WORALOGI 19: Cedok!

redaksi - Sabtu, 25 September 2021 10:35
WORALOGI 19: Cedok!Seminari Mataloko (sumber: Istimewa)

Oleh: Gusti Tetiro

AWAL masuk sekolah keramat (bunyinya memang dekat dengan Karmat :D ) seperti Seminari Mataloko tanpa ada perasaan gugup, cemas dan takut itu memang kurang berkesan. 

Kemarin, saya lihat banyak sekali netizen posting antar anak ke almamater kami itu. Salah satu bukti sekolah yang bikin alumni kangen berjamaah, ya sekolah ini. Ada semacam sense of belonging yang dalam dalam diri semua alumninya.

Waktu masuk pertama ke Seminari Mataloko, kata yang bikin saya gugup, dan jujur juga takut, adalah “cedok”. Dimana-mana saya baca kata ini: di locker asmara ada tulisan “Valent Cedok 98”. Di dinding dapur dekat tempat sampah ada tulisan “Aaron Cedok 97”. Bahkan, di got ada tulisan “Hunter Cedok 96”. Pokoknya di banyak tempat dan barang ada tulisan “Cedok”.

Saya kemudian cari tahu: apa arti kata “cedok” ini. Tidak mungkin hanya andalkan arti leksikal. Oh, ternyata maksudnya:  dikeluarkan dari seminari: mungkin karena nilainya kurang, sikapnya minus, atau melanggar aturan-aturan inti. Jadi, tulisan-tulisan di locker, dinding dan got di atas itu adalah salah satu cara mereka yang dikeluarkan ingin dikenang.

Apa itu suatu bentuk vandalisme? Saya rasa tidak! Itu hanya ekspresi anak-anak remaja awal agar ingin dikenang bahwa mereka pernah memberi bekas pada suatu perjalanan hidup singkat di salah satu sekolah historis itu. Kesalahan yang bisa dimaafkan. Om-om tukang sangat sabar untuk menghapus dan kembali mengecat tembok dan almari. Kalau tulisan di got mah bodoh amat! :D Masa mau dikenang di got!?

Kata “cedok” itu kemudian bisa dijinakkan setelah melewati satu tahun dan mulai bisa menakar diri apakah bisa tembus atau tidak sampai tamat SMA. Ada satu kisah menarik juga tentang kata “cedok”.

Ini cerita seorang teman. Ketika kunjungan umat ke salah satu paroki sekitar seminari, ada seorang ibu Santa Anna menasihatinya dengan serius, “Anak sekolah baik-baik di seminari, awas cendol!”.

Teman saya ini tidak kalah gokil menjawab, “Mama, kalau cendol enak le apalagi kalau pas habis makan”

"Eee... orang omong yang benar juga" :D. Mama Santa Anna ini kemudian menjewer telinga sang seminaris muda. Kisah-kisah macam begini yang bikin kita kangen Mataloko dan Bajawa: semua orang tua di sana memperlakukan anak seminari seperti anak mereka sendiri.

Kalau sudah begini bagaimana kami tidak mudah baper dan selalu merasa tanah Ngada sebagai rumah kedua kami. Di setiap lidah dan mulut mantan seminari Mataloko selalu ada jejak ke-Ngada-an: “Wala…!”, “Unus e….”, “Ma’e woe…!”, “Ti’i dia mai…!” dan lain-lain.***

Editor: Redaksi

RELATED NEWS