SOROTAN: ‘Kutukan’ Atas Pengembang Pariwisata Flores yang Menafikkan Kearifan Lokal (Bagian ke-4, Habis)
redaksi - Rabu, 08 November 2023 18:20Oleh: Maxi Ali Perajaka
Relevansi Kearifan Lokal, Nusa Nipa
BERTOLAK dari pembahasan pada tiga artikel terdahulu, penulis ingin menegaskan bahwa narasi ‘Nusa Nipa’ adalah sebuah warisan purba dan kearifan lokal yang bersifat mitis-magis yang menawarkan makna simbolis yang perlu diserap.
Pertanyaannya, apa relevansi narasi kearifan lokal Nusa Nipa bagi pembangunan kepariwisataan di kawasan Floratama sekarang?
Pertanyaan tersebut tak mudah dijawab memang. Namun, apabila kita mau menggali secara lebih mendalam, kita dapat menemukan keterkaitan yang nyata di antara keduanya.
Setidak-tidaknya kita dapat menemukan bahwa narasi Nusa Nipa memancarkan makna dan pesan yang multidimensional (spiritual, geografis dan ekologis, demografis dan sosial-kultural, sekaligus ekonomis) bagi semua stakeholders industri pariwisata di kawasan Floratama, terutama bagi BPOLBF yang didaulat sebagai koordinatornya.
1.Makna spiritual
Secara spiritual, narasi Nusa Nipa terkait dengan kepercayaan tradisional masyarakat Floratama yang mengakui adanya Hakekat Mutlak atau Wujud Tertinggi yang dibahasakan secara faunasentris sekaligus ekologis, dan astronomis sekaligus heliosentris.
Terbukti, puak Jawa Muhan(g) yang berbahasa Lamaholot mempercayai kedaulatan Wujud Tertinggi, dan mereka menamainya Lera Wulan Tanah Ekan (Matahari, Bulan dan Bumi).
Puak Sikka Krowe menyebut Wujud Tertingi sebagai Ama Lero Wulan Reta, Ina Nian Tanah Wawa (Bapa Matahari-Bulan di Langit, Ibu Tanah yang di Bawah).
Puak Lio Soge menyebut Du'a Lulu Wula, Ngga'e Wena Tana ("Yang pertama sebagai pemilik langit (di atas), dan pemilik tanah (bumi) di bawah").
Puak Nage dan Keo menyebutnya ‘Dewa Zeta/Reta, Gae Zale/Rade’ (Tuhan Allah yang di atas (langit), Tuhan yang di bawah (bumi)).
Puak Ngada menyebutnya ‘Dewa Zeta ne'e Nitu Zale. Dimana Dewa Zeta bermakna Allah, yang menguasai wilaya langits, dan Nitu Zale bermakna ‘Roh yang menguasai bumi).
Sementara itu, Ata Sigho menggunakan ungkapan “Mori agu Ngaran” (Tuhan dan Penguasa), “Jari agu Dedek” (Penjadi dan Pembentuk) yang paralel dengan ‘Tanan wa-Awang eta’ (Bumi di bawa, Langit di atas), atau “Wulang agu Leso” (Bulan dan Matahari).
2. Pesan ekologis
Secara geografis dan ekologis serta ekonomis, narasi Nusa Nipa mengandung pesan bahwa kekayaan dan keindahan alam Nusa Nipa ini wajib diperlakukan dengan penuh rasa syukur dan rasa hormat.
Artinya, siapa pun yang ingin mengelola segala sumber daya di Nusa Nipa, termasuk untuk tujuan kepariwisataan, wajib memanfaatkannya untuk kepentingan semua warga, baik yang generasi masa kini maupun generasi mada datang, bukan untuk sekelompok orang tertentu saja.
Dengan kata lain, segala sumber daya yang tersedia Nusa Nipa tidak boleh dikelola dengan semangat ketamakan, dirampok atau dimanipulasi atas nama kemajuan dan kesejateraan.
