SOROTAN: Ironi Besar Pariwisata Komodo

redaksi - Minggu, 17 Juli 2022 20:53
SOROTAN: Ironi Besar Pariwisata KomodoMaxi Ali P. (sumber: Dokpri)

Oleh Maxi Ali Perajaka

SEMENJAK ditetapkan sebagai destinasi pariwisata premium atau prioritas pada 2019 silam, Taman Nasional (TN) Komodo dan sekitarnya, terutama Labuan Bajo bertransformasi dari kampung bernuansa ‘ndeso’ menjadi ‘ kota modern nan kinclong’. 

Tentu saja, ini suatu berkah luar biasa. Terima kasih kepada Pemerintahan Jokowi.

Menjadi  galau

Namun, selama masa transformasi dari ‘ndeso’ ke ‘modern’ itu muncul berbagai kegalauan, baik di kalangan pemerintah daerah (Pemda) kabupaten dan provinsi, maupun di kalangan warga masyarakat.

Kegalauan di kalangan Pemda, terutama Dinas Pariwsata,  Kabupaten Manggarai Barat misalnya,  muncul - mungkin tidak disadari atau tidak mau diakui-, ketika pengelolaan pariwisata super premium Labuan Bajo diamanatkan ke Badan Otoritas Pariwisata Labuan Bajo Flores.

Betapa tidak galau,  dua lembaga/badan yang berbeda memiliki wewenang dan tanggung jawab atas ‘bidang’ yang satu dan sama. 

‘Hamba’ yang malang

Fenomena ini persis berbanding terbalik dengan pesan Kitab Suci: “Tidak ada orang yang dapat melayani dua tuan karena ia akan membenci tuan yang satu dan mengasihi yang lain, atau ia akan setia kepada tuan yang satu dan meremehkan yang lain. Kamu tidak dapat melayani Allah dan mamon.”

Dalam  kasus pariwisata TN Komodo dan Labuan Bajo, justru dua tuan hadir untuk menguasai satu ‘hamba’. Jadi, dapat dibayangkan betapa berat beban hidup ‘hamba’ tersebut.

Sejumlah wisawatawan sedang mengaguni keunikan binatang purba, Komodo di TN Komodo (Foto: Istimewa)

Sebagai ‘hamba’, TN Komodo dan kawasan wisata super premium Labuan Bajo,   harus siap dikuras atau diekploitasi habis-habisan seluruh ‘isi’nya’ untuk melayani kepentingan kedua tuannya itu, baik kepentingan ‘yang disepakati bersama’ atau pun kepentingan yang dirancang sendiri.

Dalam konteks seperti itulah, gambaran tentang kondisi TN Komodo dan pariwisata premium Labuan Bajo  dalam beberapa tahun terakhir. 

Berbagai wacana, diksusi dan perdebatan, bahkan aksi demo dan konflik yang berkembang selama ini, dapat dibaca sebagai ekses dari eksplotasi yang membabi buta –bahasa gaulnya: gaspool’ - atas ‘hamba yang malang itu’.

Pihak yang terabaikan

Lalu bagaimana dan di mana posisi warga lokal? Kalau pun mau diibaratkan, warga lokal itu seperti  ‘orang tua dan sanak saudara’ dari sang ‘hamba’ malang itu.

Mereka adalah kaum yang dipandang sebelah mata, karena dipersepsikan sebagai orang ‘miskin’, bodoh, dan tak punya pengalaman dalam urusan pembangunan, termasuk pembangunan kepariwisataan.

Oleh karena itu, dapat dimengerti, ketika merancang program dan membuat kebijakan ‘terkait hamba’ (pariwisata TN Komodo dan Labuan Bajo), dua tuan besar itu merasa  tak seharusnya melibatkan warga lokal. 

Kalau terpaksa menggandeng warga lokal, itu  agar terkesan telah menerapkan good governance, supaya punya citra yang keren di mata publik.

Makanya, sangat tepat kalau dalam acara sosialisasi kenaikan harga tiket TN Komodo, Kamis (14/7) lalu, Pater Marsel Agot SVD sebagai pelaku pariwisata mengatakan ada dua dosa utama Pemda (Provinsi NTT) terkait kebijakan jenaikan harga tiket TN Komodo. 

