Komnas Perempan Luncurkan Laporan Hasil Pemantauan atas Praktik Keadilan Restoratif di NTT

redaksi - Selasa, 30 Juli 2024 11:20
Komnas Perempan Luncurkan Laporan Hasil Pemantauan atas Praktik Keadilan Restoratif di NTTFoto bersama usai acara launching Laporan Pemantauan atas Restorative Justice di Hotel Silivia Maumere, Senin (28/7). (sumber: Silvia)

MAUMERE (Floresku.com) – Komnas Perempuan melaunching ‘ Laporan Pemantauan Penerapan Mekanisme Keadilan Restoratif dan Sejenisnya pada Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan di Provinsi Nusa Tenggara Timur’.

Acara ini dilangsungkan di Hotel Silvia Jl. Gajah Mada, Maumere, Senin, 29 Juli 2024, kemarin.

Hadir dalam acara launching laporan tersebut sejumlah pejabat dan para tokoh dari beberapa lembaga pemerintahan, lembaga pendidikan, dan lembaga swadaya masyarakat seperti Bapedalitbang, DP2AP3AKB, Setda, PBH Nusra, Fren, JPIC SSP, FH UNIPA, Yayasan PAPHA, JPIC KUM, YSSP Soe, UNIPA, JPIC, ITFK Ledalero, UPTD PPA, Lembaga Adat, dan Truk F.

Laporan tersebut menyebutkan antara lain bahwa dalam beberapa konsultasi publik Komnas Perempuan pada Program Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus Kekerasan terhadap Perempuan (SPPT PKKTP) ditemukan praktik keadilan restoratif pada kekerasan terhadap perempuan cenderung menguntungkan pelaku dan daripada korban.

Merespons hal ini, Komnas Perempuan melakukan pemantauan terhadap praktik keadilan restoratif, dengan fokus pada penerapan regulasi keadilan restoratif dan praktiknya termasuk serupa keadilan restoratif.

Pemantauan dilakukan dengan pendekatan kualitatif berperspektif hak asasi perempuan dengan metode wawancara mendalam dan diskusi kelompok terpumpun. 

Secara nasional, wilayah pemantauan mencakup 9 provinsi, 22 kabupaten/kota dengan pertimbangan variasi kasus, wilayah konflik, dan penerapan kebijakan yang beragam

Temuan pemantauan memperlihatkan pentingnya penguatan bagi aparat penegak hukum yang meliputi pengetahuan, proses dan dampak dalam penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dengan mekanisme keadilan restoratif.

Pemantauan juga mencatat, di tingkat nasional terdapat 115 kasus yang ditangani dengan mekanisme keadilan restoratif di institusi penegak hukum, kebanyakan kasus KDRT ringan. 

Di tingkat kepolisian mekanisme ini diterapkan pada 65 kasus, sedangkan kejaksaan dan pengadilan masing-masing 25 kasus.

Kesimpulan

Laporan tersebut memuat beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1) Pemahaman mengenai mekanisme Keadilan Restoratif yang beragam dan belum utuh,
baik itu di IPH (kepolisian). Bahkan lembaga layanan layanan baik itu milik pemerintah
2) maupun masyarakat serta lembaga adat, masih banyak yang belum mengenal istilah
keadilan restoratif.
3) Pada proses penyelesaian kasus melalui mekanisme keadilan restoratif, pemulihan
korban belum menjadi prioritas utama. .
4) Wilayah timur, masih kuatnya pengaruh lembaga adat dalam penyelesaian kasus yang
terjadi di Masyarakat
5) Mekanisme Keadilan restoratif menjadi sempit maknanya karena disamakan dengan
mediasi.
6) Dalam proses penyelesaian kasus melalui mekanisme keadilan restoratif, korban belum
sepenuhnya terlibat.

Rekomendasi

Selanjutnya, laporan itu memuar beberapa butir rekomendasi sebagai berikut:
1) Pemerintah perlu melakukan pelatihan secara terus menerus dan berjenjang dengan
melibatkan berbagai pemangku kepentingan sehingga peningkatan kapasitas dan
penguatan jejaring penanganan kasus dapat terbangun secara bersamaan. Hal ini
termasuk penguatan jejaring untuk memaksimalkan upaya pemulihan bagi korban.
2) Kepolisian melakukan evaluasi terhadap pelaksanaan penanganan kasus kekerasan
terhadap perempuan dengan mekanisme keadilan restoratif, terutama pada aspek
muatan kesepakatan yang belum mendukung upaya pemulihan bagi korban.
3) Kepolisian perlu membuat pendataan kasus kekerasan terhadap Perempuan yang proses penyelesaiannya menggunakan mekanisme keadilan restoratif, sehingga ketika korban yang sama lapor penyelesaian kasus tidak menggunakan mekanisme keadilan restoratif. 
4) Pemerintah daerah memastikan ketersedian layanan bagi perempuan korban kekerasan, baik infrastruktur, SDM dan anggaran sesuai dengan UU No 12 tahun 2024 tentang Penghapusan Kekerasan Seksual. 
5)  Institusi penegak hukum, lembaga layanan, dan lembaga adat melakukan peningkatan kapasitas bagi anggota-anggotanya, dan memastikan pemahaman mengenai kebijakankebijakan diinternalisasikan dalam praktik penanganan kasus.

Dalam sesi diskusi, sejumlah peserta penyarakankan agar penanganan kasus kekerasan perempuan supaya dilakukan secara komprehensif sehingga para pelaku menjadi jera, dan para korban kembali leluasa membangun kehidupan baru yang lebih bermartabat.

“Jangan sampai, kita berhenti pada pendataan kasus saja, tetapi tidak pernah sampai pada penyelesaiannya,” ungkap seorang peserta.  (Silvia). ***
 

RELATED NEWS