Apabila sumber daya Nusa Nipa ‘dimanfaatkan’ dengan semangat ketamakan maka setiap pelakunya harus siap menanggung sanksi hukum dan sosial, yang dalam narasi Nusa Nipa disebut dengan ungkapkan ‘kutukan’ sebagaimana tampak pada syair purba Soge-Lio berikut:
“Ata eo kolu mbou ulu/ Soke kolo kai/ Ata eo rai ramba eko/ Gete lima kai/ Pusu kai tu leka tubu/ Lema kai tu leka fii kanga” (Siapa pun yang ‘merampok’ di wilayah kepala (Nusa Nipa)/ Penggalkanlah kepalanya/ Siapa pun yang ‘mencuri’ di bagian ekor (Nusa Nipa)/ Potongkan tangannya/ Jantung hatinya disajikan di tiang batu keramat/ Lidahnya dipersembahkan di atas mesbah).
3.Makna sosio-demografis: kepemimpinan yang kolaboratif
Secara demografis, narasi Nusa Nipa mengandung makna bahwa seluruh penduduk Nusa Nipa adalah ‘bersaudara’, satu kesatuan adat-istiadat, meski berbeda garis keturunan, suku/puak, wilayah ulayat, kampung halaman, dan bahasa.
Nusa Nipa yang dinarasikan secara pars prototo dengan menyebut: Ulu-Eko (kepala dan ekor) juga mengandung makna sosial-budaya yang unik.
Ulu-Eko (Kepala -Ekor) secara simbolis bermakna bahwa warga masyarakat di Nusa Nipa mengandalkan kehadiran kepala/pemimpin (adat, agama, tokoh masyarakat dan pemerintah). ‘Ulu’ menandakan bahwa pemimpin memiliki kecerdasan otak, kearifan berpikir, kebijaksanan hati, ketulusan hati yang siap memberikan arahan dan keteladanan. Sedangkan ‘Eko’ melambangkan ‘pemimpin’ yang selalu mengayomi dan memberi dorongan/motivasi.
Dalam konteks pengembangan kepariwisatan di Floratama, ungkapan ‘Ulu’ pun merujuk langsung kepada BPOLBF. mereka yang ditugaskan institusi berotoritas seperti BPOLBF.
Namun, ulu (kepala) Nipa Ria atau Nusa Nipa secara alamiah tak bisa hidup tanpa eko (ekor). Itu menandakan bahwa pemimpin di Nusa Nipa tak bisa berdaya efektif tanpa dukungan seluruh anggora masyarakat.
Ini menandakan bahwa para pemimpin harus mengemban suatu kepemimpinan yang kolaboratif.
Melalui ungkapan ‘Ulu-Eko’ , para leluhur wewariskan konsep kepemimpinan yang bersifat kolaboratif. Artinya seorang pemimpin tak bisa bekerja secara mandiri, tetapi ia harus selalu mengandalkan semua pihak; bermufakat dan bekerja sama dengan seluruh warga biasa, sehingga bisa menjalankan kepemimpinannya secara bersih dan berwibawa sert berdaya guna bagi semua orang dan alam semesta.
Jadi, konsep kepemimpinan Nusa Nipa selaras dengan konsep kepemimpinan yang dalam bahawa Jawa: IngNgarsa SungTuladha; Ing MadyaMangun Karsa; Tut Wuri Handayani (di depan harus memberi teladan, di tengah harus membangun ide dan gagasan, di belakang harus bisa memberikan dorongan).
Dari sudut pandang ini, dapat dikatakan bahwa BPOLBF sebagai koordinator pengembangan kepariwisataan di Floratama wajib mengandalkan dan berkolaborasi dengan seluruh pihak yang berkepentingan (stakeholders), terutama komunitas adat di Nusa Nipa.
Memang sejauh ini, BPOLBF telah mengedepankan pendekatan Pentahelix, ber kolaborasi dengan lima elemen stakeholder pariwisata, yaitu akademisi, pelaku bisnis, komunitas, pemerintah dan media.
