‘Plus - Minus’ Inovasi Warna Motif Kain Tenun Nagekeo

redaksi - Kamis, 16 November 2023 09:46
‘Plus - Minus’ Inovasi Warna Motif Kain Tenun NagekeoKain tenun tradisional Nagekeo dengan warna motif yang diinovasi. (sumber: MAP)

Oleh: Maxi Ali Perajaka*

DALAM beberapa tahun belakangan ini, kain tenun Nagekeo, ‘naik pamor’. Hal ini terjadi karena  kain tenun tradisional seperti tenun ikat  itu Hoba Nage, kain tenun songket seperti Rhuka Tonggo, Ragi Bay dan Dhowik, serta kain tenun semi-songket  Telopoi,  semakin ‘membumi’ (dihargai, dicintai; dikenakan) oleh semakin banyak warga Nagekeo, baik di yang bermukim di wilayah kabupaten Nagekeo, maupun yang tersebar di darah perantauan (Nagekeo diaspora). 

Selain itu, kain-kain  tenun tersebut semakin dikenal oleh warga bukan Nagekeo, baik secara nasional oleh sesama orang Indonesia, maupun secara internasional oleh warga manca negara.

Warisan nenek noyang sekaligus produk literasi kaum wanita

Sareng Orin Bao, (1969: 112-113) mengatakan, sejak zaman ‘purba’ penduduk Nusa Nipa (Flores) memandang kain tenun sebagai artefak kebudayaan yang  memiliki nilai-nilia luhur. 

Itulah sebabnya, warga Flores masa kini memandang kain tenun sebagai artefak kebudyaaan, wujud kearifan lokal atau warisan pengetahuan dan ketrampilan para nenek moyang. 

Dengan demikian, kain tenun memiliki makna historis karena menghubungkan warga masyarakat masa kini dengan para leluhur mereka pada masa silam. 

Pandangan dan makna serupa berlaku juga bagi semua jenis kain tenun tradisional Nagekeo, baik kain tenun ikat seperti Hoba Nage, maupun kain tenun songket seperti Rhuka Tonggo, Ragi Bay dan Dhowik, serta kain semi songket Telopoi dari Redu (Rendu) dan Roba Mite.

Berbicara dalam acara Bedah Buku Pesona Kain Tenun dan Budaya Nageke, Jumat (16/6) lalu, Bupati Nagekeo Johanes Don Bosco Do menandaskan bahwa  kain tenun dan kegiatan menenun yang dilakukan para wanita penenun Nagekeo adalah produk  dan aktivitas kebudayaan yang terpaut dengan kearifan lokal yang diwariskan oleh para nenek moyang.

Kain tenun Nagekeo, di antaranya terdapat kain tenun yang warna motifnya  mendapat sentuhan inovasi (Sumber: Twitter.com/Dekranasda Nagekeo).

“Rancangan motif, teknik pewarnaan serta proses menenun seluruhnya adalah ekspresi pengetahuan tradisional dan cerminan pengalaman hidup para nenek moyang pada masa lampau,” ujarnya.

Pendapat Bupati Don sangat senada dengan kesaksaian para wanita penenun di beberapa sentra tenun Nagekeo. 

Siti Marwa dari wanita penenun dari Kampung Mautonggo dan Fatimah Aksa, wanita penenun dari Nggolo Mbay mengatakan, bentuk dan warna motif pada kain tenun dibuat berdasarkan pengalaman hidup nenek moyang. 

Contoh, motif Teo Wea yang berwarna kuning pada Rhuka Tonggo dibuat ketika nenek moyang melakukan ritual pertunangan, di mana keluarga calon suami menghadiahkan giwang emas kepada calon istri dan keluarganya.

Sementara itu, motif Natas pada Lipa Dhowik melambangkan teras dan halaman rumah (Natas), sebuah tempat yang terbuka dan dapat dilihat oleh seluruh warga kampung. Tempat ini digunakan untuk menerima tamu dan berembuk mencapai kesepakatan, pada saat seorang lelaki dan keluarganya datang meminang anak gadis untuk dijadikan pasangan hidup (istri). 

