Bedah Buku ‘Kembara Pikiran’: Menyusuri Catatan Harian Frizt Meko, Imam dan Misionaris SVD

redaksi - Sabtu, 22 November 2025 11:36
Bedah Buku ‘Kembara Pikiran’: Menyusuri Catatan Harian Frizt Meko, Imam dan Misionaris SVDPater Frizt Meko SVD, penulis buku Kembara Pikiran (2025) dalam acara bedah buku, Jumat 921/11) malam di Auditorium Benedictus Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya. (sumber: harian.disway.id)

SURABAYA (Floresku.com) – Senja di Surabaya pada Jumat, 21 November 2025 turun perlahan bersama rinai hujan yang membasuh trotoar dan pepohonan. Jalanan yang basah memantulkan cahaya lampu kota yang mulai menyala. 

Dalam suasana itu, orang-orang melangkah menuju Auditorium Benedictus, Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya (UKWMS). Kaki mereka membelah dingin hujan, tetapi hati mereka justru terasa hangat: malam itu, sebuah perjalanan batin akan dibuka lewat bedah buku Kembara Pikiran, karya terbaru Pater Dr. Fritz Meko, SVD.

Acara bedah buku itu dimulai pada pukul 17.30 dan berlangsung hingga 19.00. Meski hanya dihadiri 188 peserta—lebih sedikit dari yang diperkirakan karena pada saat bersamaan dua acara besar berlangsung di Paroki Santo Yakobus dan Paroki Santo Yosefat—ruangan terasa penuh oleh semangat, tawa, dan keingintahuan. 

Mereka yang hadir adalah orang-orang yang datang bukan karena kewajiban, tetapi karena kerinduan untuk mendengarkan suara seorang imam yang menuliskan hidup seperti doa dan menyajikannya dalam bentuk catatan harian.

Perayaan Kata dalam Senja Surabaya

Bagi banyak peserta, malam itu bukan sekadar acara literer. Ia adalah pertemuan batin. Musik lembut dari gitaris ternama Jimmy Charles dan organis Yola mengalun pelan mengisi sela-sela diskusi. 

Nada-nada itu seperti membentangkan karpet sunyi, tempat audiens bisa berteduh dari kebisingan dunia luar. Beberapa peserta bahkan menutup mata sejenak, tenggelam dalam irama sebelum sang pastor membuka kisahnya.

“Catatan harian ini bukan perjalanan fisik. Ini perjalanan jiwa,” ujar Pater Fritz ketika menyapa hadirin. Ia berbicara dengan cara yang tenang—seolah setiap katanya sudah dipilih dengan saksama sebelum keluar dari bibirnya.

“Setiap butiran pikiran yang tercecer, jika dibukukan, akan menjadi hadiah,” tambahnya. Kalimat itu seperti merangkum seluruh semangat buku ini: refleksi kecil yang menjadi harta rohani ketika dibagikan.

Malam itu, bedah buku ini sekaligus menjadi bagian dari syukuran 150 tahun karya misi Kongregasi SVD di Indonesia serta 100 tahun kehadiran Biara Soverdi Surabaya. Dua perayaan besar itu menghadirkan dimensi historis yang memperkaya acara. Para peserta merasa bahwa suara Pater Fritz bukan hanya suara seorang individu, tetapi gema dari tradisi panjang para misionaris SVD yang bekerja dengan kata, doa, dan pelayanan.

Kisah-kisah yang Tumbuh dari Kehidupan Sehari-hari

Buku Kembara Pikiran disusun dalam tiga bagian yang menggambarkan perjalanan rohani seorang imam:

Menapaki Bumi

(180 catatan refleksi pendek tentang kehidupan sehari-hari)

Di bagian ini, Pater Fritz menulis kisah-kisah yang begitu dekat dengan kehidupan: tukang becak yang tetap tersenyum meski kakinya terluka, seorang ibu yang menangis diam-diam setelah anaknya lulus sekolah, percakapan sederhana di warung kopi, atau senyum anak kecil di sudut pasar.

Menatap Langit

(63 catatan personal tentang peziarahan hidup)

Di sini, hidup dipandang sebagai perjalanan panjang “dari kandungan ibu menuju kandungan bumi”. Setiap tahap, setiap usia, setiap luka, dan setiap berkat ditulis sebagai stasiun peziarahan.

Wahyu Ilahi

(89 puisi dan prosa reflektif bernuansa kontemplatif)

Bagian ini menunjukkan sisi literer sang imam. Ia mengutip Ralph Waldo Emerson: “Puisi mengajar sebanyak mungkin dengan kata sesedikit mungkin.” Dan memang, kalimat-kalimatnya seperti hujan tipis: jatuh perlahan, namun meninggalkan bekas.

