Tena-Laja, Motor Arnoldus dan Io Kiko (Bagian 2)

redaksi - Rabu, 01 September 2021 11:59
Tena-Laja,  Motor Arnoldus dan Io Kiko (Bagian 2)Perahu Mandar (sumber: Bona Beding)

(Postscriptum Webinar Kisah Para Pengarung Lautan)

Oleh: JB Kleden*

BEGITU menyaksikan potret-potret yang disuguhkan Muhammad Ridwan tentang Perahu Padewakang, Mandar, dengan layar berlapis-lapis, terasa seperti berada kembali di pantai Waibalun beberapa puluh tahun lalu. Melalui foto-foto yang ditampilkannya, perahu-perahu Mandar yang sebagian besar kini tinggal kenangan itu, langsung memukau, dan memenuhi ruang imajinasiku. Dulu dalam periode tertentu, kami selalu melihat perahu-perahu jenis ini yang kami sebut Tena-Laja’ melintas di laut depan kami. 

Biasanya antara April-Oktober bersamaan dengan datangnya angin muson timur yang berhembus dari Asia ke Australia, saat matahari pagi menyepuh puncak  Ile Mandiri dengan sinar kuning putihnya yang lembut, dari Laut Flores selalu saja ada perahu jenis ini masuk ke Selat Sempit Larantuka, melintasi laut depan kami, menuju Selat Lewotobi dan menghilang ke perairan Laut Sawu. Sebaliknya pada musim muson barat (sekitar Oktober-April) saat angin berhembus dari Australia ke Asia, dari perairan laut Sawu, Tena-Laja muncul kembali, melintasi selat Lewotobi, menyusuri pesisir pulau Solor menuju Selat Sempit Larantuka seterusnya ke Laut Flores, atau berbelok ke selat antara Adonara dan Solor dan menghilang ke balik Tanjung Gemuk. 

Kami tidak tahu itu perahu milik siapa. Juga tidak tahu rute perjalanannya. Itu tidak penting bagi kami, karena perahu itu tak pernah menyinggahi kampung kami. Kami hanya melihatnya dari jauh dengan kekaguman yang luar biasa. Ada perahu yang begitu indah. Berlayar tenang seakan waktu berjalan dengan cara berbeda di atas laut. Sungguh sebuah pemandangan yang indah dan mengasyikkan. Tena-LajaTena-Laja itu seperti tetap berpegang pada siklusnya, kendati kehidupan di sepanjang pantai yang dilaluinya senantiasa maju bersama garis sejarah dan kemajuan. 

Tena-Laja itu kini tak tampak lagi. Kelak seluruh sejarah ini akan menghilang kembali di laut yang tak lekang oleh waktu. Tapi laut yang terhampar depan kampung kami itu adalah taman bermain teramat indah bagi masa kecil kami. Ia adalah surga kecil yang sangat mengasyikkan, sebuah semesta kemungkinan yang penuh gairah, tempat kami melarungkan selaksa angan.

Nahkoda Kapal Samudra Raksa

KISAH I Gusti Putu Ngurah Sedana (Nahkoda Kapal Samudra Raksa) tentang perjalanan Samudra Raksa melahirkan sensasi tersendiri. Tentang kisah perjalanan ini kita bisa mengaksesnya di internet. Namun satu hal yang baru saya dengar malam itu adalah, setelah menuntaskan misinya di Accra, Ghana, Samudra Raksa dipotong menjadi tujuh bagian, dimuat dalam tujuh kontainer untuk bisa dikirim kembali ke  Indonesia. Kini Samudra Raksa menjadi museum di Borobudur. 

“Pak kenapa harus dipotong dan dikirim pulang? Ya kalau tidak begitu, kami menunggu sampai arah angin berbalik kembali untuk berlayar ke Indonesia. Dan itu biasanya sampai 6 bulan.”

Menunggu arah angin berbalik kembali. Saya teringat bagaimana para orang tua kami dulu menunggu arus ole dan hura (wura) untuk pergi melepas huo (bubu) di perairan Wure (salah satu desa di wilayah Kecamatan Adonara Barat (Flores Timur). Mereka juga menghitung dengan sangat teliti titik-titik tertentu di darat, entah dengn pohon atau batu pada empat penjuru mata angin sebagai pananda untuk melepas huo. Belakangan setelah mempelajari ilmu falak baru saya mengerti apa yang dilakukan itu sama dengan menghitung garis bujur dan garis lintang untuk menentukan titik koordinat. 

Kisah Samudra Raksa yang terombang-ambing di tengah lautan menghadirkan cerita lain. Saya pernah naik motor Arnoldus dari Pelabuhan Waidoko (Kecamatan Wulanggitang) ke Larantuka, pada suatu hari di bulan Desember tahun 70-an. Mesin motor mati di tengah perairan Kawalelo.  Kami sempat terkatung-katung dengan ombak besar yang mengguncang. Wajah anak-anak Seminari San Dominggo Hokeng yang semula penuh kegembiraan karena pulang kampung, mendadak pucat. Hanya sang Jurumudi yang dengan penuh ketenangan menjaga haluan perahu motor agar tidak membelah ombak dengan sudut 90 derajat. 

“Haluan motor musti menyimpang beberapa derajat membentuk sudut lancip agar kita bisa berayun bersama ombak dan tidak tenggelam. Ini pengalaman,” kata sang Jurumudi.  Dan benar, ia dengan sukses mengantar kami tiba ke pelabuhan Larantuka.

Kisah mengarungi laut ini, betapapun tidak seheroik perjalanan Samudra Raksa, seakan mengingatkan bahwa laut mempunyai dua sisi yang bertentangan tetapi juga bertaut. Berlayar di atasnya menggairahkan tetapi juga menegangkan. Sebuah pertautan antara kegembiraan dan harapan, dengan duka dan kecemasan. 

Laut yang tenang di depan mata kanak-kanak kami itu,  ia penuh suspensi tetapi juga memukau. Ia memisahkan kami dengan pulau Solor dan Adonara, tetapi juga menghubungkan; sebuah antara yang juga memiliki lokus tersendiri. Ia tak pernah kosong. Ia menjadi petualang yang menggairahkan juga kebebasan untuk lupa dan kemerdekaan untuk pergi dari rumah. Laut punya tramendum dan fascinosum tersendiri. (BERSAMBUNG)

*JB Kleden, PNS Kementerian Agama Kota Kupang

BACA JUGA: Tena-Laja, Motor Arnoldus, Io Kiko (Bagian 1)

Editor: Redaksi

RELATED NEWS