Oleh karena itu, segala sesuatu yang telah dibahas dan disepakati di Natas tak boleh diingkari (nggate bhone pata, pesing riwu leng ratus).

Tak hanya memandangnya sebagai warisan para leluhur, Bupati Don bahkan mengapresiasi kain tenun sebagai produk tertinggi literasi- numerasi yang telah dicapai oleh wanita Nagekeo. 

Sebab, ketika menenun para wanita penenun memadukan empat jenis kecerdasan yang mereka miliki, yaitu kecerdasan hati (olah hati; etika), olah seni (estetika), olah pikir (literasi-numerasi), dan olah raga (kecerdasan kinestik). 

“Melalui kombinasi yang sedemikain rupa dari keempat kecerdasan tersebut, wanita Nagekeo bisa menghasilkan kain tenun dengan aneka motif yang begitu indah mempesona,” ucapnya.

 Fungsi dan makna kain tenun Nagekeo

Sesuai tradisi yang diturunkan dari para nenek moyang, orang Nagekeo menggunakan kain tenunnya menurut fungsi-fungsi penting berikut. 

Pertama, kain tenun berfungsi sebagai pakaian keseharian, sebagai alat untuk menutup tubuh dari pengaruh lingkungan alam sekitar. 

Dalam konteks ini, kain tenun bisa digunakan oleh seluruh warga, tanpa batas usia, dan jenis kelamin.

Kedua, kain tenun sebagai penanda identitas gender (pria-wanita). Oleh karena itu maka di wilayah Nagé, Hoba ditenun khusus untuk kaum wanita, sedangkan Sada Eko Bha untuk kaum lelaki. Di wilayah Keo, Rhuka (Duka) Tonggo – sering pula disebut Ragi Wo’i atau Duka Wo’i - bermotif bunga dikenakan oleh kaum wanita, sedangkan yang bermotif Ngi’i Rhako oleh kaum laki-laki. Roba Mite (Redu) dan Yobha Mite (Toto) dipakai sebagai penegas identitas gender pria.

Ketiga, kain tenun sebagai simbol status sosial dan gengsi. Sebagai misal, Rhuka (Duka) Tonggo dengan bunga seluruhnya (wo’i toto pata) biasa dikenakan oleh pemuka adat (mosalaki), sedangkan yang bermotif sebagian (wo’i sa wisa) dikenakan oleh kalangan biasa.

Keempat, kain tenun juga berfungsi sebagai hadiah istimewa saat mengunjungi seorang bayi yang baru dilahirkan (Tau Wua), saat inisiasi pendewasaan remaja wanita (Koa Ngi’i), pendewasaan remaja lelaki (Tau Nuwa), upacara sunat adat (Gedho logo weka atau Gedho loza), upacara pertunangan, dan sebagai tanda dukacita (Tau loko lupa) ketika seorang anggota keluarga meninggal dunia, serta sebagai tanda cinta dan penghormatan ketika menerima tamu istimewa.

Kelima, kain tenun sebagai benda suci yang dikenakan oleh tua atau pemuka adat ketika menghadiri ataupun memimpin berbagai upacara adat.

Keenam, kain tenun sebagai perangkat dan asesoris utama dalam pentas kesenian tradisional: seni suara (Teke, Dero); seni tari seperti Tarian Tea Eku, Tarian Toda Gu, dan lain-lain; dan pentas olah raga tradisional seperti Etu, Sepa Api, dan lain-lain.

Ketujuh, dari aspek hukum adat, kain tenun juga dipakai sebagai denda adat untuk mengendalikan gangguan atas keseimbangan sosial yang disebabkan oleh sebuah perbuatan tercela. Misalnya, seseorang yang kedapatan berzinah akan didenda secara adat. Pelaku pria diwajibkan melakukan pemulihan nama baik sang wanita dengan membawa kerbau dan kain tenun.

Berdasarkan tradisi, orang Nagekeo juga memandang kain tenunnya sebagai artefak atau produk budaya yang memiliki  banyak makna  luhur. 

Wilhelmus Beu, pemuka adat dari Desa Gerodhere mengatakan, secara sosial, kain tenun mengekspresikan semangat gotong royong (To’o jogho waga sama) dan saling membantu (Kua kesa boza penu). 

