Untold Story: In Memoriam Nong Sil

redaksi - Sabtu, 31 Juli 2021 22:18
Untold Story: In Memoriam Nong SilSilvester Nong Manis, meninggal pada Senin, 27 Juli 2021 di RS St. Carolus, Jakarta (sumber: Istimewa)

Oleh Gabriel Felipe Didinong

SILVESTER Nong Manis  yang saya sapa Nong Sil katanya pernah menangis saat dirawat di St. Carolus Jakarta sebelum ia menghembuskan nafas terakhir  27 Juli 2021. Ia seperti memilih tanggal kematiannya itu.

"Jangan bersedih pa...", kata seorang perawat yang ikut mengurus dirinya di Carolus. Nong Sil hanya lirih menjawab bahwa ia menangis karena merasa bahagia setelah ia ditelpon oleh seorang pastor yang adalah saudaranya...

Silvester Nong Manis berasal dari dusun Klo'angpopot di kawasan Iwanggete. Setamat SD sempat masuk seminari Lela, seangkatan Henny Doing, Rafael Raga, dan lain-lain. Anak anak Seminari  Lela di tahun 70 sd 80an  dari wilayah itu biasanya merupakan anak anak pilihan. Saat ia masuk Lela 1979, saya pas pindah ke Jawa, ikut orangtua. Baru belakangan saya kenal dengan Nong Sil.

Sekitar pertengahan 90an Pater Bollen merekomendasikan Nong Sil yang baru tamat belajar Hukum di Malang untuk diterima bekerja di Veritas Jakarta. Veritas adalah sebuah LBH yang dipimpin om Sentis da Costa. Beralamat di belakang Gereja St Yosef Matraman. Kami semakin akrab sejak awal tahun 2000an terutama karena kedekatan Nong Sil dengan kaka Petrus Selestinus. Sering jumpa dalam banyak aktivitas  di berbagai bidang dan sharing macam macam. Kami sering bersama walau tidak selalu sejalan. Relasi interpersonal selalu kondusif karena wajah Nong Sil selalu dihiasi senyum. Ia juga kerap berdialog dalam bahasa daerah walau saya kurang  selalu bisa memahami makna dan ungkapan  bahasa daerah yang dalam atau simbolik.

Sebagai lawyer profesional dari Veritas,  Nong Sil lebih banyak kerja pro bono di banyak kasus yang ditanganinya. Voice of the speechless adalah prinsip perjuangan yang secara konsisten dan penuh komitmen dipegang oleh Nong Sil.  Ia juga pernah terlibat dalam advokasi  berbagai "kasus  besar" seperti kasus kematian pastor di Ngada, kasus Tibo,  kasus buruh di Kalimantan, kasus sengketa lahan di Ende, dan lain lain.

Bila ada waktu senggang, Nong Sil menyempatkan diri pulang kampung untuk bertani. Ia masuk kebun dan menanam. Secara aktif ia juga mengkampanyekan sengon yang di kembangkan oleh sobatnya Alfonsus.

Dalam tulisan ini, secara khusus saya ingin mengenangkan dua peristiwa dimana saya sempat beririsan dengan Nong Sil.

Pertama, terkait peristiwa pilkada Sikka 2008.  

Saat itu saya di Maumere, tak lama setelah kematian orang tua. Ketika saya hendak kembali ke Jakarta, Dokter Henyo Kerong yang akan berpasangan dengan Aleks Longginus  dalam pilkada Sikka 2008 tsb meminta saya bersedia mendukung paket AYO.  Saya siap.  Aleks Longginus (Along) adalah bupati incumbent  yang berprestasi menonjol. Ia dari PDIP. Dokter Henyo Kerong sendiri memiliki jejaring sosial yang luas  di Maumere, khususnya  di bidang pelayanan kesehatan masyarakat. Saingan relatif lemah. Yang diperhitungkan dalam kontestasi pilkada 2008 tsb oleh AYO mungkin cuma paket Aleks Bapa Robby Idong dari Golkar. Karena kekuatan amunisinya. Paket pilkada lain seperti Landoaldus Frans Sura (Mesra), Sosimus  Mitang Damianus Wera (SODA), dan Henny Doing Remmy barangkali bisa dianggap sekedar pelengkap kalau bukan kuda hitam. Ansar Rera, Wakil Bupati Sikka saat itu gagal  mendapatkan endorsement partai politik untuk kandidasi dalam pilkada Sikka 2008.

