SOROTAN: Tindakan Faktual Pejabat Termasuk Keputusan Tata Usaha Negara, dan Obyek Gugatan TUN

redaksi - Jumat, 11 November 2022 09:12
SOROTAN: Tindakan Faktual Pejabat Termasuk Keputusan Tata Usaha Negara, dan Obyek Gugatan TUNMarianus Gaharpung (sumber: Dokpri)

Oleh Marianus Gaharpung*

TERNYATA masih ada beberapa pihak belum memahami tentang sejatinya obyek gugatan tata usaha negara justru yang dipahami obyek gugatan hanya berupa penetapan tertulis atau keputusan pejabat atau badan tata usaha negara. 

Padahal dengan adanya Undang Undang No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan mengakomodir adanya tindakan faktual pejabat atau badan tata usaha negara juga termasuk tindakan penyelenggaraan pemerintahan otomatis menjadi obyek gugatan Tata Usaha Negara (TUN).

Di samping itu, masih ada juga belum dapat membedakan perbuatan atau tindakan yang masuk rana hukum publik maupun perdata. 

Tindakan yang masuk rana hukum publik berupa tindakan bersegi satu yang berawal dari kewenangan atau wewenang (pejabat). 

Tindakan rana hukum perdata selalu bersegi dua (timbal balik) adanya kecakapan bertindak atau  disebut hak (orang atau badan hukum privat).

Oleh karena itu, hak gugat ke pengadilan tata usaha negara tidak saja harus berdasarkan adanya penetapan tertulis pejabat atau badan tata usaha negara yang mendatangkan kerugian seseorang, kelompok orang atau badan hukum perdata.

Tetapi adanya tindakan faktual (feitelijk handelingen) yang disamakan dengan perbuatan melanggar hukum oleh penguasa.

Jadi atas tindakan pengukuran tanah ex HGU Nanghale oleh Kementrian Agraria cq Kantor Pertanahan Sikka atas permohonan PT Krisrama Maumere kategori tindakan faktual pemerintahan.

Hal ini diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung No. 2 tahun 2019 tentang "Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan Dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan Dan/Atau Pejabat Pemerintahan (onrechtmatige overheidsdaad)".

Pasal 1 angka 1 Peraturan MA, dijelaskan tindakan pemerintahan adalah perbuatan pejabat pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk melakukan dan/ atau tidak melakukan perbuatan konkrit dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.

Sehingga tindakan pengukuran oleh Kementrian Agraria cq Kantor Pertanahan Sikka atas tanah ex HGU Nangahale Selasa, 8 November kemarin adalah tindakan konkrit dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan. 

Itu artinya logika hukum yang dinarasikan John Bala, SH sebagai pendamping atau kuasa hukum masyarakat Nangahale dengan pertanyaan:  "Kami disuruh menggugat, gugat siapa? Dan atas keputusan apa? Ijin pembaharuan HGU belumn ada, mau gugat apa?".

Terus terang, narasi  tersebut sangat sumir. Justru tindakan pengukuran tanah tersebut kategori tindakan aktif pemerintahan termasuk obyek gugatan TUN. 

Oleh karena itu, disarankan agar masyarakat Nanghale menggugat dengan tergugat Kementrian Agraria cq Kantor Pertanahan dan Tergugat II intervensi PT Krisrama Maumere dengan alat bukti yang cukup.

John Bala, dalam narasinya bahwa jaman Bupati Ansar dan Roby Idong diselenggarakan pertemuan ada masukkan warga masyarakat tetapi tidak ada tindak lanjut tetapi didiamkan saja itupun kategori suatu keputusan pejabat tata usaha negara dikenal dengan KTUN Fiktif Positif berdasarkan Undang Undang No. 30 tahun 2014.

Pertanyaannya, mengapa ketika itu, kuasa hukum atau pendamping  masyarakat Nangahale tidak menggunakan ruang yang diberikan peraturan perundang-undangan?

Dalam Pasal 1 angka 6 Peraturan Mahkamah Agung tersebut penggugat adalah warga masyarakat yang kepentingannya dirugikan sebagai akibat dilakukannya tindakan pemerintahan. 

Selanjutmya, Pasal 1 angka 9 dijelaskan pengadilan adalah Pengadilan Tata Usaha Negara atau Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.

Oleh karena itu, tolong pendamping atau kuasa hukum memberikan masukkan positif dengan langkah hukum yang ada. Jangan sekali-kali memberikan statemen dengan memposisikan institusi gereja lokal  sebagai subyek hukum yang sudah dengan sengaja mengabaikan nilai moral kebersamaan dan cinta terhadap sesama yang bisa berdampak sikap berseberang masyarakat terhadap institusi gereja. 

Ayo John Bala, berikan keyakinan dan pemahaman hukum bahwa lembaga peradilan adalah juga tempat dimana hak asasi manusia ditegakkan ketika ada dugaan tindakan melanggar hukum oleh penguasa. Semoga! ***

*Marianus Gaharpung adalah dosen FH Ubaya Surabaya. 

RELATED NEWS