SOROTAN: Pariwisata Manggarai Timur: Antara Kekayaan Alam-Budaya dan Masa Depan yang Tak Menentu
redaksi - Sabtu, 05 Juli 2025 22:13
Oleh: Maxi Ali P dan Maria Leonora A.*
MANGGARAI Timur di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), adalah surga tersembunyi yang jarang terpetakan secara strategis dalam peta besar pariwisata nasional.
Dengan 116 daya tarik wisata yang terdiri dari 64 objek wisata alam, 49 wisata budaya, dan 3 wisata buatan, wilayah ini sebenarnya memiliki potensi luar biasa.
Namun, di balik keindahan dan kekayaan warisan budaya tersebut, terbentang ironi: masa depan pariwisata Manggarai Timur tampak buram karena tidak adanya arah pembangunan dan strategi pengembangan yang jelas dari pemerintah daerah.
Artikel ini menyajikan sorotan kritis atas potensi pariwisata Manggarai Timur dari berbagai sisi – sejarah-budaya, birdwatching, keindahan alam, agro-wisata, wisata religi – dan mempertanyakan sejauh mana pengelolaan dan kebijakan yang ada mampu menjawab tantangan serta mendekatkan wilayah ini ke cita-cita sebagai destinasi wisata unggulan.

Warisan Sejarah dan Budaya: Watu Susu dan Tari Vera
Salah satu simbol kuat dari identitas sejarah Manggarai Timur adalah Watu Susu, dua batu besar setinggi ±15 meter yang berdiri di Kelurahan Watunggene, Kecamatan Kota Komba.
Tak hanya sebagai formasi geologi yang mengesankan, Watu Susu adalah monumen memori: simbol perlawanan suku Rongga terhadap dominasi Kerajaan Todo, kerajaan kuat yang pernah menguasai sebagian besar wilayah Manggarai. Di balik keheningan batu itu, tersimpan narasi perjuangan dan harga diri komunitas lokal.
Selaras dengan Watu Susu adalah Tari Vera, tarian suci suku Rongga yang hanya ditampilkan dalam upacara pemakaman tokoh penting. Tarian ini bukan sekadar pertunjukan estetis, melainkan wujud penghormatan terhadap jasa dan kebajikan almarhum dalam struktur sosial adat.
Kedua entitas ini, batu dan tari, mencerminkan kedalaman warisan sejarah dan budaya Manggarai Timur. Namun sayangnya, belum ada narasi publik yang kuat untuk mempromosikan keduanya secara berkelanjutan di tingkat regional maupun nasional.
Surga Birdwatching yang Terlupakan
Flores bagian barat, termasuk Manggarai Timur, telah dikenal sejak abad ke-19 sebagai wilayah persebaran spesies burung langka dan endemik.
Dalam catatan ilmiah dari AH. Everett (1898), Verheijen (1963, 1976), hingga Schmutz (1977), kawasan seperti hutan di sekitar Danau Rana Mese (Desa Golo Loni) dan bukit Poco Ndeki (Kelurahan Tanarata) menjadi habitat penting bagi banyak burung endemik Flores.
Fakta ini menjadikan Manggarai Timur sebagai incaran para pecinta birdwatching, terutama dari Eropa, yang secara rutin datang sejak 1987.
Bahkan, Universitas Cambridge pernah mengadakan ekspedisi pengamatan burung selama empat hari di Nangarawa pada 1997.
Meski begitu, kawasan ini belum dikelola sebagai destinasi birdwatching resmi. Infrastruktur tidak tersedia, informasi tidak disediakan, dan promosi hanya mengandalkan blog pribadi atau unggahan media sosial pengunjung.
Kondisi ini ironis bila dibandingkan dengan daerah lain seperti Bogor, Gunung Gede Pangrango, dan bahkan Manggarai Barat, yang telah mengintegrasikan ekowisata birdwatching ke dalam strategi pariwisata daerah.
Penelitian Paramita dan Septiviari (2018) misalnya, telah menganalisis potensi wisata burung di Flores dengan pendekatan SWOT, namun hanya menyentuh wilayah Manggarai Barat. Padahal, Manggarai Timur menyimpan potensi yang bahkan belum tergali.
Alam yang Memesona, Tapi Tanpa Sentuhan Tata Kelola
Manggarai Timur tidak kekurangan lanskap menakjubkan. Danau Rana Mese yang anggun, Danau Rana Tonjong, sebuah dana Lotus/Teratai terbesar kedua di dunia, Savana Mausui bak bentangan permadanai hijau, hingga pantai-pantai alami menawarkan panorama alam yang memesona.

Salah warisan alam yang luar biasa adalah spesies kadal purba Varanus komodoensis atau komodo. Hewn purba langka tidak hanya ada Pulau Komodo dan Rinca, tetapi di Manggarai Timur, tepatnya di Desa Pota.
Dalam bahasa lokal, hewan ini dikenal sebagai Rugu, dan telah lama menjadi bagian dari lanskap ekologis dan budaya masyarakat setempat.
Kehadiran komodo di Pota tidak hanya memiliki nilai konservasi tinggi, tetapi juga menjadi daya tarik wisata yang mendukung berbagai potensi wisata lainnya di kawasan utara Manggarai Timur
Direktur Utama Badan Otorita Pariwisata Labuan Bajo Flores (BOPLBF) periode 2019-2024, Shana Fatina, menyebut Pota di Manggara Timur adalah salah satu jalur penting persebaran komodo di Flores.
