Memotret Nagekeo: Warga Kurang Paham Soal Pelayanan Publik Pemerintahan Desa

Redaksi - Rabu, 22 Mei 2024 10:01
Memotret Nagekeo:  Warga Kurang Paham Soal Pelayanan Publik Pemerintahan DesaSuasana rapat di Kantor Desa Tonggurambang, membahas persiapan kedatangan Presiden Jokowi ke Nagekeo, Minggu (3/12). (sumber: Dok Floresku.com)


HARI INI, Rabu, 22 Mei 2024,  Kabupaten Nagekeo, genap berusia 18 tahun. Lalu, pada November 2024 mendatang, warga Kaupaten Nagekeo akan ikut ambil bagin dalam perhelatan nasional, Pilkada Serentak, guna memilik Bupati dan Wakil Bupati yang akan memimpin dari Desember 2024 hingga Desember 2029 mendatang.
Berkenaan dengan dua peristiwa istimewa tersebut  Floresku.com akan rutin menayangkan  artikel naratif dengan tema pokok: Memotret Nagekeo. 

Artikel-artikel tersebut diramu dengan sudut pandang  ‘tidak biasa’, mengandalkan pendapat masyarakat ‘akar rumput’, yaitu kelompok terbesar masyarakat yang tak berpeluang  bersuara di forum-fomrum formal atau media arus utama.

Dalam observasi Floresku.com, kalangan ‘akar rumput’  memotret wajah tanah air mereka ‘Nagekeo’, lewat obrolan ngalur ngidur saat duduk kongkow-kongkow bersama anggota keluarga atau tetangga. 

Sementara itu, tak banyak dari mereka yang punya handphone cerdas, sesekali  ‘nimbrung’ berkomentar perihal situasi Nagekeo melalui media sosial. 

Namun, ibarat asap, oboralan dan komentar, tak terkecuai keluh kesah dan usul saran  mereka  segera lenyap, tak pernah sampai ke telinga para pihak yang berwewenang. Dengan begitu, harapan mereka tak kunjung menjadi sebuah kenyataan.

***
Pemerintahan di Nagekeo

Dalam E-Book Nagekeo dalam Angka 2024 tertulis  Kabupaten Nagekeo terbentuk
berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2007.

Kabupaten ini  terdiri dari tujuh Kecamatan yaitu Mauponggo, Keo Tengah, Nangaroro, Boawae, Aesesa Selatan, Aesesa, dan Wolowae. Mbay adalah pemerintahan kabupaten Nagekeo.

Per tahun 2023, kabupaten Nagekeo memilik 113 desa/kelurahan, tersebar secara tak merata di t kecamatan. 

Tercatat di Kecamatan Boawae, ada 27 desa/kelurahan, Kecamatan Mauponggo 21 desa/kelurahan, Kecamatan Aesesa 18 desa/kelurahan, Kecamatan Keo Tengah 16 desa/kelurahan, Kecamatan Aesesa Selatan 7 desa/kelurahaan dan Kecamatan Wolowae 5 desa/kelurahan.

Pelayanan publik tingkat kecamatan

Secara normatif semua pemerintah tingkat kecamatan di Kabuaten Nagekeo melakukan pelayanan publik berupa Pelayanan Perizinan; Pelayanan Umum; Pelayanan Administrasi Kependudukan; dan Pelayanan PBB.

Namun, kalangan akar rumput Nagekeo mengaku tidak terlalu paham, bahlan tidak peduli,  dengan apa yang dkerjakan oleh aparat di tingkat kecamatan.

“Kami ini tinggal di kampung. Sering ke pusat kecamatan di Nangaroro, tapi tidak pernah berurusan di Kantor Camat.

Jadi, kalau ditanya  apa saja bentuk pelayanan  publik yang dilakukan oleh pemerintah kecamatan, saya tidak tahu,” ujar Fransiska Nasa, warga Kampung Malasera, yang berada  di garis perbatasan antara Kabupaten Nagekeo dan Kabupaten Ende.

Hanya saja, dia menambahkan, ketika ada sedikit masalah  dengan lokasi tanah  untuk pembangunan Tower BTS di kampung ini, dua tahun lalu, para pihak  yang terlibat salah paham dipanggil ke Kantor Camat untuk menyelesaikan persoalan bersama Bapa Camat di Kantor Camat. 

Pelayanan publik di pemerintahan desa/kelurahan

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Undang-Undagn Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah memuat definisi dan pedoman yang jelas tentang pemerintahan desa.

Desa didefenisikan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah tertentu, yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Pelaksanaan tatakelola desa dilakukan oleh pemerintah desa yang dipimpin oleh kepala desa.

Sekalipun memiliki otonomi desa, dalam melakukan tugas pelayanan, pemerintah desa mesti bertanggung jawa kepada pemerintah daerah kabupaten, dan tentu saja kepada publik (warga desa). 

