SOROTAN: Ketika 'Kaum Elit' Menjadi Algojo Kebebasan Pers, Apa Kata Dunia?

redaksi - Senin, 29 September 2025 10:11
SOROTAN: Ketika 'Kaum Elit' Menjadi Algojo Kebebasan Pers, Apa Kata Dunia?Ilustrasi: Pers yang dibungkam (sumber: Floresku.com)

UNESCO (2022): Journalism is a public good. Attacking it is attacking democracy itself.” ( Jurnalisme adalah kebaikan publik. Menyerangnya sama dengan menyerang demokrasi itu sendiri) 

Oleh: Maxi Ali Perajaka*

KEBEBASAN pers di Indonesia kembali berada di bawah ancaman serius. 

Insiden pencabutan ID Card wartawan CNN Indonesia, Diana Valencia, oleh Biro Pers Istana hanya karena bertanya soal Program Makan Bergizi Gratis (MBG) kepada Presiden Prabowo Subianto di Bandara Halim, menjadi bukti nyata bagaimana kekuasaan bisa berbalik menjadi alat represi. 

Tindakan itu jelas bukan hanya gegabah, tapi juga berbahaya. Ia mengirim pesan buruk: bahwa pejabat publik merasa berhak mengontrol bahkan membungkam pertanyaan jurnalis yang dianggap tidak nyaman.

Yang lebih ironis, kasus serupa juga terjadi di daerah.  Beberapa hari lalu, seorang jurnalis eNBeIndonesia di Maumere, Flores, dilaporkan ke polisi oleh FSS—pemilik  dapur penyedia MBG—hanya karena menulis berita dengan menyebut kata “skandal” dalam kasus makanan berulat yang dibagikan ke sekolah-sekolah. 

Alih-alih introspeksi atas buruknya manajemen program, ‘elit lokal’ justru memilih jalan pintas: mengkriminalisasi wartawan.

Inilah wajah suram kebebasan pers kita. Ancaman terhadap jurnalis tidak lagi datang dari senjata atau kekerasan fisik, melainkan dari stempel hukum dan kuasa elit yang tidak mau dikritik.

Elit Membungkam Pers, Fenomena yang Kian Lazim

Yang patut digarisbawahi: praktik membungkam pers semakin lazim terjadi, tidak hanya di lingkaran Istana atau di Maumere. Di banyak tempat, pola yang sama muncul: jurnalis diseret ke ranah hukum, dipermalukan, bahkan diintimidasi oleh mereka yang merasa berkuasa.

Mari kita lihat beberapa contoh lain.

Di Sulawesi, seorang jurnalis media lokal dilaporkan karena memberitakan dugaan korupsi proyek infrastruktur. Dalihnya: pencemaran nama baik.

Di Sumatra Barat, wartawan yang menulis kritik soal proyek pariwisata justru mendapat somasi dari pejabat daerah, padahal berita berbasis data dan wawancara.

Di Papua, jurnalis investigasi kerap mendapat ancaman langsung di lapangan hanya karena meliput konflik dan dampak sosialnya.

Semua kasus ini menunjukkan satu hal: para elit politik dan ekonomi di negeri ini masih memandang jurnalisme kritis sebagai ancaman, bukan pilar demokrasi.

Kebebasan Pers Dijamin Konstitusi

Fenomena seperti jelas sebuah ironi besar. Betapa tidak,  kebebasan pers bukanlah barang mainan. 

Ia dijamin secara tegas dalam Pasal 28F UUD 1945: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi… serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”

Bagaimana mungkin pasal sekuat itu diinjak-injak hanya karena seorang jurnalis melontarkan pertanyaan yang sah, atau menggunakan istilah yang kritis dalam laporannya?

Apa Kata Dunia?

Di level internasional, perhatian pada kebebasan pers sangat besar. Reporters Without Borders (RSF) dalam World Press Freedom Index 2025 menempatkan Indonesia di papan menengah ke bawah, salah satu sebabnya karena kriminalisasi jurnalis masih marak.

PBB melalui UNESCO berulang kali mengingatkan bahwa media harus dilindungi dari intervensi politik maupun ancaman hukum yang sewenang-wenang. Ironisnya, Indonesia sebagai anggota UNESCO justru membiarkan wartawannya diintimidasi, baik di pusat maupun daerah.

Bandingkan dengan praktik di Amerika Serikat atau Eropa. Pertanyaan kritis wartawan terhadap presiden adalah hal biasa, bahkan menjadi tolok ukur transparansi demokrasi. 

Jika seorang pejabat sampai mengintimidasi jurnalis, publik akan bereaksi keras dan lembaga demokrasi akan turun tangan. 

Sementara di Indonesia, wartawan bisa kehilangan ID Card hanya karena bertanya soal MBG, atau dijadikan tersangka hanya karena menulis kata “skandal”.

Dunia akan bertanya: apakah demokrasi Indonesia benar-benar matang, atau hanya panggung semu di mana kritik harus dibayar mahal dengan risiko kriminalisasi?

Demokrasi Tanpa Pers Bebas Adalah Kosong

Demokrasi tanpa pers bebas hanyalah ilusi. Tanpa jurnalis yang kritis, pejabat akan leluasa menyembunyikan kesalahan, sementara rakyat hanya disuguhi citra dan propaganda. Menutup mulut wartawan sama saja dengan menutup mata rakyat.

Kita harus sadar: jurnalis bukan musuh bangsa. Mereka adalah mata dan telinga publik, mereka yang memastikan kekuasaan tetap dalam kontrol. Menyumbat suara jurnalis berarti merampas hak rakyat untuk tahu.

Seruan Keras

Oleh karena itu, kasus Diana Valencia di Istana, kasus eNBeIndonesia di Maumere, maupun intimidasi di berbagai daerah harus menjadi alarm nasional. Presiden, pejabat daerah, aparat hukum, dan seluruh elit bangsa wajib berhenti memperlakukan pers sebagai lawan.

Sebaliknya, biarkan ruang kritik tumbuh. Jadikan pertanyaan wartawan sebagai bahan refleksi, bukan alasan untuk membungkam. Demokrasi kita akan runtuh jika para elit terus berperan sebagai algojo kebebasan pers.

Indonesia seharusnya tampil sebagai teladan di Asia, bukan sebagai negara yang kembali mundur dengan praktik otoriter gaya baru.

Mari kita ingat: suara pers yang bebas adalah suara rakyat. Dan membungkamnya sama saja dengan mengkhianati amanat UUD 1945 serta mengkhianati rakyat sendiri.***

*Penulis adalah pemimpin redaksi Floresku.com. ***

Editor: redaksi

RELATED NEWS