Kain Tenun Nagekeo di Tengah Arus Postmodernisme (Bagian Terakhir): ‘Potensi Pasar Lokal Bisa Capai Rp 42 Milyar Per Tahun’
redaksi - Sabtu, 11 Mei 2024 10:59Oleh: Maxi Ali*
Butuh Riset Lebih Mendalam
Tentu saja, atas nama ‘perluasan pangsa pasar’ kita sepakat dengan inisatif menginovasi kain tenun tradisonal Nagekeo (Bdk.tulisan bagian 3).
Namun, langkah tersebut perlu dilakukan secara berhati-hati. Paling tidak, punya inovasi perlu dilandasi dan ditopang oleh suatu riset yang mendalam, terutama perihal filosofi dan nilai-nilai yang melekat pada proses penenunan kain tenun yang terjadi di komunitas-komunitas adat Nagekeo.
Sebab, secara umum masyarakat Nagekeo menyadari dan meyakini bahwa tradisi menenun dan produk kain tenun adalah hal-hal yang menyatu dengan karifan lokal yang diwariskan para nenek moyang mereka.
Kesadaran dan keyakinan demikian terungkap nyata dalam perbincangan dengan para wanita penenunt dan para pemuka adat di enam Kelompok Tenun dan Kampun Adat (Gerodhere, Nunungongo, Dhozo Djo, Ngglo Mbay - Dhawe, Anokoli dan Mautonggo).
Menurut mereka kain tenun Hoba Nage, Oba/Duka Mite/Yobha Mite, Hoba Nage, Ragi Wo’i Ma’u/Rhuka Tonggo, Ragi Bay dan Dhowik menjadi penanda identitas budaya dan suku.
Semua mereka menuturkan bahwa kegiatan menenun, mulai dari pembudiayaan kapas hingga penenunan benang menjadi selembar kain tenun, dilakukan berdasarkan legenda asa-usul suku, mitos dan pengalaman historis.
Mereka juga menegaskan bahwa proses penenunan dikerjakan seusai ritual adat tertentu: ada doa, ada pemali atau pantangan tertentu.
Secara fungsional, kain tenun pun digunakan selaras dengan kondisi lingkungan sosial-fisik para wanita penenun dan komunitas adat pembuatnya.
Jenis, motif, dan mutu dari kain tenun yang digunakan dalam berbagai kesempatan tersebut mengekspresikan status, kelas dan peran sosial oleh pemakainya.
Para kepala/pemimpin adat, tokoh masyarakat adat (mosalaki), pejabat/pemimpin publik, dan imam/pemimpin agama di Nagekeo biasanya menggunakan jenis kain tenun bermutu tinggi, dengan motif yang paling bagus. Sementara warga Nagekeo lainnya menggunakan kain tenun dari jenis dan motif yang biasa.
Bahkan, kain tenun memiliki makna sosial, spiritual dan berdaya magis sehingga selalu dihadirkan pada setiap inisiasi tahap-tahap kehidupan manusia, mulai dari hari kelahiran hingga hari kematian orang Nagekeo. Sebagai misal, Sada Eko Bha yang dihiasi dengan Motif Mata Leza (Matahari) lazim kaum lelaki dalam ritual adat Tau Nuwa (sunat adat) bagi seorang remaja pria.
Ibarat Berdiri di Persimpangan Jalan
Walau tidak disuarakan secara lantang, pada tahun-tahun belakangan ini para wanita penenun Nagekeo sedang berada dalam situasi dilematis. Mereka seakan berdiri di ‘jalan simpang’: Menenun kain secara tradisional ataukah menenun secara inovatif?
Jalan pertama, selalu dianjurkan oleh para pihak yang merasa bahwa kain tenun tradisional adalah warisan budaya lokal yang perlu dilestarikan, agar tidak sampai punah.
Jalan kedua ditawarkan oleh para pihak yang ingin agar kain tenun bertumbuh menjadi sebuah produk inovatif dan kreatif, supaya bisa meraih pangsa pasar yang lebih luas atau mendatangkan benefit ekonomis yang lebih besar.
Jalan kedua itu seperti yang digalakkan oleh Dekranasda dan Diskoperidag Nagekeo, menenun menggunakan peralatan tradisional, memanfaatkan benang sintetis, mengubah warna dasar dan warna motif kain.
Pada fase berikut, jalan inovasi dapat ditempuh dengan cara memanfaatkan peralatan tenun yang lebih modern seperti Alat Tenun Bukan Mesin (ATBM) dan Alat Tenun Mesin (ATM) sebagaimana diterapkan oleh banyak wanita penenun di Sulawesi Selatan.
