SOROTAN: Memperjuangkan Hak Tanpa Melanggar Hukum

redaksi - Minggu, 09 Februari 2025 22:09
SOROTAN: Memperjuangkan Hak Tanpa Melanggar HukumEdi Danggur (sumber: Dokpri)

Oleh: Edi Danggur*

SEJAK tanggal 20 Juli 2023 PT Krisrama mengantongi SK HGU No.I/HGU/BPN.53/7/2023. Berdasarkan SK HGU tersebut maka terbitlah Sertifikat HGU No.4-13 atas nama PT Krisrama (Garda Flores, 26/1/2025).

 Pada saat yang sama sekelompok masyarakat masih mendiami lahan HGU tersebut. Mereka beralasan bahwa sebagai masyarakat adat mereka masih mempunyai hak atas tanah tersebut (BBCNews, 29 Januari 2025). 

Pada tanggal 22 Januari 2025, di bawah pengawalan polisi, PT Krisrama mengusir warga masyarakat tersebut. Di berbagai media, pihak PT Krisrama mengatakan, yang mereka lakukan adalah pembersihan lahan (land clearing) dari hunian liar, bukan penggusuran (Wartanusantara.com, 27 Januari 2025). 

Di tengah masyarakat, berkembang polemik, apakah tindakan masyarakat memasuki dan menguasai tanah HGU itu dapat dibenarkan? Apakah ada dasar hukumnya bagi PT Krisrama untuk mengusir warga masyarakat tersebut? 

Larangan Melanggar Hukum 

Secara universal, berlaku pedoman ini: hak harus diperjuangkan dengan cara-cara yang sesuai dengan hukum. Tidak boleh melanggar hukum, atau tidak boleh melanggar hak orang lain. Jangan gegabah untuk melanggar hukum. 

Sebab, hukum tidak akan membantu orang yang berusaha untuk menghancurkan atau melanggar hukum itu sendiri (frustra legis auxilium implorat qui leges ipsas subvertere conatur). 

Dengan kata lain, mereka yang sejak awal berjuang untuk mendapatkan hak dengan cara melanggar hukum, tidak patut mendapatkan hak dari pelanggaran hukum yang mereka lakukan itu (nemo commodum capere potest de injuria sua propria). 

Kedua adagium tersebut ditegaskan dalam Deklarasi Universal HAM (DUHAM) dan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights - ICCPR) sebagaimana telah diratifikasi dengan UU No.12 Tahun 2015. 

Pasal 30 DUHAM menyatakan: "Tidak ada satu pun dari hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang termaktub dalam Deklarasi ini dapat diinterpretasikan sebagai memberikan hak untuk melakukan tindakan yang bertujuan untuk menghancurkan hak-hak dan kebebasankebebasan lainnya". 

Demikian pula Pasal 5 ICCPR menegaskan: "Tidak ada satu pun dari hak-hak yang termaktub dalam Perjanjian ini dapat diinterpretasikan sebagai memberikan hak untuk melakukan tindakan yang bertujuan untuk menghancurkan hak-hak dan kebebasan-kebebasan lainnya". 

Baik Pasal 30 DUHAM maupun Pasal 5 ICCPR, pesannya sama, bahwa baik individu maupun kelompok masyarakat tidak dapat menggunakan hak-hak mereka untuk menghancurkan hakhak orang lain atau melanggar hukum. 

Lebih lanjut, Pasal 27 UUD 1945 mengatur: "Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan". Ini berarti bahwa semua warga negara termasuk korporasi memiliki kedudukan yang sama di dalam hukum dan tidak dapat menggunakan hakhak mereka untuk menghancurkan hak-hak orang lain atau melanggar hukum. 

Pasal 1 UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM juga menegaskan hal serupa: "Hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada diri manusia sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa". 

Ini berarti bahwa hak asasi manusia tidak dapat dihilangkan atau dihancurkan oleh siapa pun, termasuk pemerintah atau individu atau kelompok masyarakat. 

Pengaturan yang termuat dalam DUHAM, ICCPR, UUD 1945 dan UU HAM hendak mengajarkan dua hal: Pertama, hukum memiliki tujuan untuk melindungi masyarakat termasuk korporasi. Kedua, mereka yang berusaha untuk menghancurkan hukum tidak akan mendapatkan perlindungan dari hukum.

Mempertahankan Hak Atas Tanah 

Setiap negara termasuk warga korporasi berhak mendapatkan perlindungan hukum dari pemerintah maupun aparat penegak hukum (polisi). 

