Kain Tenun Nagekeo di Tengah Arus Postmodernisme (Bagian 3): Menginovasi Warna Motif Kain Tenun

redaksi - Kamis, 09 Mei 2024 12:53
Kain Tenun Nagekeo di Tengah Arus  Postmodernisme (Bagian 3):  Menginovasi Warna Motif Kain TenunSeorang gadis dari Desa Gerodhere berbusana Hoba Nage (kiri) dan seorang gadis dari Desa Nggolo Mbay berbusana Lipa Dhowik. (sumber: Mata Lensa/Dinas P & K Nagekeo)

Oleh: Maxi Ali*

DALAM sebuah perbincangan di Galeri Tenun Deskranasda, Ketua Dekranasda Nagekeo (2018-2023), Leonarda Yayik Pawittra Gati  (dr Ita)  bersaksi kain bahwa tenun tradisional Nagekeo sangat unik dan indah .

Dia juga mengatakan, secara ekonomis, kain tenun Nagekeo, baik jenis tenun ikat maupun jenis songket, memiliki prospek yang bagus, karena ada pasarnya tersendiri.

Dalam pengamatannya, orang Nagekeo selalu membutuhkan kain tenun untuk urusan adat, mulai dari upacara kelahiran, upacara pendewasaan, pertunangan dan perkawinan, serta upacara kematian.

Bahkan, belakangan ini, kain tenun pun dimanfaatkan sebagai bahan untuk menjahit pakaian modern seperti kemeja, jas, blaze dan rok. Juga, ada kebutuhan untuk menjadikannya bahan baku pembuatan cindera mata seperti tas, dompet, taplak meja, sepatu dan lain sebagainya.

Hoba Nage yang ditenun dari benang tradisional dan diwarnai dengan pewarna alami (kiri), Hoba Nage dengan warna inovatif ditenun menggunakan benang modern yang diwarnai dengan pewarna sintetis (kanan) (Foto: Map)

Warna ‘Baru’ pada Dasar dan Motif Hoba Nage

Kain tenun ikat Hoba Nage  misalnya, ungkap dr Ita pula,  memiliki warna dasar merah tua atau coklat. 

Namun, Hoba Nage memiliki keunikan tersendiri. Keunikannya terletak pada dua hal, yaitu, pertama, pada motif ‘Buku Tewu’ -ada pula yang menyebutnya ‘Loku’. Kedua, pada pita atau garis-garis kuning. Kedua hal ini selalu muncul pada setiap Hoba Nage.

Itulah yang membedakan Hoba Nage dengan kain tenun ikat dari daerah lain seperti kain tenun ikat di Bajawa, Lio, Sikka, Flores Timur dan di daerah lainnya di Pulau Flores.  

Yang juga menarik, kata dr Ita pula, ketika Hoba Nage dikenakan dalam acara-acara adat, garis/pita berwarna kuning itu selalu ditempatkan di tubuh bagian belakang  dari pemakainya. 

‘Nah, berdasarkan keunikan tersebut,  Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM NTT mendorong kami untuk  mengajukan paten  atas Hoba Nage," tuturnya.

" Sekarang sedang dipersiapkan kelengkapan dokumen persyaratannya untuk dipatenkan. Jadi, Hoba Nage yang unik itulah yang dipatenkan, bukan motif per motif yang dipatenkan,” kata dr Ita lagi.

Memang, dr Ita menjelaskan, awalnya pihak Dekranasda dan Diskoperindag mencoba untuk mendaftarkan hak paten untuk motif-motif, tetapi hal itu rumit karena harus membuat narasi yang detil tentang bentuk motif, nama, dan maknanya.  

Menurut dr Ita, dilihat dari metode pewarnaan Hoba Nage yang ditenun di Nagekeo saat ini meliputi dua kategori. 

Pertama, Hoba Nage yang ditenun menggunakan benang yang diwarnai secara alamiah, dari racikan daun, batang dan akar tumbuh-tumbuhan serta bahan alami lainnya.

Kedua, Hoba Nage yang ditenun menggunakan benang yang diwarnai dengan bahan pewarna kimia. 

Hoba Nage kategori pertama, warnya lebih kalem , sedangkan Hoba Nage kategori kedua warnanya lebih tegas dan menyolok mata.

Hoba Nage kategori pertama, diminati umumnya oleh para turis asing. Sebaliknya, Hoba Nage kategori kedua diminati oleh konsumen lokal. Biasanya mereka menjadikan bahan untuk menjadi baju, rok, kemeja, jas dan lain-lain.

Selama ini, dr Ita menjelaskan, secara turun-temurun, kain  tenun ikat Hoba Nage menggunakan kombinasi warna merah tua atau cokelat sebagai dasar dengan motif berwarna hitam  dan putih.

Untuk memperbesar pangsa pasar, dalam beberapa tahun terakhir Dekranasda dan Diskoperindag Kabupaten Nagekeo mengajak para wanita penenun Hoba Nage untuk melakukan inovasi.

Inovasi tidak dilakukan pada bentuk motifnya, melainkan pada warna dasar kain dan warna motifnya saja.

“Memang, sebagian penenun, terutama dari kalangan tua, tidak mau karena merasa lebih nyaman dengan warna yang sudah biasa mereka gunakan. Namun, ada cukup banyak para penenun muda yang antusias melakukan inovasi,” dr Ita mengisahkan.

