislatif atau DPR (D), lembaga eksekutif (presiden, gubernur dan pupati/walikota), lembaga yudikatif, lembaga negara yang bersifat independe seperti KPK, kepolisian, partai politik atau pun media, kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga ini pun terkikis.
Seiring berjalannya waktu, warga negara menjadi kecewa dengan sistem yang dirancang untuk melindungi hak-hak mereka dan menegakkan hukum. Ketika kepercayaan terhadap lembaga menurun, seluruh proses demokrasi pun terganggu.
Dalam konteks ini, penting untuk menyadari bahwa anggota lembaga politik atau negara dan anggota media, mesti mengembangkan kewajiban moral untuk tidak berkontribusi terhadap pelemahan demokrasi dan perpecahan masyarakat ini.
Sebab dengan mengedepankan retorika politik yang ‘negatif dan agresif’, mereka memperparah masalah bangsa dan negara, semakin mengikis kepercayaan publik, dan melemahkan fondasi demokrasi.
Pertarungan antara "baik" dan "jahat
Salah satu aspek retorika politik yang menghasut yang paling berbahaya adalah ketergantungannya pada pernyataan singkat—pernyataan yang singkat dan terlalu disederhanakan yang sesuai dengan siklus berita 24 jam.
Pernyataan singkat ini sering kali berfokus pada isu-isu yang emosional atau berbasis identitas, sehingga memudahkan orang untuk membentuk opini tanpa sepenuhnya memahami kompleksitas topik yang sedang dibahas.
Misalnya, alih-alih bergulat dengan nuansa kebijakan, pernyataan singkat mungkin membingkai isu tersebut sebagai pertarungan antara "baik" dan "jahat."
Penyederhanaan ini menyebabkan reaksi spontan, mengaburkan kemampuan orang untuk berpikir kritis.
Ketika publik dipengaruhi oleh emosi daripada bukti, kualitas pengambilan keputusan dalam pemilu menurun.
Warga menjadi rentan terhadap pesan yang manipulatif, sering kali memilih kandidat atau kebijakan berdasarkan perasaan daripada fakta.
Politisi dan media, pegiat medsos ikut bertanggung jawab
Sejatinya, politisi, pejabat publik, pelaku media dan pegiat medsos memiliki pengaruh yang sangat besar dalam kancah politik dan pembangunan.
Secara moral mereka ‘terpanggil’ dan bertanggung jawab untuk membina persatuan dan dialog yang konstruktif daripada memperdalam perpecahan masyarakat.
Pertanyaannya, mengapa politisi, pelaku media dan pegiat media sosial (medsos) terlibat dalam retorika politik yang menghasut, meskipun mereka tahu kerusakan yang dapat ditimbulkannya?
Jawabannya sederhana: kesuksesan!
Di era kecanggihan teknologi dengan pasokan informasi yang berlebihan ini, makna ‘kesuksesan’ bermula dari kemampuan untuk menarik perhatian’ (menjadi viral). Viral menjadi ‘kunci sukses’. Ujung terakhir dari ‘kesuksesan’ adalah kelimphan uang dan harta benda.
Retorika yang menghasut atau frasa politik yang ‘negatif dan agresif’ biasanya mudah sekali menembus kebisingan sosial. Hal itu memungkinkan politisi dan pelaku media -juga pegiat medsos- tampak ‘menonjol’ di kalangan publik.
Tentu saja ‘frasa politik yang agresif dan negatif’ itu juga berfungsi untuk memberi semacam energi pada basis politisi.
Melalui wacana dengan ‘frasa politik yang agresif dan negatif’, seorang politisi meraup ‘kesukesan’. Pada masa kampanye pemilu ia dapat meningkatkan partisipasi pemilih, dan saat sudah terpilih sebagai pejabat publik ia dapat meraih dukungan setia dari massa pendukungnya.
Bagi media (medsos), ‘‘frasa politik yang agresif dan negatif’ menjadi konten yang dapat memuaskan dahaga audiens. Konten itu dapat memicu emosi audiens untuk meng-klik dan share sehingga rating media (medsos) pun terangkat.
Namun, semua ini tidak gratis, tetapi ada ‘harga’ yang harus dibayar. Ketika melontarkan ‘frasa politik yang agresif dan negatif’’, seorang politisi dan kelompoknya boleh saja merasa ‘tersanjung’ di hadapan basis massa pendukungnya.
Namun, politisi dan basis pendukung yang berada di sisi lain spektrum politik akan merasa terpojokkan.