Namun, tampaknya elemen komunitas (masyarakat adat) dilibatkan lebih dalam konteks sebagai pihak yang perlu diberdayakan, dilatih dan diajarkan.
Komunitas (adat) belum cukup diakui sebagai pihak yang memiliki kearifan lokal. Mereka belum diposisikan dan diikutsertakan secara optimal sebagai elemen Pentahelix yang dapat nara sumber atau inspirator nilai-nilai yang menjadi dasar bagi perancangan kebijakan dan program pengembangan kepariwisataan di Floratama.
Hal ini terjadi karena (boleh jadi) BPOLBF, pada satu sisi, memandang dirinya sebagai pihak yang lebih berpendidikan, lebih berpengalaman, dan lebih berwawasan luas.
Lalu, pada sisi lain, menganggap komunitas (adat) sebagai pihak yang kurang berpendidikan, tak memiliki banyak pengetahuan, tidak berpengalama, dan berwawasan sempit dalam segala hal, khususnya di bidang hospitality atau kepariwsataan.
Sikap ‘merasa diri lebih pintar’ membuat BPOLBF ‘lupa daratan’ -bukan hanya sebagai sebuah kiasan saja-, tetapi juga dalam makna leksikalnya.
BPOLBF benar-benar lupa bahwa dia adalah sebuah institusi yang dilahirkan oleh pemerintah atas nama publik, dan ditempatkan untuk melayani publik yang mendiami Nusa Nipa (Floratama).
Dia sungguh ‘lupa diri; sehingga merasa tak wajib membuka diri dan belajar mengenali nilai-nilai kearifan lokal di Nusa Nipa.
Penguatan budaya lokal masih pada kulit luarnya
Barangkali ada yang berargumentasi bahwa BPOLBF telah memberikan penghargaan atas kearifan lokal. Sebab ia memfasilitasi bahkan menyelenggarakan anaka kegiatan yang berkaitan dengan aneka ragam artefak kebudayaan lokal seperti: penguatan kelompok wanita pengrajin tenun, festival seni tari dan seni musik tradisional, penggunaan pakaian tradisional dan pemanfaatan asesoris dalam berbagai event, dan pemasaran hasil kerajinan warga lokal.
Tentu saja hal-hal seperti itu adalah sesuatu yang patut diapresiasi. Namun, merujuk ke artikel János Csapó, ‘The Role and Importance of Cultural Tourism in Modern Tourism Industry’ (2012) praktik-praktik berkebudayaan seperti itu masih sebatas ‘kulit luar’, belum menyentuh ‘inti kebudayaan’ yaitu ‘filosofi dan nilai-nilai’ yang menjadi dasar sekaligus daya pikat utama suatu destinasi wisata (Bdk.Geert Hofstede, 1997).
Oleh karena itu, apabila ingin menjadikan kebudayaan (lokal) sebagai daya pikat pariwisata Floratama, maka mau tak mau BPOLBF (bersama seluruh stakeholders kepariwisataan) harus memelajari kearifan lokal untuk menumukan filosofi dan nilai-nilai yang menjadi pijakan bagi munculnya berbagai artefak dan perayaan kebudayaan.
Tanpa mendasarkan diri pada inti kebudayaan, maka pengembangan artifak dan even-even kebudayaan lokal ibarat aksi seorang gadis memoles wajahnya dengan kosmetik.
Kebudayaan akan tampak ‘cantik mempesona’ memang, tetapi ‘kecantikan’ itu akan segera luntur seiring dengan arus perubahan zaman.
Jadi, sembari mengapresiasi berbagai upaya mengangkat artefak-artefak kebudayaan lokal, penulis merasa terpanggil untuk memberikan ‘corretio fraterna’ kepada seluruh stakeholders kepariwisataan Floratama, supaya lebih serius mendalami kekayaan kearifan lokal.
Tentu saja, koreksi ini ditujukan lebih kepada BPOLBF, selaku koordinator pengembangan kepariwisataan di Floratama. Sebab BPOLBF terindikasi tidak serius mendalami kearifian lokal.