Dalam konteks itu, PT Krisrama berhak minta bantuan polisi untuk mengeluarkan orang-orang yang memasuki dan mendiami tanah HGU tanpa hak atau melawan hukum. 

Hak konstitusional PT Krisrama tersebut diatur dalam Pasal 28 G UUD 1945 dimana setiap orang termasuk korporasi berhak atas perlindungan harta benda yang dimilikinya. Dengan rumusan yang serupa, hak tersebut diatur pula dalam Pasal 28 F UU HAM. 

Dalam KUHPerdata pun, hak untuk mempertahankan barang atau tanah dari gangguan pihak lain diatur dalam Pasal 530, yang menegaskan: “Pemilik barang berhak untuk mempertahankan barangnya dari gangguan pihak lain”. 

Bahkan PT Krisrama berhak menuntut ganti kerugian dari pihak lain yang memasuki dan menguasai tanah HGU tanpa hak. Hak itu diatur dalam Pasal 531 KUHPerdata yang menegaskan: “Pemilik barang berhak untuk menuntut ganti rugi jika barangnya dirusak atau diambil oleh pihak lain”. 

Ada beberapa prinsip hukum yang termuat dalam pasal-pasal yang dikutip di atas. 

Pertama, setiap orang atau setiap korporasi berhak untuk meminta perlindungan hukum dari pemerintah atau aparat penegak hukum (polisi) manakala ada warga masyarakat baik perorangan maupun kelompok masyarakat mengganggu atau merampas haknya. 

Kedua, pemilik barang atau pemegang hak atas tanah memiliki kewajiban untuk memelihara dan mengurus tanahnya dengan baik, termasuk melakukan pembersihan tanah (land clearing) dari hunian liar, agar tanah tersebut benar-benar dapat digunakan sesuai peruntukannya. 3 

Ketiga, jika dalam upaya mempertahankan hak tersebut, pemegang hak atas tanah terpaksa mengeluarkan biaya atau hunian liar tersebut menimbulkan kerugian maka PT Krisrama sebagai pemegang HGU atas tanah tersebut berhak untuk menuntut ganti kerugian akibat gangguan pihak lain tersebut. 

Mekanisme hak menuntut ganti kerugian tersebut diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata, yang intinya menyatakan setiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian bagi pihak lain, wajib membayar ganti kerugian karena kesalahannya itu. 

Namun, hak untuk menggugat itu bersifat absolut, artinya: hak untuk berbuat atau tidak berbuat, menggugat atau tidak menggugat, sepenuhnya tergantung pada pemegang hak, dalam hal ini PT Krisrama. Tidak ada pihak lain yang dapat memaksa PT Krisrama untuk mengajukan gugatan dimaksud.

 Beberapa Implikasi Praktis 

Hukum telah memberikan hak yang sama kepada setiap warga masyarakat dan warga korporasi untuk mempertahankan dan melindungi haknya dari gangguan pihak lain. Pada saat yang sama ada kewajiban untuk menghargai hak pihak lain, termasuk larangan melanggar hukum. 

Sertifikat HGU yang dipegang PT Krisrama adalah tanda bahwa ia satu-satunya pihak yang berhak menguasai dan mengelola sesuai peruntukan tanah tersebut. 

Dengan sertifikat itu pula negara memberikan perlindungan hukum yang penuh terhadapnya. Dalam berbagai proses hukum, sertifikat tanah termasuk HGU, memilki kekuatan pembuktian yang sangat kuat. Itu sebabnya sertifikat tanah merupakan sarana pengamanan hak dari klaim atau tuntutan pihak lain.

Namun demikian warga masyarakat yang merasa mempunyai hak atau turut mempunyai hak atas tanah HGU itu, hukum memberikan hak untuk menggugat pembatalan SK pemberian HGU dan sertifikat HGU kepada PT Krisrama. 

Dalam gugat-menggugat di pengadilan, tentu berlaku adagium: actori incumbit probatio, siapa mendalilkan maka ia wajib membuktikan dalilnya itu (Vide Pasal 1865 KUHPerdata).

 Jika masyarakat mendalilkan sebagai masyarakat adat yang masih mempunyai hak komunal atas tanah HGU itu, silakan memberikan bukti atau fakta agar hakim dapat menegakkan keadilan (da mihi facta et dabo tibi ius). 

Di bawah otoritas hukum yang sama, kita harus patuh, demi terciptanya keamanan dan ketertiban masyarakat. Jika Anda tidak mentaati hukum maka pastilah hukum itu tidak akan melindungi Anda (serva ordinem et ordo servabit te).

 Penulis adalah praktisi hukum, tinggal di Jakarta. ***

RELATED NEWS