SOROTAN: ‘Generasi yang Tersinggung’ dan Pendidikan yang Dikebiri oleh Ego dan Hukum
redaksi - Kamis, 16 Oktober 2025 22:11

Oleh: Maxi Ali Perajaka*
KASUS di SMAN Cimarga, Kabupaten Lebak, Banten, yang viral beberapa hari belakangan ini bukan sekadar insiden “guru menampar siswa.”
Kasus ini adalah cermin retak dari wajah pendidikan kita hari ini — pendidikan yang kehilangan wibawa moral, digantikan oleh sensitivitas semu dan logika pasal-pasal hukum yang beku.
Insiden ini viral di media sosial bukan karena kekerasan luar biasa, tetapi lantaran seorang kepala sekolah menegur sembari menampar siswanya yang tertangkap merokok di lingkungan sekolah (Jumat, 10/10).
Yang jadi luar biasa rentetan peristiwa sesusahnya. Siswa itu lalu mengadu, orang tua melapor ke polisi, dan 630 siswa lainnya mogok sekolah sembari memasang spanduk menuntu kepalas sekolah dilengserkan.
Ibaratnya, masrakat Indonesia, bahkan globa, sedang menyaksikan sebuah tontonan memalukan: lembaga dan sistem pendidikan kita ‘jatuh tersungkur’ ke dalam kubangan.
Bagi yang masih percaya pada makna pendidikan sejati, peristiwa ini menimbulkan rasa getir. Paulo Freire, filsuf pendidikan asal Brasil dalam Pedagogy of the Oppressed, menulis: “Pendidikan sejati adalah tindakan pembebasan, bukan pembiusan.”
Namun, di negeri ini, pendidikan justru semakin sering dibius oleh ketakutan — guru takut mendisiplinkan, kepala sekolah takut menegur, dan orang tua takut mengakui kesalahan anaknya. Kita hidup dalam zaman ketika “hak anak” menjadi tameng untuk menolak tanggung jawab.
Antara Kekerasan dan Disiplin
Tidak ada pendidik waras yang mendukung kekerasan. Tetapi kita harus berani membedakan antara kekerasan yang merendahkan martabat manusia dan tindakan disiplin yang bersifat mendidik.
Tamparan — jika pun terjadi — harus dilihat dalam konteks moral dan pedagogis. Apakah itu tindakan melampiaskan amarah, atau bagian dari upaya menegur dan menanamkan nilai tanggung jawab?
Di ruang kelas, otoritas moral guru adalah simbol kehadiran negara dalam membentuk warga yang beradab. Bila otoritas ini dihancurkan oleh laporan polisi, maka sekolah hanya tinggal gedung kosong dengan papan nama “merdeka belajar.”
- Pesan Inspiratif : Tidak Ada Sesuatu Pun yang Indah di Hadapan Hati yang Jahat
- Rencana Penutupan Pasar Wuring, Kebijakan yang Menindas Rakyat Kecil
- BMKG Luncurkan Sistem Peringatan Dini Tsunami di Timor Leste
Di sinilah tragedi itu dimulai: ketika pendidikan dipaksa tunduk di bawah bayang-bayang ketakutan hukum dan tekanan publik media sosial.
Pendidikan yang Lumpuh oleh “Kultus Hak”
Fenomena ini menegaskan tesis sosiolog Prancis Émile Durkheim, bahwa pendidikan adalah proses sosialisasi moral — menanamkan disiplin, tanggung jawab, dan kesadaran kolektif. Tapi kini moralitas publik tergeser oleh individualisme hukum: setiap pelanggaran ditimbang dengan pasal, bukan dengan nilai.
Anak yang merokok di sekolah tidak lagi dianggap melanggar norma, melainkan korban dari kekuasaan guru. Padahal, seperti kata Freire, “Ketika siswa kehilangan rasa malu atas kebodohan dan kesalahannya, pendidikan berhenti menjadi proses pembebasan.”
630 siswa mogok belajar adalah simbol pembunuhan kolektif terhadap nilai pendidikan itu sendiri. Mereka tak lagi belajar berpikir kritis — yang mereka lakukan hanyalah solidaritas emosional tanpa kesadaran moral.
Orang Tua yang Lupa Tugas
Netizen benar ketika berkata: guru adalah partner orang tua, bukan musuh. Ketika seorang anak berbuat salah dan orang tuanya malah melapor guru ke polisi, maka sesungguhnya orang tua itu sedang mengkhianati fungsi pengasuhan.
Filsafat pendidikan klasik Aristoteles menegaskan: “Pendidikan moral tidak akan berhasil tanpa keterlibatan rumah tangga.”
Namun di era digital, banyak orang tua outsourcing moral kepada sekolah dan gadget. Mereka ingin anaknya disiplin, tapi tak siap melihat anaknya ditegur.
