Prodi Mikom Universitas Mercu Buana Gelar Webinar 'Tantangan Media Mainstream di Era Media Sosial'

redaksi - Minggu, 12 Juni 2022 20:03
 Prodi Mikom Universitas Mercu Buana Gelar Webinar 'Tantangan Media Mainstream di Era Media Sosial'Webinar 'Tantangan Media Mainstream di Era Media Sosial' yang diselenggarakan Program Mikom Universitas Mercu Buana, Jakarta, Sabtu, 11 Juni 2022. (sumber: Panitian Webinar Prodi Mikom UMB)

JAKARTA  (Floresku.com)- Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana (Mikom UMB), konsentrasi Industri dan Bisnis Media menggelar webinar bertajuk 'Infighting, Tantangan Media Mainstream di Era Media Sosial', pada Sabtu 11 Juni 2022.

Kegiatan webinar ini digelar selain untuk menambah ilmu pengetahuan dari para mahasiswa, juga untuk menjawabi pertanyaan terkait bagaimana Pers dan Media Massa mainstream di tanah air dapat menghadapi tantangan di era media sosial.

Hadir sebagai narasumber webinar, Yan Kurniawan selaku analisis senior-drone empirit, Gilang Iskandar selaku sekretaris Asosiasi Televisi Swasta Indonesia/ATVS, Wenseslaus Manggut selaku Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia/AMSI, Dr. Ahmad Mulyana, M.Si selaku dosen ilmu  komunikasi Universitas mercu buana dan Dr. Heri Budianto selaku ketua prodi magister Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana.

Pengetahuan tambahan bagi mahasiswa

Dr. Heri Budianto, Ketua Prodi Mikom UMB dalam sambutannya mengatakan, tujuan utama dari diadakannya kegiatan webinar ini adalah agar mahasiswa dan seluruh peserta yang ada bisa mendapatkan pengetahuan atau ilmu tambahan dari para praktisi maupun dari para akademisi yang kompeten di bidang media. 

Kegiatan ini, lanjutnya, sudah rutin dilakukan sejak 6 tahun yang lalu bagi mahasiswa mata kuliah ekonomi politik media.

Dr. Heri Budianto, Ketua Prodi Mikom UMB

"Jadi, setiap angkatan yang mengambil mata kuliah ini mendapatkan tugas untuk melaksanakan kegiatan webinar semacam ini. Dan sebelum masa pandemi, kegiatan ini sudah dilaksanakan secara offline di kampus maupun juga di tempat-tempat yang memang bisa diadakannya kegiatan semacam ini. Dan tahun ini sudah masuk tahun ketiga pelaksanaan kegiatan secara online karena adanya pembatasan di dalam masa pandemi Covid-19," ungkap Dr. Heri Budianto.

Lebih lanjut, Dr. Heri Budianto mengatakan, di era digital sekarang ini dimana media masa sangat penting dan juga perkembangan media-media sosial juga sangat penting, tentunya menjadi suatu tantangan tersendiri bagi media mainstream di era media sosial.

"Adalah suatu fakta bahwa media-media sosial yang begitu kuat masuk pada sendi-sendi kehidupan manusia atau masyarakat pada saat ini mampu menerobos ruang dan waktu. Dan tentu ini juga menjadi suatu tantangan bagi masa depan media-media mainstream yang ada," cetusnya.

Mengakhiri sambutannya, Dr. Heri Budianto menyampaikan terima kasih kepada nara sumber dan juga para peserta webinar yang sudah meluangkan waktunya serta bagi panitia yang sudah menyiapkan dan menyelenggarakan kegiatan webinar tersebut.

"Terima kasih banyak kepada narasumber dan peserta webinar yang sudah hadir memenuhi undangan yang ada serta kepada panitia yang sudah menyiapkan dan menyelenggarakan kegiatan ini," pungkasnya.

Media sosial mitra media mainstream

Sementara itu, Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana, Dr. Yul Elly Yuliawati dalam sambutannya saat membuka secara resmi kegiatan webinar tersebut mengatakan, perjalanan ilmu komunikasi saat ini selalu dibarengi dengan perkembangan teknologi. 

Di dalamnya mulai ditemukan teknologi pembuatan tulisan, lalu teknologi kertas dan tehnik cetak hingga komputerisasi percetakan, televisi dan radio serta tehnologi informasi yang melahirkan internet yang menjadi platform media sosial saat ini.

Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana, Dr. Yul Elly Yuliawati

Media sosial, lanjut Dr. Yul Elly Yuliawati, awalnya diketahui menyerupai media komunikasi komunitas pada umumnya namun menggunakan platform internet. 

Beriring dengan perjalanan waktu, banyak korporasi media dan korporasi besar lainnya yang merasa perlu memasuki media sosial guna menjaga relasi atau menjaga pasar bahkan intervensi pasar.

"Maka di sinilah mulainya persaingan. Pelbagai persaingan hadir di sini mulai dari promosi produk hingga hadir juga masalah sosial komunitas dan bahkan masalah pribadi seseorang muncul di media sosial," ungkapnya.

Lebih lanjut, Dr. Yul Elly Yuliawati menegaskan bahwa dalam sepuluh tahun terakhir, media sosial bisa menjadi mitra dan control of balance informasi berbagai pemberitaan media mainstream.

Bahkan untuk 10 tahun kedepan, peran penting media mainstream masih belum tergantikan oleh media sosial, baik di Indonesia maupun manca negara.

"Media pemberitaan ini merupakan bisnis yang luar biasa dan masih dipegang oleh pemain lama seperti: Tempo, Kompas, Republika dan Liputan6 dengan kecepatannya dan pengorganisasian serta sumber dayanya yang masih menjadi rujukan utama suatu peristiwa," cetus Dr. Yul Elly Yuliawati.

Media mainstream perlu membangun public engagement  di media sosial

Tampil sebagai pembicara pertama, Yan Kurniawan, Analis senior Drone Emprit menyebutkan, pengguna media sosial di Indonesia mengalami pertumbuhan pesat, sekitar 12,6 persen dari 170 juta pengguna pada Januari 2021 menjadi 192 juta pada Januari 2022. 

Platform media sosial yang tumbuh pesat, lanjutnya, adalah TikTok dan Twitter.

"TikTok pada 2018-2109 belum muncul dalam sepuluh besar media sosial populer di Indonesia. Sekarang ini ada di urutan keempat. Artinya, terjadi pertumbuhan yang begitu signifikan di Indonesia. Sedangkan Twitter, pada tahun 2018-2019, pertumbuhan Twitter naik hampir 100 persen," ungkapnya.

Lebih lanjut, Yan Kurniawan mnejelaskan, kenaikan tinggi TikTok dan Twitter tersebut biasanya terjadi pada tahun politik, seperti pada tahun 2019. 

Dan pada 2024 mendatang kembali memasuki tahun politik, dan diperkirakan platform media sosial terutama Twitter diperkirakan kembali meninggi. 

Twitter digunakan untuk membangun opini, kontra narasi politik dengan negative campaign. Penggunaan media sosial pun semakin signifikan dalam membangun pesan, reputasi, branding, atau meghancurkan reputasi.

Lebih jauh, menyinggung posisi media mainstream di era media sosial, Yan menjelaskan media mainstream perlu membangun public engagement  di media sosial. 

Konten yang diminati, kata Yan, tergantung apa yang sedang menjadi perbincangan populer. 

Dalam konteks itu, media online atau media mainstream diharapkan memiliki strategi yang baik, dengan memperhatikan isu-isu menarik di publik.

"Publiklah yang menentukan media mana yang dia konsumsi. Media sosial bisa digunakan untuk melihat isu apa yang sedang menjadi perbincangan publik," paparnya.

Tantangannya, lanjut Yan, posisi media mainstream dituntut tidak hanya menyajikan konten untuk legitimasi, tapi bisa juga menjadi pionir sekaligus legitimasi informasi yang sedang menjadi perhatian masyarakat. Jika informasi terlebih dulu muncul di media sosial, kemungkinan besar engagement publik media mainstream menjadi rendah.

"Tapi media mainstream bisa menjadi legitimasi bagi informasi di media sosial. Ke depan, media mainstream diharapkan menjadi pionir legitimasi ini. Media mainstream berperan penting karena tingkat hoax tidak dapat dihindari, masih cukup tinggi. Penting pula bagi media mainstream menguatkan literasi media pada masyarakat karena media sosial menghadirkan risiko hoax yang tinggi. Media mainstream harus berupaya mengambil inisiatif untuk menjadi pionir informasi yang valid karena banyak hoaks," tegas Yan.

