Seminar MPLS SMK St. Thomas Maumere Tekankan Pencegahan Kekerasan dan Judi Online di Kalangan Remaja

redaksi - Senin, 14 Juli 2025 20:23
Seminar MPLS SMK St. Thomas Maumere Tekankan Pencegahan Kekerasan dan Judi Online di Kalangan RemajaSuasana Hari Pertama MPLS SMKS St Thomas Morus Maumere (sumber: Humas SMKS St Tohmas Morus)

MAUMERE (Floresku.com) - Dalam rangka Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) yang berlangsung dari tanggal 14 hingga 18 Juli 2025, SMK St. Thomas Maumere menggelar sebuah seminar penting yang mengusung tema “Pencegahan Kekerasan dan Judi Online” dengan subtema “Kenakalan Remaja”. Kegiatan ini berlangsung di aula terbuka sekolah dan dihadiri dengan antusias oleh seluruh siswa baru.

Salah satu pemateri utama dalam seminar ini adalah Viktor Nekur, S.H., seorang praktisi hukum yang telah berpengalaman dalam isu perlindungan anak dan remaja. Dalam paparannya, Viktor secara lugas mengajak para siswa untuk menyadari bahaya kekerasan dalam berbagai bentuk serta dampak negatif judi online yang kian marak di kalangan remaja.

Memahami Akar Kekerasan dan Perilaku Menyimpang

Viktor menjelaskan bahwa kekerasan merupakan tindakan yang menyerang kebebasan dan martabat manusia, baik secara fisik, verbal, psikis, maupun seksual. Ia mengutip tiga akar kekerasan yang juga dikritisi oleh para tokoh moral dunia, yaitu: kekayaan tanpa kerja, kesenangan tanpa hati nurani, dan pengetahuan tanpa karakter.

“Di lingkungan sekolah, kekerasan sering kali tersembunyi dalam bentuk perundungan (bullying), hinaan verbal, pelecehan psikologis, bahkan diskriminasi berbasis suku, agama, ras, dan antar golongan,” tegasnya.

Ia menekankan bahwa dalam dunia pendidikan, kekerasan telah diatur melalui Permendikbudristek Nomor 46 Tahun 2023 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Regulasi ini mencakup tindakan kekerasan fisik, verbal, psikis, hingga kekerasan berbasis media sosial dan kebijakan yang tidak adil.

“Sebagai pelajar, adik-adik harus menolak segala bentuk kekerasan, baik sebagai pelaku maupun korban. Hormati teman, guru, tenaga pendidik, orang tua, dan siapa saja di sekitar kalian,” ujarnya dengan penuh semangat.

Bahaya Judi Online dan Kenakalan Remaja

Dalam sesi lanjutan, Viktor mengangkat persoalan kenakalan remaja dan kaitannya dengan maraknya judi online. Ia menjelaskan bahwa kenakalan remaja yang disebut dalam literatur hukum sebagai Juvenile Delinquency, adalah tindakan pelanggaran norma hukum dan sosial yang dilakukan oleh anak muda.

Berdasarkan pemaparannya, kenakalan remaja bisa dipicu oleh dua faktor utama: dari dalam diri sendiri (seperti tingkat kecerdasan, usia, jenis kelamin, dan posisi anak dalam keluarga) serta dari lingkungan luar (seperti keluarga, sekolah, pergaulan, dan media massa).

Ia menegaskan bahwa keterlibatan dalam judi online tidak hanya melanggar hukum, tapi juga merusak masa depan anak muda. “Judi online bukan sekadar permainan. Ini adalah pintu masuk ke jurang kriminalitas dan ketergantungan,” tegasnya.

Menurut hukum di Indonesia, anak usia 12 hingga 18 tahun sudah bisa dikenai sanksi pidana apabila melakukan pelanggaran hukum, sementara anak usia 8 sampai 12 tahun dapat dikenakan tindakan berupa pembinaan. Oleh karena itu, peran pencegahan sangat krusial.

Pendidikan dan Perlindungan Anak: Kunci Pencegahan

Viktor menekankan pentingnya pendidikan karakter sejak dini di lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat, dan agama. Menurutnya, menjadi anak yang baik bukan berarti patuh secara buta, tetapi berani menghargai hak diri dan menghormati hak orang lain.

Dalam konteks hukum nasional, ia merujuk pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. UU ini mengatur bahwa perlindungan anak mencakup segala aktivitas untuk menjamin hak anak hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal tanpa kekerasan dan diskriminasi.

Ia juga menjelaskan bahwa perlindungan anak bersifat yuridis (hukum pidana dan perdata) dan non-yuridis (pendidikan, sosial, dan kesehatan). Dasar perlindungan anak merujuk pada Pancasila, UUD 1945, serta prinsip-prinsip etika profesi.

“Jangan salah kaprah. Perlindungan anak bukan berarti memanjakan atau membiarkan anak tanpa batas. Perlindungan itu harus menumbuhkan kemandirian, kreativitas, dan tanggung jawab,” ungkapnya.

Nilai Adat dan Budaya Sebagai Panduan Etika

Menariknya, Viktor juga mengangkat nilai-nilai lokal dan budaya dalam membimbing remaja. Ia menyitir petuah adat Sikka:“Mai Plipin E’i Ina Pirin, Mai Gon E’i Ama Korok — Berlindunglah pada ibu dan bapa. Ina tutur ‘au diri, Ama nang ‘au rena — Dengarkanlah nasihat ibu dan petuah bapak.”

Menurutnya, norma adat seharusnya menjadi pemandu dalam membangun karakter anak muda, bukan sekadar hiasan budaya yang dilupakan. Ia mengajak para siswa untuk menumbuhkan kebanggaan terhadap jati diri mereka sebagai generasi penerus bangsa dan penjaga nilai-nilai luhur daerah.

Tanggung Jawab Bersama

Di bagian akhir seminar, Viktor menekankan bahwa perlindungan dan pembinaan terhadap anak bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga keluarga, masyarakat, dan lembaga pendidikan.

Ia menyebut beberapa pasal penting dalam UU Perlindungan Anak:

Pasal 21–24: Kewajiban negara untuk menghormati dan melindungi hak anak.

Pasal 25–26: Kewajiban masyarakat, orang tua, dan keluarga dalam mengasuh dan mendidik anak.

Pasal 49: Hak anak untuk hidup, berkembang, dan bebas dari kekerasan.

Pasal 19: Kewajiban anak untuk menghormati orang tua, guru, masyarakat, dan menunaikan ibadah.

Lagu Tradisional Sebagai Penutup

Seminar ditutup dengan syair lagu daerah yang sarat makna: Nora ami kesik la’en, deri e’i bangu skola, naha diri Ina Guru nao, naha rena Ama Guru donen…

Karena ketika kita sudah dewasa maka, Nora Ami Gete Ba’a, Doe Li’un ‘Wara Sako, Gera Lau Urun Du’ur 
Gera Lau Dara Matan, Koit Bewat Ba’a Mole Rewu Ba Ganu Wair....

Para peserta tampak tersentuh, dan suasana seminar berubah menjadi reflektif dan penuh harapan.

Dengan semangat edukatif dan nuansa lokal yang kuat, seminar ini menjadi momen penting dalam pembentukan karakter generasi muda SMK St. Thomas. Masa pengenalan lingkungan sekolah bukan sekadar formalitas, tapi menjadi ruang pembentukan nilai dan kesadaran moral sejak dini. (Silvia). ***

RELATED NEWS