Hal ini tampak sangat nyata ketika para wanita, baik yang tua maupun yang anak-anak/remaja, bahu-membahu memproses kapas menjadi benang hingga akhirnya menjadi selembar kain. 

Kemudian, dari aspek mitologis, kain tenun menjadi simbol kesukuan yang diagungkan. Apalagi, jika pada kain tenun tergambar simbol kesatuan suku yaitu Peo.

Kain tenun juga bermakna ekonomis. Pada masa lampau, kain tenun dapat dibarter dengan binatang seperti kerbau, kuda, kambing, dan domba. Pada masa kini, kain tenun dijadikan produk ekonomi kreatif; hasil kerajinan tangan yang dapat dipasarkan, dan dijadikan cenderamata bagi para wisatawan. Nilai pasar kain tenun Nagekeo saat ini, berkisar dari angka Rp 350 ribu hingga Rp 2 juta-an, sedangkan selendang dijual antara Rp 150 ribu hingga Rp 400 ribu.

Selain itu, kain tenun pun memiliki makna spiritual dan berdaya magis. Karena proses penenunnya dilakukan melalui ritual adat dan doa, serta pantangan tertentu. Misalnya, wanita yang sedang haid tidak diperkenankan untuk menenun. Doa yang didaraskan dalam tahap-tahap pembuatan kain tenun merupakan ekspresi kepercayaan orang Nagekeo kepada Wujud Tertinggi (Dewa Zeta Gae Zale) dan keterpautan yang erat dengan arwah para leluhur (Nagé: Ebu Kajo mata ulu waomuzi; Keo: Ine embu ta mata mudure’edo’e) (bdk. Ata Lomba, https://tanagekeo.word press.com /2016 /09/29).

Masyarakat Nagekeo percaya bahwa rancangan pola/motif kain tenun yang dikerjakan secara tepat menjadi semacam tanda penghormatan kepada para leluhur sekaligus doa kepada Wujud Tertinggi, supaya di satu sisi selalu melindungi mereka dari bencana alam, wabah penyakit akibat gangguan roh jahat, dan di sisi lain memberi berkat berupa kehidupan yang damai dan sejahtera serta usia panjang.

Kain tenun Nagekeo dan  budaya postmodern

Ketika mengumpulkan data dan fakta untuk penulisan buku ‘Pesona Tenun dan Budaya Nagekeo’ beberapa waktu lalu, penulis menjumpai sejumlah nara sumber, di antaranya: Mursalin Puageno dan Achmad Afendi Idris (Mautonggo), Wilhelmus Beu,  Hermanus Meka, Wilhemus Wega (Geo), Barnabas Geru, Aloysius Tipa dan Hironimus Jo (Nunungongo), Baltasar Kasa (Dhozo Jo, Tasikapa), serta Ismail Aksa (Nggolo Mbay).

Kepada penulis mereka menegaskan  bahwa tradisi menenun wajib dilestarikan kepada generasi muda Nagekeo. 

Alasannya, pertama, kain tenun adalah warisan dari para nenek moyang yang mengandung nilai-nila luhur. Kedua, tradisi menenun sedang diancam oleh suatu gejala sosial-budaya, di mana warga masyarakat cenderung tak mau diatur oleh prinsip dan nilai-nilai tradisional. 

Mereka mengalami  bahwa belakangan ini warga masyarakat Nagekeo cenderung membandel, tak mau lagi  tunduk pada adat istiadat, norma moral, dan norma agama.

Tanpa menyebut istilah teknis sosiologi seperti globalisasi dan postmodenisme, pengakuan para nara sumber di atas selaras dengan kekuatiran masyarakat global atas dampak  revolusi sosial-budaya melalui postmodernisme.

Berbagai referensi menyebutkan bahwa  warga masyarakat post-modern menganut satu atau lebih pandangan berikut: (1) tidak ada realitas objektif; (2) tidak ada kebenaran ilmiah (kebenaran objektif); (3) sains dan teknologi (dan bahkan nalar dan logika) bukanlah kendaraan kemajuan manusia, melainkan instrumen yang mencurigakan dari kekuasaan yang mapan; (4) nalar dan logika tidak valid secara universal; (5) tidak ada sifat manusia (perilaku dan psikologi manusia ditentukan dan dibangun secara sosial); (6) bahasa tidak mengacu pada realitas di luar dirinya; (7) tidak ada pengetahuan pasti; dan (8) tidak ada teori umum tentang alam dan dunia sosial yang valid (semuanya adalah “metanarasi” yang tidak sah). (bdk.www.bri-tannica. com).