Beberapa indikasi ketakpeduian itu dapat disebutkan di sini. Pertama, rumusan visi dan misi BPOLBF tidak memuat nilai-nilai kearifan lokal Nusa Nipa.
Kedua, logo BPOLBF tidak mencerminkan konsep faunasentris dan heliosentris sebagaimana tampak dalam narasi kearifan lokal Nusa Nipa.
Bahkan, gambar logo BPOLBF tampak bertabrakan atau ‘berlawanan arah 180 derajat’ dengan gambar/citra Nusa Nipa.
Pada Nusa Nipa, tubuh hewan purba Nipa Ria (Naga) dicitrakan membujur dari timur ke barat, dengan kepala di ujung timur sambil mendongak ke arah barat.
Sebaliknya, pada logo BPOLBF, tergambar citra hewan purba Komodo membujur dari barat ke timur, dengan kepala di ujung barat sambil mendongak ke arah timur.
Ketiga, program-program di empat direktoriat BPOLBF sangat menekankan dimensi global dan kekinian, tetapi tidak secara spesifik memuat upaya penggalian dan penguatan nilai-nilai kearifan lokal di wilayah Floratama (Nusa Nipa).
Keempat, sejauh ini belum pernah terdengar BPOLBF bersuara untuk menginspirasi dan mengajak para investor bidang pariwista dan ekonomi kreatif yang berinvestasi di kawasan Floratama, untuk mengembangkan industri pariwisata dan ekonomi kreatif dengan mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal di Nusa Nipa.
Masalah terkaitan pembangunan fisik
Terkait ini, Paul J. Andjelicus, Perencana Muda Dinas Parekraf Provinsi NTT, menulis bahwa apabila memperhatikan komponen industri pariwisata 5 A (attraction, accessibility, amenity, accommodation and awarness), maka karya arsitektur berkontribusi untuk tiga komponen utama yaitu attraction (menghadirkan destinasi wisata buatan dalam wujud gedung atau kawasan ikonik); amenity (bangunan restoran, cafe, pusat informasi pariwisata, museum); dan accommodation (bangunan hotel, resort, homestay).
Menurut dia, bangunan publik seperti hotel, resrot home stay, restoran dan toko suvenir yang ada di Labuan Bajo, Manggarai Barat, masih belum mendapat sentuhan ikonik nilai-nilai kearifan lokal.
Dia mengatakan, dari sisi eksteriornya, bangunan-banguanan tersebut cenderung bergaya modern sehingga mempunyai kemiripan dengan bangunan hotel kota atau negera lain. (Bdk.www.parekrafntt.id, 27 September 2021).
Tentu saja, ini sangat disayangkan karena masyarakat Manggarai sendiri memiliki gaya arstektur berbasiskan nilai-nilaikearifan lokal berupa rumah kerucut yang sangat ikonik, Mbaru Niang.
Bahkan, arstektur Mbaru Niang di Kampung Waerebo telah mendapatkan penghargaan tertinggi kategori konservasi warisan budaya dari UNESCO Asia-Pasifik tahun 2012 dan menjadi salah satu kandidat peraih Penghargaan Aga Khan untuk Arsitektur tahun 2013 (Bdk. Hilda B Alexander, Kompas.com, 1 Mei 2013).
Terkait ini, beberapa waktu lalu, Dr Frans Teguh (Fanci), Staf Ahli Bidang Pembangunan Berkelanjutan dan Konservasi Kemenparekraf berbagi pandangannya dengan penulis tentang pengembangan kepariwisataan yang berakar pada nilai-nilai kearifan lokal.
Fanci mengatakan bahwa secara pribadi dia merasa prihatin melihat perkembangan infrastruktur kepariwisataan, khususnya bangunan hotel dan home stay, yang menjamur di Labuan Bajo belakangan ini.
Dia menyayangkan kalau para perancang bangunguan-bangunan tersebut tidak memakai gaya arsitektur lokal, tetapi mengadopsi gaya arsitektur modern sebagaimana ada di banyak destinasi di manca negara.