Tantangan Televisi

Sementara, Gilang Iskandar selaku Sekjen Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), mengungkapkan, sejauh televisi masih menjadi pilihan utama konsumen media meski bermunculan platform media digital (new media/media baru). Televisi, kata Gilang, masih menjadi pilihan karena free to air. Meski demikian, lanjutnya, televisi menghadapi tantangan konvergensi, digitalisasi, globalisasi dan perubahan demografi.

"Salah satu tantangan terkait konvergensi (telekomunikasi, penyiaran, dan internet) adalah belum adanya regulasi yang fair," ungkapnya.

Televisi tidak lagi hanya bersaing dengan sesama televisi, tapi melebar dengan media baru (Netflix, Youtube). "Ini ada unfair playing field. Televisi free to air diatur sangat ketat. Sedangkan media baru nyaris tidak diatur, padahal berada di sektor yang sama, mencari iklan," sambungnya.

Terkait regulasi, Gilang menjelaskan terdapat dua pemikiran, yaitu memasukkan regulasi media baru dalam UU Penyiaran atau dimasukkan dalam UU ITE. Regulasi itu yang diperjuangkan ATVSI termasuk melalui parlemen (Komisi I DPR sehingga terbentuk level playing field. Regulasi, menurut Gilang juga dibutuhkan terkait pemain-pemain platform global seperti Netflix dan Youtube yang mendapat animo besar dari publik. "Seluruh negara di Eropa sedang merencanakan pengaturan (legislasi) untuk pemain global tersebut," ujarnya.

Tantangan lain bagi industri televisi adalah digitalisasi, yang menuntut televisi meningkatkan kualitas penerimaan siaran dengan optimalisasi konten lokal, serta bermigrasi ke teknologi digital. Selain itu juga perubahan demografi, berupa proyeksi meningkatnya penduduk urban, yang menuntut kebutuhan konten yang berbeda untuk setiap segmen pasar. Tuntutan konten kini berorientasi pada lifesyle, life assistant, serta kemudahan mengakses. 

Secara umum, Gilang menekankan upaya melahirkan media yang sehat menjadi tanggung jawab seluruh stakeholders termasuk konsumen media. 

Jadi penting meningkatkan literasi media, mulai dari lingkungan terkecil.

Pergeseran pola produksi konten

Tampil sebagai pembicara terkait media siber Wenseslaus Manggut, Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI)/CCO KLY, menjelaskan terjadi pergeseran pola produksi konten. 

Dulu, kata Wenseslaus, industri media konvensional mengendalikan produksi, konten, sampai distribusinya. Sehingga mudah memasukkan nilai-nilai verifikasi dan kode etik.

"Sekarang, hampir 80 persen tidak lagi dikendalikan industri media tapi dikendalikan media sosial (platform). Maka tidak mudah lagi menerapkan rumusan kode etik dan sebagainya. Rumusan verifikasi dan kode etik, harus berbagi ruang dengan rumusan teknologi. Industri media harus kompromi," tegas Wenseslaus.

Lebih kanjut, Wenseslaus menerangkan, posisi platform (media baru) yang awalnya hanya transmisi, berkembang menjadi distribusi dalam bentuk algoritma, yang mempengaruhi industri media. 

Algoritma, kata Wenseslaus, mempengaruhi industri media sehingga cenderung menjadi bisnis (monetisasi). "Pertanyaannya, apakah media masih netral?"

Menurut Wenseslaus, terjadi kompromi jurnalisme dengan platform distribusi (media baru), di mana newsroom perlu memahami pola pikir platform digital (Google, Facebook). Terkait inilah junalisme data dianjurkan.

Lebih jauh, Wenseslaus mengungkapkan bahwa saat ini, industri media sedang menyesuaikan diri dengan pola pikir platform.

“Di satu sisi, ini baik. Tapi di sisi lain, itu adalah 'kecelakaan' karena kepentingan publik dipertaruhkan. Platform distribusi tersebut mendistribusikan apa saja, baik konten media yang bekerja secara prudent maupun konten media yang asal-asalan. Platform itu melakukan fungsi distribusi dengan algoritma, dan algoritma terjadi berdasarkan viralisasi,” ungkapnya.

"Akibatnya, sulit menemukan berita viral itu merupakan berita yang mengandung kepentingan publik tinggi," jelas Wenseslau.

Lebih detil, Wenseslaus menerangkan, sekarang perlu mencari keseimbangan baru antara industri media dengan platform distribusi.

"Intinya, menjawab pertanyaan bagaimana jurnalisme kembali ke jalannya? Pertanyaan ini juga menjadi problem di banyak negara," ungkapnya.