Ragi Mbay dengan  warna dasar dan motif tradisional (kiri), Ragy Mbay dengan warna dasar motif yang telah diinovasi (kanan); (Foto: Map)

Ragi Mbay dengan Warna Berbeda

Sebagaimana kain tenun ikat Hoba Nage, kain tenun Songket yaitu kain tenun Mbay (Ragi Mbay), Dhowik, juga kain tenun Ma’u atau wilayah pesisir pantai Selatan Nagekeo yang disebut Duka Mau (Rhuka Tonggo) adalah produk  yang juga  indah dan menarik. 

Songket Mbay, khususnya jenis Lipa Dhowik, begitu unik dari segi proses penenunan dan mutu produknya, sehingga kelompok Tenun Sutami Jaya di Nggolo Mbay dengan penuh percaya diri mengatakan  "Dhowik Ta Dhio’ (Dhowik memang beda).

Keunikan dan keindahan Songket Mbay, dr Ita, mengatakan, di satu sisi memang harus dilestarikan, tetapi di sisi lain juga harus terus dikembangkan secara inovatif. 

“Secara tradisional  Ragi Mbay itu selalu ditenun dengan warna dasar hitam, dan dihiasi dengan aneka motif berwarna kuning atau jingga,” ujarnya,

Namun, dalam beberapa tahun terakhir, Dekranasda dan Diskoperindag UKM Nagekeo mengajak para penenun Ragi Mbay untuk melakukan inovasi.

“Sama seperti pada Hoba Nage inovasi tidak untuk mengubah motifnya, melainkan  membuat motif dengan warna yang berbeda misalnya warna putih, biru, hijau atau pun ungu,” jelas dr Ita lagi.

Memang, dia menambahkan, sebagian penenun, terutama dari kalangan tua, tidak antusias bahkan menolak ajakan untuk berinovasi. Mereka merasa lebih nyaman dengan warna hitam dan kuning ataupun jingga.

Namun, ada cukup banyak para penenun muda, terutama  dari wilayah Rendu, yang sangat antusias melakukan inovasi. Mereka dengan senang hati  menenun Ragi Mbay  dan memberi warna dasar kain dan motif  dengan warnanya tidak biasa seperti warna putih, merah muda, biru dan hijau.

Ternyata Ragi Mbay denga warna baru, hasil inovasi yang digagaskan Dekranasda dan Diskoperindag Nagekeo cukup memikat hati para konsumen. Mereka bahkan berani membeli dengan harga yang lebih mahal.

“Kain-kain tersebut bisa dijual dengan harga rata-rata 800 ribu rupiah perlembar, lebih tinggi dari Ragi Mbay dengan warna konvesional yang dijual dengan harga rata-rata 600 ribu rupiah,” dr Ita menjelaskan.

Jadi, dr Ita menambahkan, apabila inovasi-inovasi terus dilakukan secara kreatif dan berkualitas, maka kain tenun Nagekeo dapat diangkat harga jualnya karena mampu menjawabi selera para konsumen masa kini.

Ketika kain tenun mampu meraih pangsa pasar yang semakin besar, maka  pendapatan para wanita penenun akan semakin meningkat. Dengan begitu, ada harapan lebih besar bahwa  pendapatan para wanita penenun, atau kehidupan ekonomi keluarganya pun bisa menjadi semakin  lebih baik.

Langkah inovatif kain tenun untuk menarik minat para konsumen dan memperluas pangs pasar tersebut selaras dengan visi Bupati Nagekeo, dr Johanes Don Bosco Do (Bupati Don) mengenai pengembangan tradisi menenun yang beroeritansi pada kelestarian budaya sekaligus peningkatan ekonomi masyarakat.

 Berbicara pada acara Bedah Draf Buku ini, Jumat, 16 Juni 2023,  Bupati Don mengajak para wanita penenun di seluruh Nagekeo, supaya segera mencari cara untuk memproduksi kain tenun secara lebih cepat, menekan biaya produksi, tetapi tetap menjaga mutu.

‘Tujuannya, supaya kain tenun, terutama Dhowik, mampu meraih pangsa pasar yang massal,” tandasnya.

Tentu saja upaya menginovasi kain tenun sangat diharapkan oleh mereka yang berselera kekinian dan kalangan yang berkecimpung di duna fashion kontemporer.  

Designer kawakan Oscar Lawalata pernah berujar begini: “Aku sangat suka hitam kuning emas, pada kain tenun Nagekeo. (Tetapi) kalau boleh saran, sampaikan ke penenun di Nagekeo untuk tidak menggunakan benang yang kasar dan urat besar karena hasilnya akan kaku dan kasar.”

“Sebaiknya wanita penenun Nagekeo menggunakan benang yang paling halus, karena kalau sudah jadi bahan akan mudah di modifikasi dan bisa dikonsumsi masyarakat luas, tidak saja sebatas kalangan sendiri. Saya yakin motif kain tenun Nagekeo bisa mendunia," katanya menyararankan, (Bdk. Nagekeo-pos.blog-spot.com /2014 ). ( Bersambung).

*Maxi Ali, pemimpin redaksi Floresku.com. Tulisan ini disarikan dari buku 'Pesona Seni Tenun dan Budaya Nagekeo, (2023), yang ditulis atas prakarsa Yayasan Alsemat Jakarta dan Dinas P dan K Nagekeo. ***

 

Editor: redaksi

RELATED NEWS