SOROTAN: Pilkada Masa Depan: Lewat DPRD atau Pakai Teknologi Digital?
redaksi - Jumat, 20 Desember 2024 10:37Oleh: Maxi Ali Perajaka
‘WANGI dan bau amis’ Pilkada 2024 belum benar-benar ‘hilang’, tetapi hembusan wacana Pilkada justru muncul lagi. Wacana yang membangkitkan ‘aroma tengik’ terkait pesta demokrasi itu datang dari Presiden Prabowo Subianto.
Ia mengusulkan agar kepala daerah tak lagi dipilih oleh rakyat melainkan oleh legislatif. Pasalnya, pilkada serentak 2024 terbukti sangat boros, menguras anggaran hingga Rp37 triliun.
Namun, sejumlah pengamat menolak usul ini karena dianggap berbahaya bagi demokrasi Indonesia.
“Ini membuat rakyat menjadi tidak berdaya, tidak punya hak pilih. Mengerikan sekali, hak rakyat dikebiri, tidak lagi bisa cawe-cawe," kata Pengamat politik dari Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), Firman Noo seperti dirilis BBC News Indonesia, Senin (16/12).
Sebagian pengamat yang lain, justru mengusulkan agar pilkada masa depan tetap dilakukan secara langsung oleh rakyat.
Namun, untuk menekan biaya, mereka menyarankan agar rakyat tidak perlu hadir di TPS fisik, tetapi di TPS digital. Artinya, pemilih menggunakan hak pilihnya melalui perangkat digital.
Belum dijelaskan secara rinci bagaimana pelaksanaanya secara teknis, tetapi secara teknologis hal itu memungkinkanan. Tinggal, apakah pemilih siap melaksanakannya atau sebaliknya belum siap?
Isu global
Ketika kita berwacana tentang pilkada masa depan, media Vatikan (vticannews.vat) justru merilis berita berjudul ‘AI and democracy: Threats and opportunities’ (Kecerdasan Buatan dan Demokrasi: Ancaman dan Peluang).
Isu ini memang muncul seiring dengan perubahan budaya, informasi, dan komunikasi yang dilakukan kecerdasan buatan (AI) belakangan ini.
AI disebut-sebut memengaruhi banyak aspek kehidupan umat manusia, termasuk proses demokrasi. Oleh karena itu saat ini, sekelompok pakar internasional tengah bersiap untuk merilis “Global Policy Brief” guna membantu para pembuat kebijakan menggunakan AI (untuk proses berdemkrasi, termasuk pilkada) secara bertanggung jawab.
Disebutkan, fokus utama dari dokumen panduan “Global Policy Brief” yang disusun oleh 8 pakar internasional ini adalah untuk mengatasi tantangan global yang mendesak akibat peran AI dalam pemilu.
Dokumen ini akan diluncurkan pada KTT Aksi Kecerdasan Buatan, yang dijadwalkan pada 10-11 Februari 2025 di Paris, di hadapan para pemimpin dunia.
Dalam wawancara dengan Vatican Media, Catherine Régis, Profesor di Université de Montréal dan Direktur di IVADO, mencatat bahwa tahun 2024 dianggap sebagai “tahun pemilu”, dengan lebih banyak negara yang menyelenggarakan pemungutan suara daripada sebelumnya dalam sejarah terkini di tengah meningkatnya pengakuan atas dampak AI pada proses demokrasi.
“Kami pikir ini adalah tahun yang tepat untuk merenungkan pelajaran tentang campur tangan AI dalam pemilu. Apa yang bisa kita pelajari dari ini? Apa yang bisa kita lakukan dengan lebih baik?” katanya.
Florian Martin-Bariteau, pakar kebijakan teknologi yang terkenal secara internasional, menjelaskan perlunya mengatasi masalah ini melalui kerja sama global, dengan menunjukkan bahwa taruhannya bersifat global dengan contoh-contoh disinformasi yang dipicu AI dan campur tangan asing yang muncul di wilayah-wilayah yang mencakup Eropa, Amerika Utara,Asia, dan Amerika Latin.
“Tidak ada satu negara pun, atau bahkan aliansi regional seperti UE, yang dapat mengatasi ini sendirian. Setiap demokrasi berada dalam risiko. Untuk melawan ancaman global ini, kita membutuhkan kolaborasi internasional dan solusi konkret,” katanya.
AI sebagai alat: Pedang bermata dua
Para ahli mencatat bahwa AI membawa harapan dan bahaya bagi sistem demokrasi. AI berpotensi meningkatkan partisipasi dan transparansi politik, tetapi AI juga dapat memperkuat kampanye misinformasi dan memfasilitasi alat pengawasan yang merusak pemilu.