Lebih jauh Wenseslaus menjelaskan, bagaimana iklan muncul di informasi dengan muatan hate speech tinggi, hingga akhirnya hate speech menjadi produk yang laku di jual.

"Sama sekali tidak ada hubungannya dengan politik dan ideologi. Semata-mata karena kebencian menjadi barang dagangan yang laku dijual," cetusnya.

Menurut  Wenseslaus  regulasi tetaplah diperlukan untuk melindungi publik sekaligus melindungi medianya. 

Argumennya sederhana, kata Wenseslaus, kebebasan dan ekosistem media yang sekarang, menurunkan kualitas berpolitik, menurunkan demokrasi, menurunkan keadaban di ruang publik, karena medianya juga terseret ke dalam ekosistem seperti itu. 

Regulasi dibutuhkan supaya medianya setia dengan tugasnya mengabdi pada kepentingan publik, bekerja sesuai standar dan taat pada kode etik jurnalistik.

"Intinya, bagaimana ekosistem media menghargai kualitas kepentingan publik, bukan click bait. Harus konvergensi regulasi. Ekosistem harus memberi insentif untuk media dengan konten berkualitas. Selain itu, untuk menjawab tantangan yang ada, penting juga upaya menyadarkan media agar patuh pada fungsinya sebagai pengabdi, serta diingatkan soal etika. Bersamaan dengan itu penting pula memperhatikan ekosistem media yang mungkin memunculkan gangguan. Ekosistem media harus disehatkan," tandasnya.

Kolaborasi menjawab tantangan di era media sosial

Selanjutnya, sebagai pembicara pamungkas, DR Ahmad Mulyana, M.Si selaku dosen Magister Ilmu Komunikasi UMB merangkum seluruh pandangan di atas dari perspektif akademisi.

Menurut Ahmad Mulyana, tantangan-tantangan media mainstream di era media sosial masih dapat dikelola dengan mengutamakan kolaborasi.

"Kolaborasi tersebut berangkat dari pemahaman terhadap realitas baru, cyberspace. Cyberspace merupakan sebuah realitas alamiah dengan konvergensi yang menggantikan realitas nyata," ungkapnya.

Secara aktivitas lanjut Ahmad Mulyana, meskipun dikatakan sebagai dunia maya, tapi itulah realitas sesungguhnya. Realitas ini kemudian berkembang dan berpengaruh pada tersingkirnya media yang sudah mapan.

"Cyberspace memunculkan cyberculture sehingga terjadi pergeseran budaya, dari budaya nyata menjadi budaya berbasis cyberspace, memunculkan kebiasaan baru, yang menggeser peta khalayak yang menjadi acuan bagi media mainstream. Khalayak mengikuti bentukan konvergensi dengan banyak peran yang dimainkan. Inilah penantang baru bagi media mainstream, content creator," ungkapnya.

Lebih jauh Ahmad Muliyana menjelaskan, content creator melakukan inovasi-inovasi, opini-opini, bahkan memunculkan konten antietika yang dibalut dengan inovasi sehingga menjadi suatu yang menarik. 

Semua, sambung Mulyana, tergambar dalam media baru yang mengandalkan konten. Media mainstream menjadi gagap karena content creator muncul dari manapun. Hal-hal kecil menjadi menarik sebagai konsekuensi dari cyberculture.

Dalam kondisi itu, Mulyana menerangkan, berdasar perspektif teori Uses and Gratification, kebutuhan khalayak berbeda dan karenanya khalayak aktif mencari kebutuhan informasi yang juga berbeda.

"Dalam konteks inilah, diperlukan kolaborasi. Media mainstream bisa melakukan diversifikasi produk konten dalam merespons perubahan pola konsumsi media, melalui media sosial. Sebaliknya, media sosial menjalankan fungsi verifikator dari informasi dan berita melalui media mainstream, untuk memenuhi kebutuhan informasi yang mendalam bagi khalayak," papar Mulyana.

Secara keseluruhan, dengan konsep kolaborasi dan fokus pada literasi, diharapkan masing-masing platform mampu mengkonstruksi konten yang baik, yang bisa menciptakan kebutuhan akan informasi yang baik.

"Jadi, tidak cenderung fokus ke logika pasar. Kolaborasi perlu dikembangkan antar industri media, untuk meningkatkan kebutuhan akan informasi kebaikan," tandas Mulyana. (Jivansi). ***

Editor: redaksi

RELATED NEWS