Pertama adalah dosa timing atau waktu. Sebab, kebijakan keaikan harga tiket TN Komodo diambil secara mendadak, saat sedang resesi ekonomi. Akibatnya, pelaku pariwisata merasa kebijakan ini datang seperti dunia mau kiamat. 

Dosa kedua, berkaitan dengan proses. Menurut dia sebelum kebijakan diambil mestinya ada proses, termasuk pendekatan budaya lokal. Misalnya lonto leok atau duduk bersama membicarakannya secara bersama mengenai kebijakan tersebut.

Nah, mengapa dua ‘dua dosa’ itu terjadi? Jawabannya, jelas,  karena tuan Pemda (Provinsi NTT) dan Pemerintah Pusat mempersepsikan bahwa warga lokal, termasuk para pelaku pariwisata, sebagai pihak yang tak penting, tak tahu apa-apa tentang dunia kepariwisaaan dan konservasi alam.

Alasan yang absurd

Dalam acara sosialisasi harga tiket TN Komodo di Labua Bajo, Kamis, 14 Juli, atas nama Pemprov NTT, Kepala Dinas (Kadis) Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Parekraf) NTT Dr Zeth Sony Libing membeberkan tujuh alasan.

Namun, ketika disimak lebih teliti, jujur harus dikatakan bahwa beberapa dari alasan tersebut tampak absurd. 

Contoh: Pemprov mengatakan bahwa kebijakan kenaikan tiket dibuat berdasarkan kajian. 

Pertanyaannya: kapan riset dan kajian dilakukan?; Oleh lembaga riset yang mana?; Dengan metode riset seperti apa?; Dan, mengapa hasil kajian tidak disosialisasikan kepada publik?

Alasan lainnya adalah bahwa  Pemprov NTT bersama Pemerintah Pusat melakukan konservasi untuk menjaga ekosistem TN Komodo agar tetap lestari.

Pernyataan seperti ini seakan menegaskan bahwa Pemprov dan Pemerintah Pusat adalah pihak yang paling peduli dan bertanggung jawab pada masalah linkungan di wilayah itu.

Pemprov NTT sepertinya lupa bahwa sudah selama ratusan tahun kawasan Pulau Komodo dan sekitarnya masih tetap lestari karena warga lokal memiliki kearifan dan senantiasa konsisten menjalani kehidupan yang selaras dengan alam. Mereka misalnya memetik hasil hutan dan menangkap ikan di laut sejauh kebutuhan. 

Gambar rancang bangun Elevated Check , di Pulau Rinca,  TN Kmododo (Sumber: Biro Komunikasi Kementerian PUPR).

Warga lokal juga terbiasa memakai barang-barang yang terbuat dari bahan alamiah, bukan dari bahan plastik dan kaleng, sehingga tak menghasilkan sampah yang akut dan sulit dicerna.

Dan, apabila Pemprov dan Pemerintah Pusat memang sangat peduli pada konservasi lingkugan, lalu mengapa pada beberapa waktu lalu Unesco membuat teguran keras terkait konservasi TN Komodo?

Atau, mengapa ada warga atau komunitas adat yang ‘menangis’ karena tanah ulayatnya dirampas dan hutannya dirambah begitu saja oleh oknum perusahaan yang mendapat konsesi  konservasi hutan itu? 

Apakah betonisasi secara massif, baik itu untuk insfrasrktur jalan, pelabuhan, pembangunan hotel mewah maupun fasilitas penunjang pariwisata lainnya adalah  model konservasi alam yang paling selaras dengan kehidupan alamiah hewan purba komodo dan aneka spesies hewan darat dan laut di kawasan tersebut?

Alasan lain yang juga diangkat adalah soal  penanganan sampah. Memang, pada beberapa tahun  terakhir, sampah mulai menjadi masalah di TN Komodo dan Labuan Bajo. 

Mengapa terjadi demikian? Apakah warga lokal hidup semakin sembrono? Ataukah, karena mereka sedang disandera oleh gaya hidup baru yang dipromosikan oleh, baik para wisatawan dan pelaku industi  perhotelan, restoran, bar dan café yang mara bertumbuh di kawasan ini?