Ciri khas masyarakat post-modernis antara lain: umat manusia cenderung menggantikan pikiran dengan keinginan, penalaran dengan emosi dan keraguan, kepastian dengan skeptisisme, objektivitas dengan relativitas, kebenaran universal dengan pengalaman pribadi, bahkan dengan kebohongan yang dipresentasikan secara berulang-ulang menggunakan perangkat teknologi informasi dan internet.

 Hal ini dimungkinkan karena masyarakat post-modernis menyingkirkan prinsip produksi informasi dan menggantikannya dengan prinsip reproduksi informasi.

Era post-modernis juga ditandai oleh konvergensi budaya, di mana sejumlah media atau teknologi yang berbeda seperti komputer, televisi, radio, telepon, satelit, kabel, mesin fax, internet, dan bahkan mesin fotokopi berbaur dalam menjalankan fungsi sebagai media komunikasi dan saluran informasi. 

Namun, fenomena konvergensi tidak hanya terjadi pada perangkat informasi, tetapi juga terjadi di dalam otak manusia sehingga interaksi antara sesama manusia terjadi berdasarkan suatu ketentuan yang baru, bahkan tak ada satu pun orang dapat memahaminya secara utuh (Jenkins H., 2006:3-6). 

Dalam budaya konvergensi, identitas diri tidak lagi dibentuk oleh elemen-elemen sosial-budaya seperti bahasa, kesenian, dan artefak seperti kain tenun, melainkan lebih oleh pencitraan melalui perangkat media konvergensi seperti media sosial (bdk. Giddens A. 1990).

Post-modernisme juga sedang merongrong dunia kesenian modern. Pada umumnya kesenian modern tetap terhubung kuat dengan keseniaan tradisional. Kesenian modern juga tetap setia pada media paling terkenal seperti lukisan, gambar, patung. 

Post modernisme menimbulkan produk seni postmodern yang  tidak lagi terpaut dengan kesenian tradisional. Seni postmodern adalah kumpulan gerakan seni yang berupaya menentang beberapa aspek modernisme atau beberapa aspek yang muncul atau berkembang setelahnya. 

Secara umum kesenian post-mondern meliputi  gerakan-gerakan  mensinergikan berbagai elemen dan keunggulan intermedia seperti: seni instalasi, seni konseptual dan multimedia, khususnya yang melibatkan  aplikasi audio-visual. Hal lain yang membuat sebuah karya seni disebut  postmodernadalah aksi penyederhanaan, apropriasi, seni pertunjukan, daur ulang gaya dan tema masa lalu dalam konteks modern. Oleh karena itu, seni postmodern dipandang sebagai karya yang mendobrak batasan antara: fine art (seni estestik atau seni ekspresif)  dan high art (mencakup benda-benda budaya yang mempunyai nilai estetika, yang secara kolektif dihargai oleh masyarakat sebagai karya seni yang patut dicontoh, dan karya intelektual sastra dan musik, sejarah dan filsafat, yang dianggap mewakili kebudayaan tinggi);  low art (kesenian bermutu rendah) dan popular culture (budaya populer) (bdk.Desmond, Kathleen K, 2011:148). 

Bahkan, post-modernisme mendefinisikan kesenian sebagai perpaduan, bahkan percampuran tanpa standar, antara sesuatu yang klasik (asli) dan sesuatu yang modern. Mereka tak lagi mengakui karya seni sebagai dunia kecil (mikrokosmos) yang merepresentasi masyarakat dan dunia   yang  lebih luas, makrokosmos (bdk. Fanfan Giovanni. 2019), tetapi sebagai sesuatu yang merepresentasikan dirinya sendiri guna memenuhi selera pasar.