Akibatnya, dia menambahkan, Labuan Bajo bertumbuh menjadi destinasi yang tak memiliki karakter lokal. Labuan Bajo cenderung menjadi serupa dengan destinasi wisata di banyak negara lain.
Masalah non-fisik yang pelik
Hal-hal yang disentil oleh Andjelicus dan Fanci di atas, baru ‘tantangan pengembangan kepariwisataan di Floratama’ dalam aspek fisiknya.
Sejatinya, pembangunan kepariwisataan yang tak dilandasi dengan nilai-nilai kearifan lokal berpotensi menimbulkan persoalan-persoalan non-fisik yang tak jauh lebih peliknya seperti tergerusnya daya pikat utama pariwisata Floratama sendiri.
Sejauh ini masyarakat Floratama, khususnya yang di Manggarai Barat, merasa tersanjung karena panorama alam Labuan Bajo mulai tampak lebih modern karena infrakturur fisik seperti bandara, dermaga, hotel, rumah sakit dan fasilitas pendukung pariwisata lainnya yang dipoles menjadi ‘kinclong’.
Secara sosial pun, warga masyarakat mulai merasakan ada sentuhan gaya hidup yang berbeda. Mereka ‘naik tingkat’ dari ‘gaya hidup tradisional-pedesaan’ ke ‘gaya hidup beraroma urban,’ dengan ‘milieu’ interaksi sosial yang bernuansa internasional.
Sampai pada batas tertentu, hal seperti ini ‘fine-fine saja’, bahkan ini pantas disyukuri.
Namun, apabila pengembangan kepariwisataan terus dijalankan sebagai ‘business as usual’, tidak dijiwai nilai-nilai kearifan lokal, maka dampaknya bisa bikin kepala semua pihak jadi puyeng. Sebab proses pembangunan fisik dan transfomasi sosial akan berjalan ‘liar’, selaras dengan sifat para penyokong globalisasi yang tamak lagi beringas.
Secara fisik, dapat dipastikan semua lahan kosong (konon, kini sudah banyak yang disertifikasi atas nama kaum kapitalis) akan berubah menjadi ‘hutan beton’ berupa hotel, restoran, homestay dan villa mewah.
Secara non-fisik, warga akan ‘terseret’ ke gaya hidup metropolitan yang berciri inividualistis, materialistis dan konsumptif, bahkan hedonis.
Pada masa itu, pariwisata premium Labuan Bajo bakal mengalami kegamangan. Kegamangan bahkan akan berubah menjadi sebuah momok ketika jumlah kunjungan wisatawan mengalami stagnasi dengan tren merosot.
Tren tersebut terbentuk karena para wisatawan merasa jenuh berhadapan dengan sajian wisata Floratama yang dimodernisasi tanpa dijiwai nilai-nilai kearifan lokal.
Berpotensi jadi kawasan pariwisata seks
Dalam situasi ‘galau’ demikian, ‘lubang pelarian’ yang akan ditempuh adalah menyediakan sajian pariwisata yang selaras dengan arus deras globalisasi.
‘Sajian baru’ itu bahkan dianggap ‘sajian terbaik’ karena mudah dipasarkan dengan bantuan media digital dan media sosial.
Jenis sajian pariwisata apakah itu? Pariwisata seks (sex tourism)!
Sejatinya, pariwisata seks adalah bentuk pariwisata yang paling kuno dan tertutup. Namun, kini oleh kemajuan teknologi informasi sebagai ‘bahan bakar utama globalisasi’, jenis pariwisata ini menjadi sangat sangat mudah dieksporasi dan dikomersialisasi.
Selain itu, ternyata pariwisata seks berada sangat rapat dengan pariwisata alam. Ia dikenal sebagai salah satu dari empat elemen utama “Pariwisata 4 S” yang meliputi (Sun/Matahari, Sand/Pasir, Surf/Selancar, dan Sex/Seks') ( Ryan & Hall, 2001).
Slogan ‘Pariwisata 4S’ bermakna bahwa ketika pariwisata alam semakin ramai, pariwisata seks segera mengikuti.