 Saling bertabrakan

Berbagai pertanyaan di atas sengaja dijukan agar para pihak yang berkepentingan mengawal pembangunan pariwisata super prioritas Labuan Bajo secara bertanggung jawab. 

Sebab ketika dicermati lebih serius, semakin terkuak bahwa antara wacana/gagasan dan praktik seputar pembangunan pariwisata Labuan Bajo saling bertabrakan.

Contoh, pemerintah melalui Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif/Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif mengklaim bahwa pembangunan destinasi pariwisata super prioritas dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan warga masyarakat di sekitarnya (Bdk. Floresku.com, Minggu, 17 juli 2022). 

Tetapi, pada kenyataan warga lokal semakin tergusur.  (Bdk. Floresku.com, 22 dan 30 April 2022). Bahkan,  tanpa rasa canggung  Pemprov NTT menekankan bahwa bahwa kenaikan tiket agar pemerintah akan memperoleh pendapatan, baik kabupaten maupun provinsi (Bdk.Kliklabuanbajo, 14 Juli 2022). 

Alasan tersebut memberi sinyal  bahwa Pemrov NTT sudah mulai ‘bermimpi’ akan meraup pendapatan besar dari pariwisata TN Komodo. Tentu saja  jika jumlah wisatawan kembali normal seperti sebelum pandemi Covid-19.

Data Dinas Pariwisata Kabupaten Manggara Barat menyebutkan bahwa  jumlah wisatawan yan berkunjung ke Labuan Bajo pada 2018 mencapai 183.807 orang dan menjadi 184.206 orang pada 2019. 

Dengan asumsi terburuk, misalnya 100.000 orang per tahun, maka dari tiket akan masuk dana ke kantong Pemprov NTT, sebesar Rp 375 miliar. Lumayan besar, bukan?

Sayangnya  kalkulasi seperti itu tak dibenarkan oleh hukum pasar paling sederhana. Sebab, tak kala harga tiket melambung tinggi, sudah pasti jumlah wisatawan akan menyusut jauh.

Contoh lain, dalam Sidang Majelis Umum PBB yang berlangsung di New York City, Rabu, 04 Mei 2022 lalu, Menparekraf Sandiaga Uno sangat berapi-api menjelaskan proyek pembangunan pariwisata di Indonesia yang berkelanjutan terutama berkaitan dengan keselamatan lingkungan. (bdk. Floresku.com, 07 Mei 2022). 

Padahal, yang terjadi di Labuan Bajo dan sekitarnya justru sebaliknya.(Bdk. Floresku.com 28 April 2022).

Sejatinya, dengan  menerapkan  konsep dan praktik pengembangan pariwisata untuk kesejateraan dan berkelanjutan melalui menaikan harga tiket masuk ke TN Komodo,  Pemprov NTT secara sengaja mempersempit makna kesejateraan dengan pemenuhan kebutuahan material saja. 

Padahal, kesejateraan (welfare) menunjuk ke keadaan yang baik, kondisi manusia di mana orang-orangnya dalam keadaan makmur, dalam keadaan sehat dan damai serta bahagia (Bdk. www.merriam-webster.com).

Dengan kata lain, lewat mengerek harga tiket, Pemprov NTT menegasikan sendiri,  visidan tujuan pembangunan pariwisata di wilayahnya. 

Sebab, melalui kebijakan itu ia menutup peluang  bagi sebagian besar warga  NTT untuk  mengalami sejumput kesejahteraan atau sepercik rasa bahagia karena menikmati keunikan dan pesona alamnya sendiri.

Jadi, sungguh sebuah ironi besar, kalau warga lokal  yang hidup bertetangga dengan  binatang Komodo hanya bisa mengenalinya lewat unggahan media sosial wisawatan berduit atau berita media massa. 

Tetapi,  warga New York dari seberang lautan, karena punya dompet berisi tebal, bisa menjejakkan kakinya di  TN Komodo dan menatap binatang purba itu dari muka ke muka. ***

* Maxi Ali Perajaka, adalah Pemimpin Redaksi Floresku.com.

Editor: redaksi

RELATED NEWS