Kain Tenun Ajak Orang Nagekeo Berbenah di Empat Aspek Kehidupan

redaksi - Senin, 19 Juni 2023 14:26
Kain Tenun Ajak Orang Nagekeo Berbenah di Empat Aspek KehidupanMaxi Ali saat menjadi nara sumber pada acara bedah buku 'Pesona Kain Tenun dan Budaya Nagekeo', Mbay, 16 Juni 2023. (sumber: Maa Lensa/Dinas P dan K Nagekeo)

MBAY (Floresku.com) – Kain tenun Nagekeo, secara intrinsik mengadung empat pesan atau panggilan untuk warga Nagekeo  untuk berbenah. 

Hal ini disampaikan Maxi Ali Perajaka (Maxi Ali) kepada Floresku.com, Sabtu (17/6),  sehari setelah menjadi nara sumber pada Acara Bedah Buku: Pesona Kain Tenun dan Budaya Nagekeo, pada Jumat (16/6).

Maxi Ali diketahui menjadi peneliti dan penulis buku, ‘Pesona Kain Tenun dan Budaya Nagekeo’ mengatasnamai Yayasan Alumni Seminari Mataloko (Alsemat) Jakarta yang berkolaborasi dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Nagekeo.

Menurut Maxi Ali, sebagai sebuah produk budaya dan produk literasi numerasi tertinggi orang Nagekeo, kain tenun mengandung empat pesan atau panggilan yang perlu ditanggapi secara serius oleh seluruh warga Nagekeo.

Pesan atau panggilan pertama, adalah panggilan kultural. 

“Tak bisa disangkali, kain tenun adalah salah satu artefak budaya yang sangat berharga yang diwariskan oleh para nenek moyang. Proses pengambilan bunga kapas di kebun, pemintalan, pewarnaan selalu dilakukan menurut aturan adat. Begitu pula, proses pewarnaan dan pembuatan motif, semua dilakukan berdasarkan pengalaman hidup berbudaya. Misalnya, orang Mbay membuat motif Natas karena Natas (teras/halaman) rumah adalah tempat pertemuan adat. Orang Tonggo membuat motif Teo Wea, karena giwang emas selalu dijadikan belis waktu acara pertunangan,” jelasnya.

Apalagi dalam pemanfaatannya, dia menambahkan, kain tenun Nagekeo digunakan dalam kehidupan sehari-hari, juga dalam kesempatan khusus ketika merayakan ritual adat mulai dari ritual kelahiran hingga ritual kematian.

“Jadi, ketika berhadapan dengan kain tenun, orang Nagekeo semestinya menyadari bahwa dia sedang dipanggil untuk mengenali lebih mendalam adat istiadat dan budayanya,”kata dia.

“Pengenalan budaya, terutama adat istiadatnya,  secara baik akan membantu orang Nagekeo untuk memilah lalu memilih mana adat-istiadat yang perlu dikoreksi ataupun ditinggalkan, dan mana yang harus dipertahankan dan dikembangkan,” ujarnya. 

“Panggilan ini sangat mendesak untuk ditanggapi, karena hampir semua nara sumber buku Pesona Kain Tenun dan Budaya Nagekeo, mengaku bahwa mereka hidup dalam tekanan adat yang berbiaya mahal,” ujarnya lagi.

Kedua, panggilan spiritual. Sebagaimana diketahui kain tenun Nagekeo diproses dengan menggunakan ritual yang menandakan ketergantungan mereka kepada Dewa Zeta Ga’e Zale atau  Wujud Tertinggi atau Tuhan yang Mahakuasa. 

“Fakta ini menunjukkan bahwa kain tenun memuat pesan atau panggilan bahwa orang Nagekeo wajib menumbuhkan iman kepercayaannya kepada Tuhan yang Mahaesa. Mereka dapat mengekspresikan iman mereka secara inkulturatif,” kata alumnus Seminari Mataloko tahun 1984 itu.