“Selain sebagai habitat komodo, Kelurahan Pota juga menyimpan keindahan alam lain seperti Pantai Watu Pajung yang memikat dengan pasir putihnya, menjadikan kawasan ini sebagai destinasi wisata alam yang unik dan menjanjikan,” ujarnya sebagaimana dikutip Kompas.com (23 Desember 2023). Namun keindahan ini belum dijadikan sumber penghidupan berkelanjutan bagi masyarakat.
Lembah Colol, misalnya, dikenal luas sebagai penghasil kopi arabika berkualitas tinggi. Agrowisata berbasis kopi seharusnya dapat dikembangkan untuk menyajikan pengalaman langsung – mulai dari pemetikan buah, proses pengolahan, hingga penyeduhan.
Potensi air terjun seperti Cunca Tenda pun dapat menjadi daya tarik bagi wisata petualangan, jika saja infrastruktur dan narasi pengalamannya dibangun secara sistemik.
Sayangnya, hingga kini, inisiatif pengembangan wisata di wilayah ini lebih banyak bersifat sporadis, tanpa program jangka panjang.
Ketiadaan pelatihan bagi masyarakat lokal sebagai pemandu, minimnya fasilitas dasar (jalan, penginapan, toilet umum), dan ketiadaan promosi resmi membuat keindahan ini seolah hanya dipersembahkan untuk mereka yang ‘tersesat’ secara beruntung ke pelosok timur Flores.
Ziarah Rohani yang Sunyi
Selain wisata alam dan budaya, Manggarai Timur juga memiliki destinasi religi yang potensial. Gereja Tua Lengko Ajang, misalnya, menampilkan perpaduan arsitektur Eropa dengan unsur lokal Manggarai. Gua Maria Watu Tabo, Gua Cingcoleng, dan Bukit Ziarah Boaala pun menjadi lokasi spiritual yang menawarkan ketenangan batin sekaligus kekayaan visual.
Namun, sebagaimana sektor lainnya, wisata religi pun belum dijadikan bagian integral dari sistem pariwisata daerah.
Wisata rohani bisa menjadi penggerak penting dalam ekowisata dan pariwisata spiritual, terutama jika dikemas dengan narasi lintas iman, keheningan ekologis, dan pengalaman reflektif. Gereja Katolik di NTT, dengan basis umat yang kuat, bisa menjadi mitra strategis dalam mengembangkan potensi ini. Tapi sampai sekarang, semua itu belum masuk dalam prioritas.
Ketidakhadiran Negara dalam Angka
Ironi terbesar dari semua potensi ini adalah ketidakhadiran kebijakan publik yang konkret. Manggarai Timur dalam Angka tahun 2023 dan 2024 bahkan tidak mencantumkan jumlah hotel, restoran, atau data kunjungan wisatawan secara resmi.
Hanya 59 rumah makan yang terdata. Ini bukan sekadar kekeliruan teknis, melainkan bukti bahwa sektor pariwisata belum dianggap sebagai pilar pembangunan strategis oleh pemerintah daerah.
Tanpa data, tak ada perencanaan. Tanpa perencanaan, tak ada kebijakan. Dan tanpa kebijakan, pariwisata akan terus berjalan di atas euforia narasi media sosial yang cepat menguap.
Dalam situasi seperti ini, narasi promosi yang beredar di media online dan platform digital hanya akan menjadi “hiasan digital” tanpa dampak riil bagi ekonomi lokal atau pelestarian budaya.
Kendala Struktural: SDM dan Anggaran
Salah satu alasan stagnasi pariwisata Manggarai Timur adalah minimnya sumber daya manusia (SDM) dan anggaran. Pemerintah daerah seolah terjebak dalam pola pembangunan sektoral yang tidak lintas-bidang.
Pariwisata bukan hanya tentang promosi keindahan, melainkan integrasi lintas sektor – infrastruktur, pendidikan, pelatihan, promosi digital, pelestarian budaya, hingga riset ilmiah.
Tanpa SDM yang memahami konsep pariwisata berkelanjutan, dan tanpa dukungan anggaran yang cukup, maka semua potensi hanya akan menjadi daftar panjang dalam proposal dan dokumen rencana yang tidak pernah dieksekusi.
Penutup: Antara Harapan dan Keniscayaan
Pariwisata Manggarai Timur ibarat permata tak terasah di bagian timur Flores. Dari batu sejarah Watu Susu hingga tarian suci Vera; dari hutan pengamatan burung hingga agrowisata kopi Colol; dari danau dan savana hingga gua-gua ziarah; semuanya menanti untuk ditemukan dan dihargai.
Namun untuk menjadikan semua itu sebagai industri yang bermartabat, diperlukan kehadiran negara secara nyata. Pemerintah daerah harus menjadikan pariwisata sebagai sektor prioritas dengan membangun data, strategi, infrastruktur, dan SDM.
Kolaborasi dengan komunitas adat, akademisi, gereja, dan swasta adalah keniscayaan. Tanpa itu semua, pariwisata Manggarai Timur akan terus berjalan tanpa arah – hanya sekadar pemandangan indah yang lewat di layar ponsel wisatawan.
Sebuah wilayah yang kaya, tetapi dibiarkan berjalan dalam ketidakpastian. Inilah realitas pariwisata Manggarai Timur hari ini. Dan kita semua bertanggung jawab mengubahnya.***
*Penulis adalah tim redaksi Floresku.com, penulis kedua pernah kuliah di Prodi Pariwisata Unika Atma Jaya Jakarta.