Aduh, 68 Persen Warga Indonesia Miskin, Bagaiman Nasib Generasi Mudanya?
redaksi - Senin, 16 Juni 2025 21:11
JAKARTA (Floresku.com) - Bank Dunia resmi menetapkan garis kemiskinan baru sebesar US$8,30 per hari (PPP 2021), atau setara penghasilan Rp1,51 juta per orang per bulan. Berdasarkan standar ini, sebanyak 68,3% penduduk Indonesia, sekitar 195 juta jiwa masuk dalam kategori miskin secara global.
Angka ini sangat kontras dengan data resmi pemerintah yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS), yang menyebut tingkat kemiskinan nasional pada September 2024 hanya 8,57% atau sekitar 24 juta jiwa.
Perbedaan ini bukan sekadar perdebatan metodologi statistik, melainkan cerminan kondisi ekonomi yang nyata di lapangan, terutama bagi generasi muda yang kini menghadapi tekanan ekonomi, sosial, dan psikologis secara simultan.
Perbedaan Data: Dua Dunia dalam Satu Negara
Perbedaan mendasar antara data BPS dan Bank Dunia terletak pada metodologi. BPS menggunakan pendekatan kebutuhan dasar yang menghitung biaya minimum untuk memenuhi 2.100 kkal per hari ditambah kebutuhan non-makanan seperti perumahan, pendidikan, dan kesehatan.
Hasilnya, garis kemiskinan nasional hanya sebesar Rp595.243 per kapita per bulan. Sebaliknya, Bank Dunia menggunakan pendekatan Purchasing Power Parity (PPP) global yang disesuaikan dengan standar negara berpendapatan menengah atas (UMIC), sehingga menetapkan garis kemiskinan Indonesia sebesar Rp1,51 juta per bulan.
- Skor Keamanan Siber Indonesia Tertinggi di ASEAN, Tapi Adopsi AI Masih Tertinggal
- Bacaan pada Misa Harian, Selasa, 17 Juni 2025
- SOROTAN: Ironis, Pemda Sikka 'Singkirkan' Dokter Anastesi, Anak Nian Tanah Sikka Sendiri
Data BPS dibuat untuk menyusun kebijakan domestik, sedangkan Bank Dunia lebih fokus pada perbandingan internasional. Akibat perbedaan metode ini, muncullah dua angka kemiskinan yang sangat berbeda, 8,57% versi BPS dan 68,3% versi Bank Dunia.
Dampak Nyata Bagi Anak Muda: Antara Bertahan dan Menyerah
Bagi jutaan anak muda Indonesia, angka ini tidak mengejutkan. Justru, angka 68% tersebut mengonfirmasi realita hidup yang mereka hadapi sehari-hari. Banyak dari mereka bekerja di sektor informal, seperti buruh lepas, kurir, atau driver ojek online, dengan penghasilan harian sekitar Rp50.000 atau hanya Rp1,5 juta per bulan.
Ini berarti, secara otomatis mereka masuk kategori miskin versi Bank Dunia. Minimnya akses terhadap jaminan sosial membuat mereka sangat rentan terhadap guncangan ekonomi seperti sakit atau kehilangan pekerjaan.
Meski Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta mencapai Rp5,3 juta per bulan, tak sedikit anak muda dari luar daerah yang harus mengalokasikan 40–60% pendapatan mereka hanya untuk sewa kamar kos.
Setelah ditambah biaya makan, transportasi, dan pulsa internet, sisa penghasilan mereka hanya sekitar Rp1–2 juta per bulan. Dalam konteks garis kemiskinan global, mereka tetap dianggap miskin.
Tidak hanya itu, tekanan ekonomi ini juga berdampak pada kesehatan mental. Survei International Labour Organization (ILO) tahun 2024 menunjukkan bahwa 67% anak muda Indonesia merasa tidak aman secara finansial.
Banyak dari mereka yang bekerja di sektor gig economy atau freelance, mengalami krisis eksistensi akibat tidak adanya kestabilan pendapatan dan masa depan yang jelas.
Urbanisasi juga menambah beban. Dengan proyeksi bahwa lebih dari 70% penduduk Indonesia akan tinggal di kota pada tahun 2045, mahalnya biaya hidup kota mendorong anak muda tinggal di permukiman padat dan kumuh yang rawan banjir, polusi, dan kekurangan infrastruktur dasar.
Menurut data World Resources Institute (WRI), hanya 9% masyarakat miskin perkotaan yang memiliki akses terhadap air pipa yang layak, sementara hanya 36% yang memiliki sanitasi aman.
Bagi anak muda Indonesia yang hidup dalam tekanan ekonomi, fakta garis kemiskinan bukan sekadar angka, melainkan cermin getir kehidupan sehari-hari di negeri dengan sumber daya alam yang sangat besar.
Tulisan ini telah tayang di www.trenasia.com oleh Muhammad Imam Hatami pada 16 Jun 2025