Pada fase terakhir, jalan inovasi dapat ditempuh melalui menenun dengan memanfaatkan perangkat teknologi digital sebagaimana diperkenalkan LSM Ditenun di beberapa kalangan wanita penenun di Sumatera Utara (Baca: Maxi Ali: ‘Pesona Seni Tenun dan Budaya Nagekeo, 2023).
Memperhatikan kondisi sosial saat ini, sepertinya wanita penenun Nagekeo belum cukup siap masuk ke jalan inovasi fase kedua dan ketiga. Dibutuhkan kiat lain yang lebih praktis untuk memperluas pangsa pasar kain tenun Nagekeo.
Skenario ceruk pasar lokal kain tenun
Pada bagian pertama dari seri tulisan ini, penulis mengangkat bahwa sejak dekade 1980-an ada ‘gerakan’ yang digalakkan oleh para imam Katolik memanfaatkan kain tenun tradisional sebagai bahan pembuatan pakaian liturgis.
Menurut penulis gerakan ini bisa ‘dilembagakan’ sehingga bisa menimbulkan efek bergulir bagi para wanita penenun.
Sebagaimana diketahui Kevikepan Mbay memiliki 20 paroki dan kuasi paroki, dan sekitr 10 komunitas biara.
Kita berandai-andai, misalnya dalam setahun setiap paroki dan komunitas biara membeli dua lembar kain tenun tradisional untuk membuat satu pakaian liturgis baru dan kain penghias altar, maka akan ada 30 lembar kain tenun terbaik terjual.
Sebetulnya, peran gereja Katolik Kevikepan M bay membantu perluasan pangsa pasar kain tenun Nagekeo bisa diperluas. Misalnya, para siswa penerima komuni pertama dan pasangan menikah ‘dimotivasi’ untuk ‘meninggalkan’ busana modern ala Eropa dan menggantikannya dengan busana yang terbuat dari kain tenun tradisional.
Jika setiap tahun, katakanlah ada 500 siswa penerima komuni pertama, dan 50 pasangan yang menikah, maka ada 550 lembar kain tenun tradisional diserap pasar.
Terakhir, gereja juga dapat mendorong seluruh umat Katolik untuk mengenakan busana dari kain tenun tradisional pada Misa Kudus sekali dalam sebulan.
Situs ‘Nagekeo dalam Angka 2022’ menyebutkan, proyeksi jumlah penduduk Kabupaten Nagekeo per Maret 2024 adalah 166 063 jiwa. Lalu, menurut situs Kanwil Kemenag Provinsi NTT 2022, jumlah penduduk beragama Katolik di Kabupaten Nagekeo adalah 138.921 jiwa,
Nah, apabila gereja Katolik bisa mengajak 50 persen saja dari jumlah tersebut untuk mengenakan pakaian tradisional Nagekeo saat menghadiri Misa Kudus hari Minggu, maka akan ada 69.460 lembar kain diserap oleh umat Katolik sendiri.
Jumlah tersebut menjadi lebih besar apabila pihak Pemerintah Daerah (Pemda) memotivasi seluruh 3,852 pegawainya (terdiri dari 3.332 Pegawai Negeri Sipil dan 520 Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), mengenakan busana tradisional Nagekeo sekali sepekan.
Juga apabila Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (P dan K), Yapersukna dan Kementerian Agama (Kemenag) bersama-sama mendorong para guru dan siswa, mulai dari level TK hingga SLTA untuk juga melakukan hal serupa.
Dari sisi ini, ceruk pasar lokal kain tenun sangat luar biasa. Betapa tidak, e-book ‘Nagekeo dalam Angka 2024’ menyebutkan bahwa jumlah guru di Nagekeo adalah 4.783orang, terdiri dari 359 guru TK, 23 guru Raudathul Athfal (RA), 228 guru swasta SD, 2.336 guru negeri SD, 46 guru Madrasah Ibtidaiyah, 911 guru SMP dan 97 guru Madrasah Tsanawiyah (MTs), 457 guru SMA, 268 guru SMK, dan 58 guru Madrasah Aliyah (MA).
Selain itu, Nagekeo juga memiliki 41.671siswa sekolah. Terdiri dari 3826 siswa TK, 208 siswa RA), 1.803 siswa SD swasta, 17.296 siswa SD Negeri, 605 siswa MI, 8.522 siswa SMP, 916 siswa MTs, 5.787 siswa SMA, 2.379 siswa SMK dan 329 siswa MA.
Jumlah seluruh pegawai, guru dan siswa sekolah di Nagekeo adalah 50.306 orang.
