Saat Merasa Diri Sudah Tahu Semua Sekadar Satu Perenungan, Injil Lukas 24:35-48 )

redaksi - Minggu, 14 April 2024 13:43
Saat Merasa Diri Sudah Tahu Semua Sekadar Satu Perenungan, Injil Lukas 24:35-48 )Pater Kons Beo SVD, Roma (sumber: Dpkpri)

Memang sulit untuk mendengarkan, saat cenderung untuk terus saja berbicara dan berbicara terus….” (cf Rachel Cusk – penulis)

P. Kons Beo, SVD

Tak sulit sebenarnya temukan orang yang balagak sudah tahu semua. Rasa diri punya banyak pengetahuan dan anggap diri punya pikiran tajam, walau belum saja terbukti atau mungkin nyatanya tidak, sudah jerumuskannya dalam arogansi akal budi. 

Lawan bicara belum selesai bicara, si pemikir ini sudah pada sergap mencela. Dan ia bahkan tak kendali diri untuk segera ambil alih kemudi bicara. Belum pada ikuti isi pikiran dan bagaimana alur bicara sesama secara utuh, si pemikir yang pongah sudah pada ‘lari lewat’ duluan untuk tiba pada kesimpulan. Dan tampak kelewat percaya diri walau pada simpul akhir yang rancu dan eror pula.

Yang rasa diri cerdas pikiran, sering dengan  angkuh pula berceloteh, “Saya ini baru baca judul saja, saya tu sudah tahu semua isinya....” Hae, Bro. Sombong tu ada model sedikit dan ada garis pinggir sadikit ka....

Kira-kira begitulah tanggapan balik umumnya.

Dalam dialog, dalam dengar pendapat, saat berdebat, atau dalam hambur-hambur komentar melalui jejaring WA Group, misalnya, terendus jelas betapa para oknum yang rasa diri hebat dalam berpikir dan berpendapat ini tak sanggup sembunyikan kearogansiannya.

Mari tengok di rana lain...

Dalam keluarga, orangtua berkeluh tentang anak yang tak ambil pusing untuk mendengarkan. Kenyataan ‘siapa mau dengar siapa’ kini terperangkap dalam gejolak apatis. Ada tendensi ketakpedulian penuh cuek. 

Sebab orang bisa ‘cuek malas tahu’ akan sesuatu yang indah dan berharga yang sepatutnya didengarkan dan dimiliki. 

Pada kisah berikutnya, amati saja sekiranya pertengkaran jadinya tak terhindarkan. “Baku ambil kata” itu isyaratkan telinga dan pikiran yang tertutup. Sebab dalam suasana khaos seperti itu, orang hanya berpatok pada pikiran dan rasa hatinya sendiri. Barangkali tak hanya itu....

Menjadi semakin rumit saat seseorang sekian ‘tanam kaki’ untuk agungkan pikirannya sendiri, dengan mencukur gundul kata, pikiran dan rasa hati sesama dengan gaya dan senjata ad hominem atau teror vulgarism verbal. 

Ini rumitnya saat orang menjadi tak cerdas serentak tak bijak dalam bersuara dan berkata. Bahkan sekiranya juga melenceng dari etika situasional. 

Lihat pula bahwa orang ‘rasa diri benar’ saat suara terasa lebih menggelegar pula bahkan sambil kepalan tinju pun diayunkan. Dan yang lain? Semuanya mesti  diam membisu. Dibuat ‘mati kutu dan mati langkah’ dengan gertak.

Selayaknya....

Kita tak boleh kehilangan momentum penuh teduh nan hening. Di situlah, sumber suara kita mesti dikatup. Pikiran onar yang berkeliaran mesti dirantai. 

Gemuruh badai perasaan di dalam dada mesti diredakan. Kita memang dituntut untuk ciptakan alam dan nuansa kontemplatif. 

Dan bukan kah, “kontemplasi itu menuntut ketenangan pikiran dan waktu?” Dan itu mesti membebaskan kita dari berbagai belitan kesibukan.

