Menyimak Lanjut Himbauan Bijak Bawaslu Ende (Sekadar Suara Pasar Senggol)
Redaksi - Jumat, 17 Mei 2024 18:26“Mungkin Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita, yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa…”
(Ebiet G Ade)
P. Kons Beo, SVD
“Kami menghimbau masyarakat untuk menggunakan media sosial secara bertanggungjawab. Ajaklah orang untuk menentukan hak politik mereka dengan bebas dan tanpa paksaan. Semua calon yang bertarung di Pilkada Ende adalah putra-putri terbaik.”
Itulah himbauan Basilius Wena, Ketua Bawaslu Ende, yang terungkap penuh bijak dan terukur bagi masyarakat Kabupaten Ende.
Tentu Wena tak asal omong. Kata-kata bijak padat makna itu lahir dari pantuannya. Yang terjadi di wilayah Kabupaten Ende adalah ‘banyak ujaran kebencian muncul di media sosial terkait penyelenggaraan Pilkada.’
Tak hanya itu, ditambahkan pula agar ‘masyarakat tidak mengekspresikan pilihan politik mereka dengan berlebihan, apalagi sampai menyerang kehormatan pribadi orang lain.’
Di hari-hari awal ini, demi Pilkada, paslon-paslon mulai ‘ditiup-tiup’ agar mengangkasa pasti di langit Ende.
Adalah wajar bagi individu, atau bahkan bagi kelompok individu jika ada Paslon tertentu yang jadi usungannya. Entah dengan alasan rasional terhadap paslon tertentu, atau karena alasan yang semata-mata emosional, yang terkapling dalam zona primordialis, masyarakat Ende pasti sudah punya kiblat pada paslon jagoannya.
Di hari-hari ini, masyarakat atau tepatnya elit politik Ende mulai kasak-kusuk tentang strategi pilihan dan mengusung paslon. Pasangan ini atau itu, atau ‘bagaimana jika si A dengan si B, atau si B dengan C, atau si C dengan si A dan seterusnya. Pokoknya ramailah geliat bongkar pasang acak-acakan paslon.
Tetapi, siapakah elit politik yang ‘mau rugi atau bahkan mati konyol’ sekiranya ia tak cerdas dan tak arif politik dalam konteks tanah Ende-Lio?
Yakinlah, elit-elit politik Ende kini mulai melenting ke sana sini demi memantau situasi atau bahkan kibaskan suasana panas. Dan terlebih lagi tentu hendak mainkan strategi politiknya. Intinya, iya itu tadi, orang tak hendak rugi atau meleset jauh dari segala kepentingannya.
Intinya kini, paslon lagi ditata dan berikutnya strategi pemenangan segera diracik. Demi kemenangan, dan demi ‘amankan kepentingan,’ maka tim-tim sukses, atas nama Partai atau kelompok identitas tertentu, mulai siap bersemi.
Adalah sangat mungkin bahwa strategi atau kiat-kiat seram dan suram bakal dimainkan.
Maka di titik inilah suara bijak Ketua Bawaslu Ende, Basilius Wena, jadi pusat perhatian. Media Sosial yang tak disikapi benar dan bijak bisa jadi medium untuk ‘baku habok dan baku bantai’ yang amat tak elok antara pengusung dan pemilih.
Ende-Lio yang amatlah majemuk dalam komposisi masyarakatnya bisa menjadi ‘ladang rumput kering untuk mudah terbakar.’
Tetapi, bagaimana pun, jika mesti ‘apa adanya pada kenyataan,’ maka Ende masih dinilai tak tuntas dalam penanganan kasus-kasus korupsi. Katakan semisal, “Ende Terburuk dalam Penegakan Hukum Pemberantasan Korupsi” seperti yang diyakini oleh Petrus Selestinus, Koordinator TPDI dan Pergerakan Advokat Nusantara (tribunnews.com/2024/05/17).
Dugaan publik bahwa, bagaimana mungkin elit-elit politik tertentu yang diyakini ‘terlibat dalam kasus-kasus korupsi’ kini bisa melenggang (lagi) ke kursi legislatif? Dan kini, elit-elit lainnya yang kurang lebih ‘senafas di alur yang sama’ lagi pada bersemangat untuk kursi eksekutif?
Penanganan berbagai kasus yang marak di Ende, dan tampak mandek dan tak ada kejelasan, tentu sudah menjadi rumor yang tak sulit terbendung. Sudah tampillah ‘pengadilan jalanan’ atau ‘penghakiman media sosial’ dengan cara-caranya sendiri. Dan apakah ini yang disebut ‘propaganda gelap, hoaks, berita palsu’ oleh Ketua Bawaslu Ende?
Maka, suara bijak Bawaslu-Ende sepertinya juga menyasar Pihak Penegak Hukum di Ende. Karena ketidakjelasan penanganan kasus-kasus itulah, yang libatkan elit-elit politik Ende, maka suara-suara pengadilan jalanan dan udara jadi tak terkendali.
Telah tebal terkesan bahwa antara elit politik dan penegak hukum telah terjadi dinamika ‘saling menyandra dalam koridor mutualisme kepentingan atau keuntungan. Yang tetap mengalir dari waktu ke waktu, dari satu pimpinan ke pimpinan berikutnya.’
Ibaratkanlah saja sebagai satu paket pesta kasus: “Kasus demi kasus bisa berulangtahun di laci penyidikan. Dan untuk rayakan ulang tahunnya, elit politik Ende yang diduga telibat mesti setia jadi tuan pesta yang royal demi makan gratis para tamu tingkat penegak hukum.”
Tetapi juga, tentu selain himbauan bijak bagi publik Ende seputar penggunaan media sosial, agar suasana Ende tetap sejuk dan tak keruh di seputar Pilkada, pastilah sebaliknya publik Ende pun punya harapan besar dan amat serius pada Bawaslu dan KPU Ende.
Sekiranya Bawaslu dan KPU Ende sungguh-sungguh kuasai aturan main Pilkada dan bertindak dengan ‘tangan kuat, bebas, otonom dan tanpa intervensi, apalagi jika sampai dikuasai mutlak oleh elit-elit politik Ende atau kelompok yang mulai nakal dan tak beretika dalam Pilkada.
Yang model begini: Bukan lagi mungkin, tetapi ‘Pasti Tuhan mulai bosan melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa.....”
Ini hanyalah sekadar menangkap gelombang suara dari Pasar Senggol di kelurahan Potulando-Ende.
Verbo Dei Amorem Spiranti
Collegio del Verbo Divino - Roma. ***