“Kita tidak bisa hanya menyalahkan beberapa perusahaan besar,” imbuh Martin-Bariteau,. Sebab, dia menambahkan, “Ada banyak perusahaan rintisan kecil di seluruh dunia yang menciptakan perangkat AI yang memperbesar ancaman terhadap demokrasi. Teknologi tidaklah netral; orang-orang yang memutuskan bagaimana sistem dirancang.”
Menurut Martin-Bariteau dan Régis, inilah alasan mengapa para pembuat kebijakan harus turun tangan - untuk memastikan bahwa pengembang AI bertindak secara bertanggung jawab dan mempertimbangkan kerugian sosial saat merancang sistem mereka.
Dari kegagalan moderasi konten pada platform seperti TikTok atau X hingga penargetan kelompok rentan, mereka menekankan bahwa pilihan desain AI memiliki konsekuensi yang luas.
Mempertahankan Demokrasi
Sebagaimana diketahui Paus Fransiskus sering berbicara tentang “Perang Dunia Ketiga yang terpecah-pecah”. Banyak analis setuju bahwa mempertahankan demokrasi di tengah perkembangan AI yang pesat adalah bagian dari pertempuran yang lebih luas ini.
Merenungkan kerapuhan demokrasi di bawah tekanan, Régis menjelaskan bahwa “Demokrasi adalah sistem yang kompleks. Demokrasi menuntut transparansi, energi, dan dialog berkelanjutan. AI menambah lapisan kompleksitas ekstra, yang dapat memperkuat demokrasi atau membuatnya semakin rapuh.”
Martin-Bariteau menunjukkan bahwa respons harus melibatkan banyak pemangku kepentingan - melibatkan pemerintah, masyarakat sipil, dan sektor swasta, dan ia mencatat bahwa tantangannya melampaui batas negara.
“Ini bukan hanya tentang satu negara atau wilayah. Solusi yang kami usulkan harus bekerja secara global,” katanya.
Tindakan konkret bagi Pembuat Kebijakan
Kedua pakar sepakat bahwa Ringkasan Kebijakan Global lebih dari sekadar refleksi: ini adalah seruan untuk bertindak. Ringkasan ini mendesak pemerintah untuk menyatukan sumber daya, menegakkan akuntabilitas yang lebih ketat bagi pengembang AI, dan memanfaatkan kerangka kerja internasional yang ada untuk menciptakan perlindungan yang kuat bagi integritas demokrasi.
“Kita membutuhkan kerja sama global,” simpul Régis, “Kita sudah memiliki struktur internasional. Mari kita masukkan keahlian AI ke dalam sistem ini untuk mengatasi tantangan ini secara langsung.”
Dilema bagi Kita
Secara jujur, kita perlu mengakui bahwa berhadapan dengan wacana pilkada masa depan, kita seakan sedang berdiri di persimpangan jalan’ . Kita berada dalam situasi dilematis : hendak memilih arah yang mana?
Apakah kita melanjutkan Pilkada dengan cara sekarang yang biayanya sangat mahal?
Atau, apakah kita akan kembali ke pilkada cara lama, cara tidak langsung, seperti yang diusulkan Presiden Prabowo dengan risiko ‘demokrasi’ kembali jadi beku?
Ataukah, kita akan melangkah ke pilkada dengan cara canggih, menggunakan teknologi digital AI?
Ketiga pertanyaan di atas memang tidak mudah dijawab. Tentu saja, tidak perlu juga dijawab segera.
Namun, diskusi dengan aras pro-kontra sepertinya akan terus menggelembung. Tak jadi soal juga!
Asalkan diskusi pro-kontra itu tidak sampai menguras sebagian besar dari energi bangsa ini sehingga kita tak bisa fokus lagi menangani berbagai urusan pokok terkait kemaslahatan bersama.
Jangan sampai pula kita begitu bersemangat mewacanakan demokrasi (pilkada masa depan), sampai-sampai kita pun abai menyusun kekuatan untuk menghadapi potensi resesi ekonomi global, dan ‘perang dunia ketiga’-meminjam istilah Paus Fransiskus- yang semakin nyata.
Sebab, belakangan ini kita berhadapan dengan kenyataan bahwa iklim geopolitik (di kawasan Timur Tengah, Afrika, Eropa Timur, Asia Timur dan Amerika Latin) tidak kian membaik, tetapi sebaliknya kian runyam.
‘Perang tarif dagang’ antara AS vs Tiongkok menjadi kian brutal sehingga sulit ditebak akan kemana ujungnya.
Belakangan ini kita juga menyaksikan bahwa fenomena gesekan atau benturan antarbudaya (agama dan gaya hidup) yang semakin keras, dan sulit dihentikan lagi.
Fenomena ini ibarat api dalam sekam, nyalanya memang tidak kelihatan, tetapi ‘asapnya’ tampak nyata dalam rupa debat kusir, fitnah, hoaks, ujaran kebencian perihal kitab suci dan ajaran agama berbagai media sosial. Ini bukan hanya muncul Indonesia, tetapi terjadi di mana-mana secara globa.***