Si bijak ingatkan, “Salah satu krisis kebenaran ialah bahwa hidup kita begitu tergesa-gesa dan sangat sibuk sehingga kita tidak punya waktu untuk melihat satu sama lain dan sesuatu dengan tepat.

” Dan katanya lagi, “Sejauh ini kesibukan dengan kebenaran sebagai akuntabilitas hanyalah berarti kita  menggunakan banyak waktu untuk mengisi formulir, membuat laporan, mengumpulkan statistik, tetapi kita tidak punya waktu untuk membuka mata kita dan melihat.”

Dan akibatnya?

Apa yang kita isi dalam formulir, apa yang kita rancang sebagai laporan, apa yang kita kumpul sebagai bahan statistik, sungguh diperjuangkan sebagai kebenaran dan keharusan. 

Dan mirisnya, bahwa dunia dan sesama acapkali bisa diakali dan bahkan dipaksa untuk menerima dan mengakuinya.

Bagaimana pun, harus kah kita menatap dunia penuh pesimistik? Dan tanpa harapan? Tidaklah! Kita tetap dipanggil untuk menatap dunia dengan rendah hati dan jernih. 

Lebih dari semuanya, kita bakal masuk dalam alam spiritualitas kebenaran. Di situlah, siapapun diajak untuk ‘berjedah sejenak, menenangkan diri, dan membiarkan hati dan pikiran terbuka.’

Mari merenung kisah Injil

Ada pikiran tak  karuan dalam diri para murid. Kisah tragis Yesus, sang Guru, masih terasa membekas duka teramat dalam. Namun, ada harapan untuk memahami sang Guru dalam terang baru. 

Itu teralami saat kisah Yesus di perjalanan ke Emaus itu diwartakan oleh dua murid. Iya, saat keduanya, “menceritakan kepada saudara-saudara yang lain apa yang terjadi di tengah jalan dan bagaimana mereka mengenal Yesus pada waktu Ia memecah-mecahkan roti” (Luk 24:35). Kita pun pada maklum:

Kualitas komunio-kebersamaan itu bukanlah soal ‘ada bersama, kedekatan jarak, atau tinggal bersama secara fisik.’ Bukan! Kemendalaman kualitas relasi tertata dalam dinamika ‘saling berkisah dan terlebih saling mendengarkan.’ Di situlah, ketulusan dan kerendahan hati mesti dikobarkan.

Para murid yang dikepung oleh kekalutan hati, kini mesti berhadapan dengan Yesus, Sang Guru. Yesus tak hanya hadir dalam banyak penampakan. 

Pun tak hanya nyata dalam tindakan-tindakan yang meyakinkan. Tetapi bahwa Yesus, Tuhan, hadir dalam KATA-KATANYA yang mencerahkan.

Rahmat Paskah Tuhan bagi para murid adalah bahwa pikiran mereka terbuka untuk memahami Kitab Suci.’ Iya, untuk memahami apa yang mesti terjadi dengan Messias, Anak Manusia. 

Untuk Kita? Membiarkan pikiran dan hati kita terbuka juga menjadi kekuatan untuk memahami kisah dan penyelenggaraan Tuhan yang mesti terjadi dalam diri kita sendiri dan di dalam keseharian hidup.

Maka, marilah kita pergi kepada ‘doa dan kesunyian’ untuk mendengarkan Tuhan yang selalu berbicara kepada kita. Iya, Tuhan membuka pikiran kita untuk memahami semua yang kita alami (cf Meister Echart). 

Mari dengarkan pula suara sesama, walau dalam nada lemah suaranya. Dari situlah kita menjadi terbuka pikiran dan hati, segala apa yang tengah ia alami dan hadapi. Karenanya, biarkanlah pikiran dan hati kita terbuka....

Verbo Dei Amorem Spiranti

Collegio San Pietro – Roma

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

RELATED NEWS