Nah, pada titik ini, ‘frasa politik yang agresif dan negatif’ justru menuntut ‘harga mahal’ yang harus dibayarkan. Sebab, frasa itu menjadi semacam ‘monster' yang siap menyerang balik politisi yang berada di arena kekuasaan dan bidang pelayanan publik.
Semenjak itu ia harus ‘waspada’ dan tak bisa lagi fokus ‘melayani publik’ karena merasa dibayang-bayangi oleh ‘monster’ yang tak kelihatan, tetapi dirasakan sebagai sungguh nyata.
Selanjutnya mereka akan mengalokasikan sebagian sumber daya yang dimiliknya -energi/tenaga, waktu dan uang untuk membangun ‘benteng pertahanan’ guna meredan atau pun menangkis serangan ‘monster’ yang dibayangkan seakan-akan datang pihak yang berada dalam spektrum politik yang berbeda.
Secara psikologis, sikap berwaspada dan membangun ‘benteng pertahanan diri’ dibenarkan, setidaknya melalui teori afirmasi diri yang dipublikasikan Claude Steele (1988).
Tentu saja mekanis pertahanan diri ini ‘berguna’ bagi si politisi dan kelompoknya sendiri, setidak-tidaknya untuk periode waktu yang sementara. Tetapi hal itu tak akan bermanfaat apa-apa bagi publik yaitu rakyat yang menjad sasaran komitmen pelayanan.
Dalam konteks ini, kita pun sedikit dapat memahami bahwa setiap lima tahun, di negeri kita ini selalu muncul evaluasi dan komentar bernada kecewa bahwa pemimpin pemerintahan tak membawa kemajuan/perubahan seperti yang dijanjikan masa kampanye., atau tekad pembangunan sesaat setelah dilantik menjadi pejabat publik.
Alasannya, bukan karena pemimpin terpilih tidak memiliki kompetensi dan tak memiliki komitmen, tetapi karena ia (mereka) tak punya energi dan waktu berkolaborasi dengan seluruh ‘kekuatan’ yang ada di wilayah pemerintahannya’.
Sebaliknya, mereka menguras sebagian daya pikiran dan energinya untuk ‘membangun benteng pertahanan diri’ guna menghadapi ‘monster’ atau kritik dari kekuatan sosial politik di luar kelompoknya sendiri.
Lalu, di mana posisi rakyat yang ‘kesejahteraanya’ dijadikan topik utama wacana para politisi?
Rakyat itu ibarat pemilik toko-toko di Inggris pada akhir tahun 1800-an. Menurut sejarah bisnis, para pemilik tokoh di Inggris kala itu tak punya harapan sedikit pun pada perhatian pemerintah kerajaan.
Sebagai ekspresi kekesalan, para pemilik toko itu mempopulerkan ungkapan dalam rupa frasa ‘business as usual’ (berbisnis seperti biasa'). Artinya, mereka akan terus beroperasi (membuka toko) seperti biasa meskipun terjadi keadaan darurat di kota atau di kampung halaman mereka.
Dalam lima tahun ke depan, rakyat Nagekeo sepertinya akan menghayati frasa ‘business as usual’ atau ‘menjalani kehidupan harian seperti biasa.”
Aertinya, kalau pemerintah daerah (Pemda Nagekeo) ‘menyapa’ mereka dengan program pembangunan, mereka akan menerimanya dengan penuh rasa syukur’. Sebaliknya, kalau Pemda tidak ’menyapa' karena berbagai alasan, seperti karena anggaran pembangunan terbatas atau disunat atas amanat Presiden Prabowo demi efisiensi, mereka pun biasa saja.
Sebab rakyat Nagekeo memang sudah terbiasa hidup di luar jangkau program pembangunan karena berbagai alasan. Rakyat Nagekeo memang sudah biasa memperjuangkan kehidupannya secara mandiri.
Kalau mereka sudah tak tahan hidup di Nagekeo, mereka juga mengambil sikap sendiri, pergi ‘merantau’ ke Kalimantan, Jawa dan Batam. Bila perlu menjadi pekerja migran ilegal di Malaysia.
Jadi, setiap politisi dan pejabat publik wajib berhati-hati dalam berbahasa politik. Sebab, ‘frasa politik yang agresif dan negatif’ dapat membekukan potensi untuk menemukan titik temu, menghalangi musyawarah-mufakat dan merintangai kolaborasi antara berbagai kekuatan sosial politik yang tersedia.
Dalam konteks Nagekeo,’ frasa politik yang agresif dan negatif’ berpotensi memadamkan api semboyan ‘To’o jogho waga sama’ demi Nagekeo yang maju dan sejahtera. Sayang 'kan? ***