Hermeneutika Pancasila: Paradigma Penafsiran Al-Qur’an dalam Konteks Keindonesiaan

redaksi - Minggu, 28 Agustus 2022 15:23
Hermeneutika Pancasila: Paradigma Penafsiran Al-Qur’an dalam Konteks KeindonesiaanUjian promosi doktor Ahmad Mutaqqin di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Jumat, 26 Agustus 2022. (sumber: BPIP)

YOGYAKARTA (Floresku.com) - Di dalam era di mana  sekat ruang dan waktu semakin menghilang, dialektika  antara pihak dengan berbagai latar belakang makin sering terjadi.

Tak jarang pertemuan ide, perbedaan interpretasi dan pemaknaan ini menimbulkan benturan benturan yang mengakibatkan terjadinya gesekan dalam masyarakat yang lebih jauh dapat menyebabkan pertikaian antar golongan. 

Karena itulah Ahmad Muttaqin dalam disertasi yang diujikan pada Jumat 26 Agustus 2022 membahas mengenai “HERMENEUTIKA PANCASILA: Paradigma Penafsiran Al-Qur’an Konteks Keindonesiaan”.

Menurut Muttaqin,  studi ini dibuat sebagai upaya untuk menjembatani konsesus antara beragama dan bernegara.

Pemilihan Judul dan topik Ini  dilatar belakangi oleh problem teoretis penafsiran Al-Qur’an  dalam konteks keindonesiaan. 

Meskipun pendekatan kontekstual telah  mengalami perkembangan, pendekatan penafsiran yang berakar dari  prinsip keindonesiaan belum sepenuhnya dibangun secara paradigmatis. 

Muttaqin  berargumen bahwa pendekatan kontekstual masih perlu dikembangkan dalam konteks keindonesiaan yang memiliki perbedaan  dengan bangsa atau negara lain. 

Pancasila sebagai dasar dan pedoman berkehidupan, berbangsa dan bernegara di Indonesia tentunya dapat menjadi basis penafsiran.

Pancasila tidak hanya sebagai  ekstrak nilai kultural dan representasi konteks sosial, tetapi juga dapat  diaktifkan menjadi paradigma penafsiran Al-Qur’an.

Oleh karena itulah penelitian ini memiliki tujuan untuk  menjawab tiga rumusan masalah yaitu bagaimana  konstruksi paradigma kontekstual Al-Qur’an yang telah ada dan  mengapa masih perlu dikembangkan dalam konteks keindonesiaan?

Mengapa paradigma penafsiran Al-Qur’an konteks keindonesiaan perlu melibatkan Pancasila? 

Dan  bagaimana konstruksi paradigma penafsiran  Al-Qur’an konteks keindonesiaan yang berbasis Pancasila

Dalam Ujian Promosi doktor ini mengemuka bahwa Upaya mendialogkan Pancasila sebagai representasi  keindonesiaan telah banyak dikaji untuk diintegrasikan dalam studi  keislaman.

Namun, selama ini upaya tersebut lebih cenderung pada legitimasi sila Pancasila dengan ayat atau mencari kesesuaian nilai  keduanya. 

Menanggapi hal tersebut Kepala BPIP Yudian Wahyudi yang hadir sebagai promotor dan penguji menyatakan bahwa perlu dibangun Konsensus antara para pihak dalam metodologi penafsiran, sering kali  hal yang sebenarnya sama sama baik dianggap bertentangan karena perbedaan metodologi, tafsir dan sudut pandang.

Oleh karena itu, lanjut Wahyudi, Konsensus yang hanya bisa didapatkan melalui musyawarah dan mufakat merupakan unsur penting dalam upaya menjembatani perbedaan perbedaan sudut Pandang, karena Konsensus adalah pertemuan pemikiran, bukan penyeragaman.

Lebih lanjut Muttaqin menyatakan bahwa Pancasila adalah konteks kekinian dalam penafsiran  kontekstual keindonesiaan. 

Selain sebagai ideologi, ia dapat dikembangkan menjadi paradigma keilmuan dalam penafsiran. 

Pancasila juga memiliki nilai religius-humanistis sebagaimana  prinsip pendekatan kontekstual. Ia memiliki unsur Ilahi sekaligus  manusiawi, universal sekaligus lokal, absolut sekaligus relatif, abadi  sekaligus sementara, dan tekstual sekaligus kontekstual. 

Hukum kepasangan ini tidak hanya terkandung dalam setiap sila Pancasila,  tetapi juga dilihat dari keseluruhan sistem Pancasila dan karenanya Pancasila dapat menjadi model realitas sekaligus idealitas penafsiran konteks keindonesiaan. 

Staff Khusus Ketua Dewan Pengarah BPIP  Antonius Benny Susetyo yang Juga hadir dalam kesempatan itu sebagai penguji  memberi pertanyaan mengenai apa manfaat praktis dari penelitian ini, yang tidak hanya berguna bagi BPIP sebagai badan yang bertugas mengelola dan memberikan Pembinaan Pancasila kehadapan publik.

Ahmad Mutaqqin kemudian menjawab bahwa fungsi dari Penelitian Ini adalah membuktikan bahwa Pancasila adalah representasi yang penting dan valid dari sisi Keindonesiaan. 

Pasalnya,  Pancasila tidak hanya mengakomodir sisi Ketuhanan yang sejalan dengan Al-Quran tetapi juga sisi berkehidupan dan bertingkah laku.

Lebih lanju, jelas Mutaqqin,  hal ini membuktikan Bahwa Pancasila dan Agama bukan hal yang berseberangan dan harus dipilih salah satu.

”Segala jenis perbedaan sudut pandang dan tafsir dapat dikelola dengan menggunakan Pancasila sebagai dasar hingga perbedaan yang terjadi semata mata berguna untuk memperkaya keilmuan dan sudut pandang, bukan untuk dipertajam hingga berujung pada perpecahan”, tutup Mutaqqin dalam acara yang diselenggarakan di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta itu. (SP/Silvia). ***

RELATED NEWS