Mereka ingin anaknya sukses, tapi tak ingin ia merasakan sakit dari konsekuensi. Inilah generasi kaca — rapuh, mudah retak oleh gesekan realitas.
Sekolah Tanpa Wibawa
Kita menyaksikan sekolah-sekolah kehilangan makna sebagai ruang formasi moral. Kepala sekolah yang menegakkan aturan justru dinonaktifkan. Guru yang mendidik dianggap “bermasalah.” Sementara siswa yang melanggar tata tertib menjadi pahlawan moral yang dibela netizen.
Fenomena ini menunjukkan apa yang disebut Zygmunt Bauman sebagai “masyarakat cair” (liquid society) — masyarakat yang kehilangan bentuk, di mana nilai-nilai tradisional seperti hormat, tanggung jawab, dan disiplin larut dalam relativisme moral.
Dalam masyarakat cair, setiap teguran dianggap kekerasan, setiap batas dianggap penindasan, dan setiap otoritas dianggap ancaman bagi kebebasan.
Dari Sekolah ke Generasi Sampah
Mari kita jujur: jika 630 siswa mogok sekolah demi membela teman yang merokok, maka kita sedang menyiapkan generasi yang kehilangan arah moral. Mereka bukan generasi emas 2045, tetapi generasi sampah yang terjebak dalam logika “bebas tapi bodoh.”
Freire pernah memperingatkan: “Ketika pendidikan berhenti mengajarkan tanggung jawab, maka yang tumbuh adalah kesewenang-wenangan.”
Bagaimana mungkin bangsa ini berbicara tentang Indonesia Emas jika anak-anaknya tak mampu membedakan antara benar dan salah, disiplin dan kekerasan, teguran dan penghinaan?
Apa jadinya masa depan bangsa jika setiap nilai harus menunggu persetujuan media sosial dan setiap guru harus tunduk pada opini publik?
Negara yang Gagal Melindungi Guru
Pemerintah Provinsi Banten seolah ingin cepat menenangkan situasi dengan menonaktifkan kepala sekolah. Tapi langkah itu menunjukkan ketakutan struktural: lebih takut pada viralitas daripada kebenaran. Jika setiap keputusan pendidikan diukur dengan “keterkenalan kasus” di TikTok, maka kita bukan sedang mendidik bangsa, melainkan sedang mengelola reputasi digital.
Negara seharusnya melindungi guru — bukan membiarkan mereka menjadi kambing hitam setiap kali publik marah. Undang-Undang Guru dan Dosen (UU No. 14 Tahun 2005) menegaskan bahwa guru memiliki kebebasan dalam menjalankan fungsi profesionalnya, termasuk menegakkan disiplin.
Jika kebebasan itu dipasung oleh ketakutan akan laporan polisi, maka pendidikan kita resmi mati secara moral.
Krisis Kesadaran Kolektif
Kasus ini hanyalah puncak gunung es dari krisis kesadaran kolektif bangsa. Kita telah lama memisahkan antara “pendidikan moral” dan “pendidikan formal.” Sekolah hanya mengejar nilai, bukan membangun karakter.
Padahal, sebagaimana ditegaskan Freire, “Tujuan pendidikan bukan mengisi kepala anak dengan informasi, melainkan membangkitkan kesadarannya akan dunia.”
Namun apa yang kita lihat kini? Kesadaran yang mati. Anak-anak yang menolak belajar demi solidaritas semu. Orang tua yang menolak introspeksi.
Pemerintah yang menolak keberanian moral. Dan publik yang lebih cepat mengutuk daripada memahami.
Mendidik Tanpa Ketakutan
Sudah saatnya kita mengembalikan makna pendidikan sebagai ruang pembentukan manusia, bukan sekadar “pelayanan publik.” Guru harus kembali diberi martabat dan keberanian moral.
Disiplin bukan kekerasan — ia adalah bentuk cinta yang paling rasional dalam pendidikan. Tamparan bisa jadi salah secara prosedural, tetapi bisa benar secara moral jika lahir dari niat mendidik, bukan melukai.
Seperti kata Freire, “Pendidikan sejati adalah tindakan cinta terhadap manusia — dan cinta sejati selalu mengandung risiko.” Risiko itulah yang kini dihapus dari ruang sekolah kita. Kita ingin guru yang lembut, siswa yang manja, dan sistem yang steril.
Tapi jangan kaget jika dari sistem yang steril itu lahir generasi yang busuk — generasi tanpa karakter, tanpa tanggung jawab, dan tanpa rasa malu.
Maka sebelum kita menuduh guru, sebelum kita memuja hak anak, mari kita bertanya: siapakah yang sesungguhnya menampar wajah pendidikan kita hari ini?
Kepala sekolah di Lebak — atau kita semua yang membiarkan nilai-nilai itu mati di tangan ego dan ketakutan kita sendiri? *
*Penulis adalah Pemimpin Redaksi Floresku.com dan praktisi pendidikan. ***