Ruang lingkup pelayanan publik yang wajib dilakukan oleh pemerintah desa/kelurahan meliputi pelayanan barang publik dan jasa publik serta pelayanan administratif. 

Lingkup pelayanan publik desa secara eksplisit dicantumkan pada  Pasal 5 Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Pelayanan barang publik meliputi pengadaan/penyaluran barang publik, termasuk sarana/prasarana yang ada di desa dengan menggunakan sebagian atau seluruhnya anggaran yang bersumber dari APBN dan/atau APBD maupun APBDes. 

Adapun contoh untuk barang publik di desa adalah pembangunan jalan desa, jembatan, bangunan gedung serba guna desa, sarana poskamling desa, bangunan perpustakaan desa dan lain sebagainya.

Pelayanan jasa publik meliputi penyediaan jasa layanan oleh pemerintah desa yang pelaksanaanya menggunakan APBN dan/atau APBD maupun APBDes sebagian atau seluruhnya. 

Misalnya, pendampingan masyarakat desa untuk pengembangan UMKM, penyediaan pemeriksaan kesehatan masyarakat kurang mampu, dan pendampingan yang dilakukan oleh aparat desa dalam rangka meningkatkan kualitas SDM masyarakat di wilayahnya.

Sedangkan di bidang administrasi, pemerintah desa yang diwajibkan oleh undang-undang untuk mewujudkan perlindungan dan kehormat martabat pribadi, keluarga, dan keamanan harta benda milik warga. 

Selain itu, pemerintah desa melayani administrasi pendaftaran penduduk dan pencatatan sipil seperti kelahiran, kematian, perkawinan, dan lain-lain.

Surat keterangan dari pemerintah desa  menjadi persyasaratan pokok dalam dokumen perizinan, pengurusan administrasi pertanahan, pengurusan administrasi kesehatan dan pendidikan. 

Tak cukup memahami

Untuk mendapat potret yang mendekati riil tentang pelayanan publik di Tingkat pemerintahan desa/kelurahan di Nagekeo, tim Floresku.com menemui warga ‘akar rumput’ di beberapa  desa/kelurahan  di seluruh wilayah kabupaten. 

Beberapa warga yang jadi sumber cerita dapat disebutkan di sini. Ada Markus Guru dari Desa Tongurambang dan Riki dari Desa Olaia di Kecamatan Aesesa. 

Ada Fransiska Nasa  dan Ana Meo dari Desa Nata Ute;  Mama Adel dari Desa Tonggo dan Adi dari Keluarahan Nangaroro di Kecamatan Nangaroro; Hermanus Meka dari Desa Gerodhere di Kecamatan Boawae; Mama Endi dari Desa Aewoe di Kecamatan Mauponggo; Pit Mere dari Desa Witurombaua di Kecamatan Keo Tengah; Dhosa dari  Desa Anakoli di Kecamatan Wolowae, dan Alo dari Desa Tengatiba dan Gaspar dari Desa Rendu Tutubhada di Kecamatan Aesesa Selatan.

Para nara sumber umumnya mengakui mengenal para apparat di desa atau kelurahannya masing-masing. 

Namun, ketika ditanya soal apa saja yang dikerjakan oleh apparat desa atau kelurahaan, mereka mulai tampak ragu-ragu untuk menjawab. 

Sebagian secara spontan mengatakan, “Yang saya lihat Kepala Desa  memimpin rapat kalau ada rapat di desa,’ ungkap Ana Meo.

“Ya, kalau ada kunjungan dari Kecamatan  atau Kabupaten, Kepala Desa mendampingi, dan dia pasti tampil membawakan Kata Sambutan’, terang Pit Mere.

Nara sumber yang lain, memilih bungkam atau menggeleng-gelengkan kepala karena merasa tidak cukup paham apa yang dikerjakan oleh aparat di desa atau kelurahannya.
Sebagaian besar dari mereka bahkan mengatakan belum pernah berurusan di Kantor Desa atau Kantor Kelurahan. 

Ana Meo mengatakan, “Terus terang kami tidak terlalu mengerti dengan pekerjaan para aparat desa karena belum pernah ke kantor desa. Tetapi, Kepala desa dan aparatnya pernah membagi-bagikan bibit ayam untuk dipelihara oleh setiap Kepala Keluarga di Kampung Malasera ini. Katanya untuk menambah pendapatan keluarga.”

Komunikasi yang lemah

Tentu saja, kurang pahamnya  warga ‘akar rumput’ soal jenis-jenis pelayanan publik yang dilakukan baik oleh pemerintah kecamatan maupun pemerintahan desa/keluarahan berakar pada sistem komunikasi yang belum dikembangkan dengan baik.

Seorang Pendamping Desa (PD),  yang enggan disebutkan namanya mengatakan, salah satu masalah yang ada di desa-desa di Nagekeo adalah minimnya komunikasi antara aparat desa dan warganya.