Biasanya, ketika wisata seks mulai hadir, pertumbuhannya akan sulit dibendung. Repotnya, ketika wisata seks mulai berkembang pesat, maka aneka masalah ruwet seperti masalah kesehatan, masalah ekonomi-finansial, sosial, hukum dan moral akan meluap dan merambah ke berbagai lapisan masyarakat.
Ini akan menjadi sebuah bencana yang dasyat, apabila penduduk lokal masih terhimpit kemiskinan, mengalami gegar budaya digital, dan generasi mudanya tidak dibekali pendidikan yang berkualitas untuk dapat bersaing di pasar kerja dan siap membangun kewirausahaan.
Tentu saja, kita risau kalau-kalau Floratama akan beralih menjadi kawasan pariwisata seks. Kerisauan itu setidaknya dilandasi atas empat hal.
Pertama, pariwisata Floratama sudah memenuhi tiga elemen dari Pariwisata 4S (Sun, Sand dan Surf).
Kedua, sebagian besar warga wasyarakat di kawasan Floratama adalah penduduk miskin. BPS 2022 menyebut NTT adalah peringkat ketiga, dan NTB peringkat ke-8 termiskin di Indonesia (Bdk. www.detik.comMinggu, 17 Jul 2022 02:33 WIB)
Ketiga, secara kebudayaan, ada isyarat bahwa warga Floratama mulai dilanda ‘gegar budaya’ karena penerapan teknologi online selama Covid-19 dan masa kenormalan baru secara mendadak, tanpa persiapan yang memadai.
Gegar budaya digital adalah gangguan mental yang terkait dengan gejala seperti kecemasan, depresi, sulit tidur, mudah lelah, mudah tersinggung, perasaan sendirian, mudah lupa, mengingat masa lalu dan merasa tidak berguna, akibat berinteraksi dengan perangkat digital secara berlebihan. (Bdk Alo Liliweri dkk, 2022).
Keempat, dunia pendidikan di kawasan Floratama edang bergulat keras mencari model pendidikan yang tepat bagi generasi mudanya karena desakan teknologi digital.
Yang menakutkan, tulis Rosemary Wiss, peneliti pariwisata dari Universitas Sidney, Australia (2023), fenomena ini ternyata sudah bermunculan di berbagai sudut dunia, tak terkecuali di negara-negara berkembang yang pada mulanya mengandalkan industri pariwisatanya pada pesonal alam, budaya dan sejarah.
Sekadar informasi, sekarang ini sejumlah negara telah menjadi tujuan populer wisata seks. Di kawasan Eropa, pariwisata seks paling populer ada di Belanda (khususnya Amsterdam).
Di kawasan Eropa Selatan, terutama di Yunani, Italia, Siprus, Spanyol dan Portugal. Di Eropa Timur ada Bulgaria, Republik Czech, Slovakia, Hungary, dan Romania.
Di kawasan Karibia dan Amerika Latin dipimpin oleh Jamaika, Barbados dan Republik Dominika, Kuba, Brasil, Kolombia, Peru dan Kosta Rika.
Di kawasan Afrika dan Timur Tengah ada di Kenya, Gambia, Senegal, Tunisia, Mesir, Lebanon, Maroko, dan Yordania.
Di kawasan Asia, Asia Tenggara dan Pasifik, India (khususnya Goa), Sri Lanka, Tiongkok (khususnya Hong Kong), Kamboja, Vietnam, Thailand (khususnya Phuket), Filipina, Fiji, dan Indonesia (khususnya Bali) (Bdk. Campbell, Charlie, 15 October 2013).
Jadi, apabila BPOLBF dan semua kita terus saja lalai menggali dan menghidupkan nilai-nilai kearifan lokal, maka tidak mustahil kawasan Floratama akan segera berubah secara radikal dari destinasi yang mengandalkan keindahan alam dan budaya menjadi sebuah destinasi wisata yang menjual ‘kenikmatan seks’. ***
*Penulis adalam pemimpin redaksi Floresku.com. ***