Perputaran dana lebih besar dari PAD
Apabila skenario bahwa setiap paroki , penerima komuni, pasangan menikah, 50 persen dari umat Katolik di Kevikepan Mbay, dan seluruh pegawai, guru dan siswa di Kabupaten Nagekeo ‘membeli’ satu lembar kain tenun saja, maka dalam setahun ada sekitar 120.346 (30 + 550+ 69.460 + 50.306) lembar kain tenun terserap pasar lokal.
Andaikata setiap lembar kain dilepas dengan harga pasar paling rendah yaitu Rp 350.000 maka para wanita penenun Nagekeo akan berhadapan dengan perputaran dana pembelian kain tenun sebesar Rp 42,1 miliar, tepatnya Rp 42.121.100.000.
Angka ini jauh lebih besar dari angka Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Nagekeo tahun 2023 yang hanya sebesar Rp 34.513.448,08. (Bdk.Nagekeo dalam Angka 2024, hal.34).
Data sementara Diskperindag (Juni 2023), di seluruh Nagekeo terdapat 1015 wanita penenun (Jika sudah didata seluruhnya mungkin mencapai 1.500 orang). Berdasarkan angka perkiraan tersebut, maka secara rata-rata setiap wanita penenun Nagekeo berpeluang meraup pendapatan (Rp 42,1 miliar : 1500 wanita penenun) sebesar Rp 28.080.733per tahun, atau Rp 2.340.061 per bulan.
Dengan proyeksi pendapatan seperti itu, tentu saja para wanita penenun akan lebih termotivasi untuk menjalankan kerajinan tangan menenun.
Bertolaklah lebih ke dalam
Tentu saja skenario di atas tidak mudah untuk diwujudkan. Sebab, permintaan pasar lokal sebesar 120.346 lembar kain tenun per tahun mustahil dapat dipenuhi oleh hanya 1.500 wanita penenun.
Sebab, berdasarkan kesaksian para wanita penenun, diketahui bahwa satu wanita penenun hanya mampu menghasilkan rata-rata satu lembar kain tenun dalam sebulan. Itu berarti, dalam setahun ia hanya mampu memproduksi rata-rata 12 lembar kain tenun.
Supaya bisa menghasilkan 120 ribu kain tenun, Nagekeo harus punya paling sedikit 10 ribu wanita penenun. Dalam posisi saat ini, maka Nagekeo kekurangan sekitar 8.500 wanita penenun lagi.
Nah, pada titik ini kita baru mendapat alasan yang masuk akal untuk berwacana secara lebih serius soal program pendidikan dan pelatihan menenun bagi para wanita muda Nagekeo.
Artinya, skenario dan tantangan seperti ini perlu dijadikan titik tolak wacana dan penyusunan program pelestarian tradisi menenun sebagai salah satu kearifan lokal, warisan nenek moyang.
Jadi, di tengah ‘badai postmodernisme’ yang dahsyat, warga Nagekeo sebetulnya masih punya peluang untuk mempertahankan eksitensi produk kain tenun tradisional dan mengembangkan tradisi menenun.
Daripada mengajak para wanita penenun melakukankan inovasi dengan harapan dapat menembus pasar luar daerah, nasional dan asing, mungkin lebih baik, Pemda dan Dekranasda Nagekeo berkolaborasi lebi erat dengan Kevikepan Mbay, Dinas P dan K dan Kemenag, supaya membawa kain tenun masuk lebih jauh ke ceruk pasar lokal, yaitu warga masyarakat Nagekeo sendiri.
Sebetulnya, ceruk pasar lokal bagi kain tenun masih jauh lebih ‘besar’ dari apa yang diskenariokan di atas. Sebab, di kalangan warga masyarakat ada kebutuhan yang sangat besar atas kain tradisional untuk berbagai urusan adat.
Berkaitan dengan ini barangkali perlu kita ingat sabda Tuhan Yesus sebagaimana dicatat penginjil Lukas: “ …Yesus berkata kepada Simon: "Bertolaklah ke tempat yang dalam dan tebarkanlah jalamu untuk menangkap ikan”.
“Dan setelah mereka melakukannya, mereka menangkap sejumlah besar ikan, sehingga jala mereka mulai koyak’. (Luk. 5:4.6). (Tamat) *
*Maxi Ali, pemimpin redaksi Floresku.com. Tulisan ini disarikan dari buku 'Pesona Seni Tenun dan Budaya Nagekeo, (2023), yang ditulis atas prakarsa Yayasan Alsemat Jakarta dan Dinas P dan K Nagekeo. *