Saya lantas mulai ikut mendukung menjadi timses paket AYO dan mengikuti  seluruh proses pilkada sejak deklarasi hingga hari pemilihan. Ikut kampanye di seluruh wilayah kabupaten Sikka. Paket AYO semula sangat optimistik. Di mana mana, kampanye ramai dihadiri masyarakat.

Namun sekira dua  minggu menjelang hari pemilihan, isu- isu miring mulai menerpa paket AYO.  Di antara isu miring tersebut, yang paling berat adalah isu plintiran statement Along yang berbau  SARA kepada etnis Lio. Ini mirip kasus Al Maidah yang dialami Ahok di pilgub Jakarta kemarin. Di samping itu muncul pula isu korupsi yang ditiupkan dari Jakarta. Menghadapi terpaan isu -su tersebut, paket AYO tetap tegar dan cukup percaya diri. Untuk meng-counter isu SARA, wue AHP sempat telpon dari Jakarta agar saya  menyampaikan kepada Along supaya bersedia bargaining dengan Ansar Rera, Namun Along menolak tegas.

Lalu tibalah hari kampanye akbar penutup. Saya lupa tanggalnya, tapi itu hari Sabtu. Saat itu, yang masih eksis tinggal paket AYO dan paket SODA.  SODA si kuda hitam berhasil meningkatkan  elektabilitasnya karena hasil kerja kerja senyap yang dilakukan pa Sosi setelah ia berhenti sebagai Sekda Sikka. Namun yang terutama adalah SODA ternyata berhasil membangun kesepakatan politik dengan kelompok Ansar Rera yang menjadi representasi orang Lio. Konstituensi orang Lio memang sangat signifikan di Sikka. Mereka dominan di Paga, Lekebai, Tanawawo, Magepanda, Alok Barat, dan PaluE. Sosimus Mitang sendiri saat itu juga bisa mengklaim beberapa wilayah di Maumere Timur seperti Hewoklo'ang, Doreng, Mapitara, hingga Talibura dan Tanarawa.

AYO kampanye terakhir di Lekebai dan Lela. SODA kampanye di Lapangan Kotabaru Maumere.

Di Lekeba'i, Eddy Dore dibantu Yoce Mali boleh angkat muka tegak karena bisa menghadirkan ribuan masyarakat dari Lekeba'i, Lenandareta, Korobhera, dan lain lain untuk ikut kampanye AYO. Ini sedikit menutup keraguan AYO atas dukungan orang Lio. Dari Lekeba'i, AYO bergeser ke Lela. Sampai d Lela, masyarakat bilang... "Moat Along, tidak usah kampanye di sini....ami mate moret tepo mora kontas..."   Maka rombongan kampanye AYO segera  kembali ke Maumere. Kenapa segera? karena saat di Lela, ada informasi masuk bahwa kampanye SODA  di Maumere ternyata  berbau negative bahkan black campaign terhadap AYO.

Selepas Nita, sekitar Wairpelit, sekira jam 18.00 sore, Innova yang disetir oleh Anjelo Lau semakin ngebut  melaju ke arah Maumere. Masuk lagi khabar meresahkan bahwa dalam kampanye SODA  di Lapangan Kotabaru Maumere yang penuh disesaki massa itu ada diorasikan pula bahwa Along sudah dikurenti dan sudah diterbangkan ke Kupang hari itu juga. Padahal paket AYO sedang dalam perjalanan pulang dari Lela ke Maumere.

Yang berbicara di panggung kampanye SODA itu di antaranya adalah beberapa pengacara asal Maumere di Jakarta. Termasuk Nong Sil. Kepada massa yang hadir  di Lapangan Kotabaru itu juga ada dibagi bagikan fotokopian selebaran  untuk mendiskreditkan  AYO.