Memang, kata dia, saat kampanye Pemilihan Kepala Desa atau pun Lurah, para kandidat berbicara banyak. 

Mereka biasanya menjanjikan atau menawarkan banyak program.  Namun, ketika sudah terpilih dan menjabat sebagai aparat desa/kelurahan mereka menjalakan tugas begitu saja. 

Mereka tidak mensosialisasikan jenis -jenis pelayanan publik, yang menjadi tugas utama sebagai pejabat pemerintahan desa/kelurahan.

Faktor SDM

PD yang ditemui Floresku.com juga mengungkapkan, selalu Tenaga Pendamping Profesional (TPP) dibawah Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi RI, di tingkat lokal (desa), ia dan teman-teman sejawat  berupaya keras  membantu membenahi sistem tatakelola pemerintahan  di desa.

Namun, ternyata upaya pembenahan itu tidak mudah terlaksana. Karena tak sedikit aparat desa yang pendidikan yang minim sehingga kemampuan bernalarnya terbatas.

Memang, menurut BPS NTT (2021),  tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan Kepala Desa/Lurah di Kabupaten Nagekeo per tahun 2021, sudah cukup tinggi.

Kepala Desa/Lurah yang tamat  SMP/Sedarajat ada 8 orang, SMU/ Sederat 61 orang, DIII  8 orang dan yang tamat DIV/S1 ada 30 orang. 

Namun, ijazah tidak  selalu berdiri tegak lurus dan sejajar dengan tingkat kompetensi dan ketrampilan kerja. Apalagi, kalau ijazah diraih melalui program instan seperti program Paket C. 

Melalui Program Paket C, seseorang  mungkin bisa mengasah kemampuan akademis, tetapi hampir pasti tak bisa mengasah daya nalar apalagi ketrampilan bekerja yang terkait ketrampilan lunak (softskills) seperti:berpikir kritis; kemampuan pemecahan masalah; kemampuan menjalin relasi interpersonal, kemampuan berkomunikasi secara efektif; mengakses, menganalisis, menyintesis informasi dan kemampuan memimpin; kemampuan beradaptasi dengan kemampuan iptek; kemampuan berkerja sama dan kolaborasi, dan public speaking.

“Di desa kami, perangkat desa rata-rata lulusan SMA. Namun, yang bisa membuat konsep surat atau laporan, serta yang bisa menggunakan komputer hanya seorang. Kalau orang itu berhalangan masuk kantor, segala urusan administrasi berhenti,” ujar seorang narasumber yang minta disamarkan  jati diri dan asal desanya. 

“Kalau di desa kami, setiap ada tamu dari kecamatan atau kabupaten, Kepala Desa selalu minta sekretaris biki Kata Sambutan. Tapi ketika membacakan kata Sambutan, membacanya pun terbata-bata, tidak jelas tidik dan komanya,” ungkap seorang narasumber lain yang meminta tak disebutkan jati dirinya.

Infrastruktur telekomunikasi belum memadai

Sekadar informasi, sejalan dengan kemajuan teknologi informasi, sejak tahun 2016, banyak desa di Indonesia sudah menerapkan aplikasi SIAPDES (Sistem Informasi Aparatur Pemerintah Desa). 

Tujuan dari peberapan berbgai aplikasi tersebut adalah supaya penyelenggaraan Pemerintahan Desa/Kelurahan dapat berjalan secara transparan dan akuntabel, sesuai  dengan ketentuan yang berlaku.

Selan itu, terdapat enam aplikasi pendukung tata kelola Pemerintahan Desa  yaituSistem Keuangan Desa (SISKEUDES); Sistem Informasi Desa (SID); Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK); Sistem Informasi Kesejahteraan Sosial-Next Generation (SIKS-NG); Sitem Informasi Perencanaan Pembangunan Daerah (SIPPEDA).

Apakah desa/kelurahan di Nagekeo sudah memanfaatkan aplikasi-aplikasi tersebut?

“Di desa yang saya dampingi, mereka belum mengenal aplikasi-aplikasi tersebut. Di desa lainnya juga sepertinya masih belum diterapkan. Apalagi infrastruktur telekomunikasi di desa belum memadai. Masih banyak kantor desa/lurah yang belum ada jaringan internet. Kalau pun sudah ada internet,  jalannya sangat lamban atau terputus-putus," ujar PD itu pula.

Camat Maoponggo, Leo Loda,  yang dimintai konfimasi terkait berbagai aplikasi yang disebutkan di atas mengtatakan bahwa desa-desa di Nagekeo sudah  menggunakan Siskeudes (Sistim Keuangan Desa). 

“(Sistem) yang lain belum digunakan,” jelas Camat Leo melalui WhatsApp, Selasa (21/5) malam.

Begitulah sekilas ‘potret’ tata kelola dan pelayanan publik yang terjadi di pemerintahan desa/kelurahan di Nagekeo kita saat ini. (map) ***
 

Editor: Redaksi

RELATED NEWS