Sejak dekade 1980-an, dia menambahkan, para imam Katolik di Flores, tak terkecuali di Nagekeo, sering menggunakan pakaian liturgis yang terbuat dari kain tenun.

“Mengapa, umat Katolik tidak didorong untuk mengenakan kain tenun pada setiap Misa hari Minggu ?” dia bertanya.

“Apabila seluruh umat Katolik  di Nagekeo mau mengenakan pakaian adat atau pakaian modern terbuat dari kain tenun ketika mengikuti Misa pada setiap hari Minggu, maka pasar kain tenun lokal  akan menjadi semakin besar,” ujarnya pula.

Ketiga, panggilan sosial. Proses pembuatan kain tenun melibatkan banyak orang, baik itu anggota keluarga atau pun tetangga, bahkan warga sekampung. 

Setelah ditenun, dia menambahkan, kain tenun digunakan untuk berbagai peristiwa sosial, seperti peristiwa kelahiran bayi,  upacara adat pendewasaan seperti ritual Koa Ngi’i dan Tau Nuwa, adat pertunangan dan peristiwa kematian. 

Bahkan, bagi orang Nagekeo kain tenun selalu dijadikan kado atau hadiah  bagi seorang anak yang menerima Komuni Pertama.

“Fakta sosial tersebut menegaskan bahwa kain tenun mengandung pesan atau panggilan sosial agar Nagekeo membangun kehidupan sosial yang rukun, berdamai dalam suasana kekeluargaan dan penuh kepedulian satu sama lain,” ujarnya.

“Lebih daripada itu, kain tenun juga mengingatkan orang Nagekeo untuk  selalu berkolaborasi dalam semangat Gotong Royong  seperti terungkap pada ungkapan To’o jogho waga sama, Kolo sa toko,Tali sa tebu.Bhila tali delu telu,” ujar lulusan ASI Manila jurusan sosiologi itu.

Terakhir, kain tenun ‘menyuarakan’ pesan atau panggilan ekologis. 

Mantan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen Saint Mary Jakarta itu  mengatakan secara tradisional sejak zaman dulu, proses pembuat kain tenun Nagekeo selalu mengandalkan bahan baku kapas dan bahan perwarna almiah seperti Tarum, Mengkudu dan lain-lain. 

'Mereka mengambil kapas dan bahan-bahan perwarna alamiah itu sejauh kebutuhan, tidak berkelebihan," ujarnya.

Lebih daripada itu, orang Nagekeo mengenal ungkapan adat,  ” Buku gua nee wula dala imu” (Melakukan upacara adat harus selaras dengan peredaran bulan dan bintang). 

Ungkapan ini memang tertuju pada pelaksanaan ritual adat. Namun, berlaku pula pada  kegiatan lain seperti kegiatan mencari nafkah --melalui bertani, berternak berburu, dan menjadi nelayan dan melakukan kerajinan tangan. 

Jadi,  orang Nagekeo diajarkan untuk melakukan aktivitas kehidupan yang penting  menurut  kalender alam, tidak melakukannya sesukanya saja.

Hal tersebut membuktikan bahwa  kain tenun  mengajak orang Katolik Nagekeo untuk memanfaatkan sumber daya alam secara terukur,  tetapi tidak sampai merusakkannya, supaya alam lingkungan tetap lestari.

“Pesan ekologis tersebut telah mendahului Ensiklik Paus Fransiskus, Laudato Si, yang terbit pada tahun 2015 lalu,” jelasnya.

Menurut dia, apabila orang Nagekeo bersedia mendengarkan keempat panggilan yang disampaikan kain tenun, lalu melaksanakannya dengan konsisten, maka kain tenun sebagai produk tertinggi orang Nagekeo akan menjadi sebuah produk yang berkelanjutan.  (Silvi/Donatus Jo).

 

Editor: redaksi

RELATED NEWS