Inovasi warna kain tenun Nagekeo

Imbas dari ‘revolusi sosial-budaya’ ini adalah munculnya keinginan yang sangat kuat untuk melakukan inovasi pada semua produk budaya tradisional, termasuk pada kain tenun.

Entah disadari atau tidak,  gerakan post-modernisme  sudah mewarnai  aktivitas menenun dan produk kain tenun  Nagekeo. Hal itu diperkenalkan oleh Dinas Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah, Perindustrian dan Perdagangan (Dinas Koperindag dan UKM) berkolaborasi dengan Dewan Kerajinan Nasiona Daera (Dekranasda) Kabupaten Nagekeo.

Kepada penulis, Ketua Dekranasda dr. Eduarda Yayik Pawitra Gati  (dr Ita) mengatakan, “berdasarkan interaksi yang intensif dengan para pengrajin tenun hampir di seluruh sentra tenun di Nagekeo dan juga dengan para penggunanya, baik di Nagekeo sendiri maupun yang dari luar wilayah Nagekeo, kami semakin percaya diri untuk mengatakan bahwa kain tenun Nagekeo adalah warisan budaya yang sangat indah dan unik. Sebagai misal, motif Natas pada Ragi Mbay jenis Dhowik, motif Buku Tewu pada Hoba Nage, hanya ada pada kain tenun Nagekeo, tidak ditemukan di daerah lain.”

Namun, dia menambahkan,  bahwa sebagai produk budaya, Ragi Mbay di satu sisi memang  harus dilestarikan, tetapi  di sisi lain juga harus terus  dikembangkan secara inovatif. Yang diinovasi, jelas dr. Ita, bukan bentuk motifnya, melainkanwarna dasar kain dan warna motifnya.

“Secara tradisional Ragi Mbayitu selalu ditenun dengan warna dasar hitam dan dihiasi dengan aneka motif berwarna kuning atau jingga. Dalam beberapa tahun terakhir, kami mengajak para penenun untuk melakukan inovasi,bukan untuk mengubahmotifnya, melainkan membuat motif dengan warna yang berbeda misalnya warna putih, biru, hijau ataupun ungu,” jelas dr. Ita.

Memang, dia menambahkan, sebagianpenenun, terutama dari kalangan tua, tidak mau karena merasalebih nyaman denganwarna hitam dan kuning ataupunjingga. Namun, ada cukup banyak para penenun muda dari Rendu yang cukup antusias melakukan inovasi dan menenun Ragi Mbay  serta memberi  motif yang warnanya tidak biasa itu.

Menurut dia, inovasi bukan dengan menggantikan motif-motif yang sudah ada, melainkan dengan menggunakan warna yang tidak biasa. Misalnya, kain tenun Ragi Mbay yang aslinya selalu dasarnya warna hitam dan motifnya berwarna kuning emas, dimodifikasi dengan warna-warna lain, tanpa mengubah motif yang menjadi ciri khas tenun Nagekeo.

Plus – minus  inovasi 

Tentu saja, upaya inovatif ini adalah hal positif, setidaknya, untuk menjawabi tuntutan atau selera para  konsumen yang menyukai warna-warna kekinian.

 Melalui langkah inovasi tersebut, Deskranasda bersama para wanita penenun mencoba memperbesar pangsa pasar kain tenun Nagekeo.

“Ketika Ragi Mbaydengan warna ‘baru’ hasil inovasiitu dipajang di showroom Dekranasda, ternyata banyak peminatnya. Kain-kain tersebut bisa dijual dengan harga rata- rata 800 ribu rupiah per lembar, lebih tinggi dari Ragi Mbay dengan warna konvensional yang dijual dengan harga rata-rata 600 ribu rupiah,”dr. Ita menjelaskan.

Jadi, dr. Ita menambahkan, apabila inovasi-inovasi terus dilakukan secara kreatif dan berkualitas maka kain  tenun Nagekeo dapat diangkat  harga jualnya karena mampu menjawabi selera para konsumen masa kini. Ketika kain tenun mampu meraih pasar yang semakin besar maka pendapatan para wanita penenun akan semakin meningkat. Dengan demikian, kehidupan ekonomi keluarganya pun bisa menjadi semakin sejahtera.

