JPIC SVD Ruteng: Pembangunan Wisata Super Premium Ada Dampak Negatif Terhadap Masyarakat Lokal

redaksi - Sabtu, 11 Desember 2021 18:30
JPIC SVD Ruteng: Pembangunan Wisata Super Premium Ada Dampak Negatif Terhadap Masyarakat LokalSeminar yang diselenggarakan oleh JPIC SVD Ruteng bekerjasama dengan LSM Ilmu di Aula Mapolres Mabar, Labuan Bajo, 10 Desember 2021. (sumber: Ted N)

RUTENG (Floresku.com)- JPIC SVD Ruteng, melalui Pater Simon Suban Tukan SVD menyampaikan bahwa pembangunan pariwisata super premiun tidak hanya menunai Infrastruktur yang megah, tapi juga membawa dampak negatif bagi masyarakat lokal.

Hal ini disampaikan oleh Pater Simon dalam sebuah seminar yang diselenggarakan oleh JPIC SVD Ruteng bekerjasama dengan LSM Ilmu di Aula Mapolres Mabar, Labuan Bajo, 10 Desember 2021.

Seminar ini dilaksanakan dalam rangka memperingati hari Hak Asasi Manusia Sedunia yang diperingati setiap tanggal 10 Desember.  Adapun tema dalam seminar ini adalah ‘Pembangunan Super Premium Berbasis HAM’.

Pemateri dalam seminar ada tiga orang, yaitu Pater Simon Suban Tukan, SVD, Pater Alexander Jebadu, SVD dan mewakili Polres Mabar.

Simon Suban Tukan dalam paparan materinya menyampaikan bahwa pariwisata  super premium memiliki dua aspek penting, yakni kebijakan dan peran pemerintah (pusat) serta implementasinya pada tataran kegiatan pembangunan.

Pertama, dari sisi kebijakan dan peran Pemerintah Pusat Kebijakan ini  baik, karena pemerintah mau menggerakan pembangunan di Labuan Bajo Manggarai Barat khususnya dan Flores umumnya, agar terjadi percepatan pemerataan pembangunan dengan harapan terjadi juga pemerataan kesejahteraan.

Simon menjelaskan, menjadikan Labuan Bajo sebagai tujuan wisata super premium berarti pemerintah mau mengembangkan pusat pembangunan baru, pusat eknomi baru di Indonesia, yang selama ini terkesan sangat sentralistik. 

Dengan menjadikan wilayah ini sebagai tujuan wisata super premium, pemerintah menaikan tidak hanya status, tetapi juga kualitas pelayanan kepada wisatawan. Itu berarti fasilitas dan manusia pramuwisata harus berkualitas super.

Kedua, kata Simon bahwa untuk menjadikan Labuan Bajo dan Flores sebagai tujuan wisata super premium, negara dalam hal ini pemerintah membutuhkan investasi yang besar dan menggandeng pihak swasta, investor atau pengembang dibutuhkan untuk melaksanakan kebijakan wisata super premium.

Dalam konteks ini, benturan di masyarakat sering tidak bisa dihindari. Karena penyediaan fasilitas yang super premium untuk wisatawan, tidak terjadi di ruang kosong, tetapi membutuhkan lahan bagi penyediaan fasilitas. Benturan bisa langsung terjadi adalah persoalan mengenai hak atas tanah.

"Flores ini kecil saja, maka tidak ada lagi lahan yang tidak bertuan, semua sudah dimiliki entah secara komunal sebagai suatu ulayat atau entah secara pribadi. Kami mengamati situasi di lapangan yang menunjukkan bahwa dengan menjadi Labuan Bajo dan Flores  sebagai satu tujuan wisata dunia sejak tahun 2013, konversi bahkan terjadi perampasan lahan dalam jumlah besar mulai terjadi", tegas Simon.

Simon mengingatkan bahwa perlu disadari sangat jarang bahkan tidak ada investor yang mau bekerjasama dengan masyarakat pemilik lahan untuk membangun usahanya. Kalau pun ada perjanjian sewa pakai atau perjanjian kerja sama, perjanjian itu dibuat untuk memperlihatkan bahwa investor sangat menghargai hak masayrakat lokal. 

Namun bila diteliti lebih dalam tidak ada perjanjian yang sungguh-sungguh adil. Perjanjian dibuat untuk memberi kesan bahwa mereka sangat taat hukum dan menghargai Hak asasi manusia. Yang terjadi sesungguhnya adalah privatisasi atas asset-asset masyarakat dan negara. 

Kondisi ini sedang terjadi di Labuan Bajo.

Pengamatan kami dan hasil studi para mitra kami, kata Simon,  memperlihatkan bahwa kebijakan wisata super premium dari pemerintah Jakarta entah disadari atau tidak ternyata membocengi para investor yang membuat privatisasi asset tidak dapat dihindari.

Studi itu memperlihatkan bahwa Labuan Bajo dan sekitarnya dan Taman Nasional Komodo, sedang diprivatisasi, dengan adanya penyerahan hak pengelolaan Taman Nasional Komodo kepada sejumlah perusahaan swasta, seperti Komodo Tourism Wildlife (KWT).

Beberapa objek wisata vital yang selama ini ramai dikunjungi wisatawan, seperti Pulau Rinca, Pulau Padar dan bahkan Pulau Komodo ditengarai diserahkan kepada sejumlah perusahaan swasta untuk mengelolanya.

"Itu sebabnya, saya mengatakan bahwa kebijakan wisata super premium ini memboncengi investor untuk privatisasi asset.  Hal ini bukan menjadi rahasia lagi. Aksi protes oleh para pramuwisata di Labuan Bajo beberapa waktu lalu, sesungguhnya memprotes penyerahan hak kelola objek wisata kepada perusahaan tertentu", kata Pater Simon. (Tedy N).

RELATED NEWS