Dalam dialognya, Pater Fritz tidak bicara tentang teori teologi atau dogma yang mengawang. Ia berbicara tentang hidup: tentang pagi yang dingin, tentang rasa bersalah yang muncul setelah marah, tentang keheningan senja yang sering kita lewatkan. “Hidup ini termiliki. Ada yang punya,” katanya. Siapa pemilik itu? Bagi sang imam, jawabannya jelas: Tuhan.

Para Pembedah yang Menghadirkan Perspektif Kaya

Empat pembedah hadir malam itu, masing-masing membawa warna tersendiri:

Dr. RD. Aloysius Widayawan Louis

Ia menyoroti kedalaman spiritual dalam tulisan-tulisan Pater Fritz. Menurutnya, buku ini adalah “ruang dialog” di mana iman, seni menulis, dan pengalaman manusia bertemu.

Dr. Wayan Maryanta, SVD – Rektor Seminari Tinggi SVD Malang

Baginya, buku ini adalah teladan hidup religius yang konkret.

“Religius itu bukan hanya berdoa dan berkhotbah. Religius juga menulis, merenung, dan membagikan kasih Allah,” ujarnya.

Narudin Pituin

Narudin memandang Kembara Pikiran sebagai karya sastra yang jujur.

“Ini bukan buku teologi. Ini buku kehidupan. Fritz menulis seperti seorang sastrawan yang kebetulan imam,” katanya.

Komentarnya memicu tawa dan tepuk tangan kecil dari peserta.

Sr. Dr. Vero Endah Wulandari

Ia mengaku paling tersentuh oleh puisi dan prosa Pater Fritz.

“Ada kehadiran Tuhan yang tidak digemborkan, tapi dirasakan,” ujarnya.

Ucapan itu membuat beberapa peserta mengangguk pelan, seolah merasakan hal yang sama.

Para pembedah tampil hangat, tidak kaku. Mereka tampak menyiapkan diri dengan baik—diskusi bergerak dinamis, sesekali jenaka, sesekali sunyi. “Berbobot dan berwarna,” kata salah satu panitia.

Resonansi di Hati Para Peserta

Meski hadir “hanya” 188 orang, kesan yang muncul justru sebaliknya: ruangan terasa padat oleh pengalaman batin. Banyak peserta mengaku puas dan terberkati.

“Rasanya tidak menyesal mengikuti acara ini. Sangat memperkaya,” ujar Teguh Kinarto, seorang tokoh pengusaha yang hadir malam itu.

Beberapa mahasiswa UKWMS dan umat paroki yang datang juga mengutarakan kesan serupa.

“Bukunya seperti cermin. Membuat saya melihat hidup saya sendiri,” kata seorang mahasiswi Fakultas Psikologi.

“Tulisannya sederhana, tapi kena di hati,” tambah peserta lain.

Musik, Tawa, dan Kebersamaan yang Tidak Terburu-buru

Salah satu elemen paling berkesan malam itu adalah musik. Jimmy Charles dengan gitarnya dan Yola pada organ menghadirkan suasana yang “seru”, kata para peserta. Mereka memainkan beberapa komposisi dari berbagai genre—dari klasik lembut hingga melodi etnik yang hangat.

Begitu sesi diskusi selesai, hujan di luar mulai reda. Peserta bergerak menuju ruang makan malam. Namun atmosfer hangat tetap bertahan. Orang-orang berbincang seperti keluarga besar. Tidak ada yang tergesa pulang.

Para peserta berbicara tentang banyak hal: tentang buku, tentang hidup,tentang pikiran-pikiran yang tercecer -- persis seperti refleksi dalam Kembara Pikiran.

Bahkan setelah makanan habis, banyak yang belum beranjak. Mereka tetap duduk, tetap berbincang, tetap tersenyum. 

“Ini malam yang indah,” kata seorang dosen UKWMS sebelum pamit.

Ketika Buku Menemukan Rumahnya

Pada akhirnya, Kembara Pikiran bukan hanya diluncurkan malam itu. Ia menemukan rumahnya—di hati mereka yang hadir, di percakapan yang tercipta, di hening yang sengaja dibuat, dan dalam musik yang mengalun lembut sebagai penuntun.

Dalam rinai hujan Surabaya, dalam senja yang perlahan lenyap di balik gedung-gedung, buku itu mengajarkan satu hal sederhana: bahwa kehidupan, betapa pun sibuknya, selalu menyimpan ruang untuk hening, untuk jeda, dan untuk melihat Tuhan dalam hal-hal kecil.

Dan mungkin, seperti yang ditulis Pater Fritz, perjalanan itu tidak membutuhkan langkah panjang. Yang dibutuhkan hanyalah keberanian untuk berhenti sejenak—untuk menyimak, merasakan, dan kemudian berjalan kembali dengan hati yang lebih terang. (SP/Leonny). ***

Editor: redaksi

RELATED NEWS