Sampai di Maumere, Lapangan Kotabaru ternyata sudah sepi. Kampanye sudah berakhir dan massa sudah kembali ke kampung masing masing. Rombongan AYO akhirnya melakukan konsolidasi di  kantor DPC PDIP Sikka dekat Stadion Gelora Samador. Tokoh tokoh senior PDIP Sikka seperti OLM Gudipung  dan EP da Gomez datang bergabung.  Along dan Henyo serta beberapa pengurus inti PDIP Sikka nampak segera berdiskusi  internal dengan para senior itu untuk tindakan follow up atas kampanye SODA siang tadi. Beberapa kader moncong putih nampak marah dan tidak puas. Ada  pula kader yang sudah memegang bukti selebaran fotokopian anti AYO yang tadi disebarkan. Beberapa pemuda PDIP nampak berbisik bisik satu sama lain di halaman kantor DPC itu. Mata merah muka berkilat. Mungkin juga sudah mulai minum moke. Belakangan saya dengar bahwa bisik bisik itu terkait rencana untuk bikin kaco ke markas SODA. 

Akhirnya Along buka suara. Ia minta saya dan Berto Kerong segera berangkat menuju Waioti ke kantor DPC partai PDP untuk membubarkan sebuah acara diskusi sebagai lanjutan dari black campaign di kampanye SODA sore tadi.  Diskusi itu perlu dibubarkan karena saat itu sudah masuk masa tenang dalam kampanye. Lagipula, materi diskusi itu menurut Along merupakan isu lama yang  diulang ulang saja. Along sendiri langsung menuju RPD  untuk melakukan klarifikasi. Dan esok hari Minggu, ia akan safari ke beberapa gereja di bagian timur Maumere untuk meluruskan isu dan hoaks yang sempat dipercaya itu.

Kami berdua pun berangkat ke arah Waioti. Di depan kantor DPC PDP, ada parkir sebuah mobil patroli dan beberapa anggota kepolisian. Langsung kami tegur agar mereka bisa mengamankan masa tenang dan tidak mengijinkan acara diskusi politik tsb. Masuk ke dalam kantor, nampak acara diskusi yang dihadiri belasan orang. Nong Sil sedang bicara berapi api. Saya dekati Nong Sil dan minta interupsi di telinganya. Kepadanya, juga kepada kaka Seles, saya minta acara segera dibubarkan dengan alasan masa tenang. Syukurlah, mereka mengerti dan menerima serta siap menghentikan acara diskusi tersebut. 

Saat kami keluar kantor, di jalan tampak satu truk berisi puluhan pemuda dari Wolomarang, Mu'ukowot, Nita dan lain-lain. Wajah sangar siap tempur. Kepada mereka kami sampaikan agar walong poi, loning acara ia bubar baa. Mereka nampak tidak puas tapi tetap taat dan kembali ke kantor DPC PDIP Maumere. Entah apa yang akan terjadi bila diskusi politik tersebut terus berlanjut. Konon  saat itu, di sekitar mesjid Muhammadiah Waioti  juga ada berkumpul puluhan pendukung SODA.

Hal kedua, di mana saya sempat beririsan dengan Nong Sil adalah terkait kontroversi yang muncul di FB terkait manajemen Yaspem/Sea World Club sesaat setelah Pater Bollen meninggal dunia...

Jujur, sesungguhnya saya tidak terlalu faham ceritera detail di balik kontroversi tersebut. Hanya umum umum saja. Di wall FB saya juga hanya menulis selintas narasi in memoriam Pater Bollen dengan sedikit insinuasi menyinggung kontroversi tersebut.

Mungkin karena tulisan saya di FB tersebut, Nong Sil lantas menghubungi saya tengah malam. Ia coba jelaskan duduk masalah lalu minta pendapat saya. Kepada Nong Sil, saya hanya tegaskan sikap saya yaitu mikul dhuwur mendem jero dan bersedia merangkul seluruh stakeholder Yaspem.  Nong Sil mendengarkan saja tanpa membantah. Di akhir pembicaraan ia ucapkan epan gawan dan tabe. Selanjutnya, saya tidak lagi mengikuti perkembangan masalah tersebut ....

Sekali lagi selamat jalan Nong Sil. Engkau tercatat dalam memori orang banyak, bukan hanya tentang riwayat dan perjuanganmu, tetapi juga dalam sepenggal sejarah Nian Tana Maumere. (*)

Editor: Redaksi

RELATED NEWS