Langkah inovatif kain tenun untuk menarik minat para konsumen dan memperluas pangsa pasar  tersebutselaras dengan visi Bupati  Nagekeo mengenai pengembangan tradisi.

Memang, dia menambahkan, sebagian penenun, terutama dari kalangan tua, tidak mau  karena merasa lebih nyaman denganwarna hitam dan  kuning atau pun jingga. 

“Ada cukup banyak para penenun muda dari Rendu misalnya,  yang cukup antusias melakukan inovasi dan menenun Ragi Mbay  serta memberi  motif yang warnanya tidak biasa it,” katanya.

Jadi, sebetulnya, langkah inovatif juga, kata dia, dapat merangsang minat kaum wanita muda untuk bereksplorasi, dan belajar mengembangkan talenta menenun dan memproduksi kain tenun Nagekeo.

Namun, langkah inovatif tampaknya  tidak bebas risiko. Apalagi, aksi inovasi itu tidak dilandasi oleh suatu penelitian dan kajian yang mendalam mengenai latar belakang historis tradnsisi menenun, dan apa nilai filoslofi dan makna sosial-kultural yang terkandung pada motif dan warna kain tenun tradisional tersebut.

Tak diketahui pasti, apakah proses inovasi warna kain tenun Nagekeo telah melalui proses penelitian dan kajian. Namun, yang jelas ketika berdiskusi dengan penulis perihal proses inovasi tersebut pada akhir April lalu, baik Dinas Koperindag dan UKM maupun Dekranasda Nagekeo tidak menyebutkan secara tegas kalau pihaknya telah melakukan penelitian dan kajian sebelum memperkenal upaya inovasi. 

Menginovasi warna motif  Ragi Bay, dari warna asli kuning atau jingga; dan warna motif Hoba Nage  dari   warna asli hitam, merah/coklat dan putih, menjadi motif berwarana kekinian: hijau, biru, putih, merah, atau pink tanpa dilandasi penelitian dan kajian yang mendalam, dikuatirkan akan membuat Ragi Bay atau pun Hoba Nage  mengalami kehilangan nilaihistoris dan filosofi serta makna sosial dankulturalnya.

 Bahkan, melalui aksi inovasi warna motif,  Ragi Bay atau pun  Hoba Nage  berpotensi akan kehilangan rohnya , sehingga menjadi sebuah produk budaya yang ‘mati’. 

Pada konsisi seperti itu,  para wanita penenun akan berperan tak bedanya dengan ‘mesin penenun’. Mereka menenun tanpa punya ikatan  rohani (emosional dan spiritual) dengan benang-benang  yang hendak mereka rajut menjadi selembar kain  tenun. 

Pada suatu tahap tertentu, bukan mustahil para wanita penenun Ragi Bay (Hoba Nage) akan kehabisan napas dan tenaga karena tak sanggup mengejar selera pasar. 

Bukan tak mungkin mereka juga akan merasa ‘kalah berlomba’, dengan tuntutan atau selera para konsumen. 

Sebab,  untuk menghasilkan selembar Ragi Bay/Hoba Nage mereka duduk menenun berhari-hari, bahkan berminggu-minggu, sedangkan selera pasar /konsumen atas warna Ragi Bay/Hoba Nage  terus berubah dan berlalu secepat kilat sekencang arus perubahan zaman.

Jadi, ‘melakukan inovasi kain tenun’ adalah panggilan zaman yang wajib dijawab secara tegas dan berkelanjutan. Namun, langkah inovasi juga perlu didasari oleh suatu penelitian dan kajian yang mendalam sehingga memiliki pendasaran yang kuat untuk menghasilkan narasi yang dapat dipertanggungjawabkan, dan bisa diwariskan kepada generasi berikutnya. 

Tanpa itu, riwayat kain tenun sebagai warisan para nenek moyang akan menjadi semakin absurd, bahkan tidak mustahil pada suatu ketika, tradisi menenun dan produk kain tenun Nagekeo akan keilangan daya pikatnya sehingga  menjadi artefek kebudayaan yang ‘tenggelam’ selamanya.***

*Penulis buku ‘Pesona Tenun dan Budaya Nagekeo’ (2023). 

Editor: redaksi

RELATED NEWS