Tena-Laja, Motor Arnoldus, Io Kiko (Bagian 3)

redaksi - Rabu, 01 September 2021 12:12
Tena-Laja, Motor Arnoldus, Io Kiko (Bagian 3)Tena-Laja Lamalera (sumber: Bona Beding)

(Postscriptum Webinar Kisah Para Pengarung Lautan)

Oleh: JB Kleden*

 

BONA Beding, lelaki nyentrik ini memulai kisahnya dengan sebuah proklamasi. “Bapa saya seorang Lamafa, saya putera Lamafa. Laut itu kehidupan kami. Sejak kecil pada usia 3 tahun, kami sudah dilempar ke dasar laut.” katanya dengan semangat. Mungkin orang Lamarera - meminjam istilah Chairil Anwar termasuk “kikisan laut/berdarah laut”. Tapi seorang Lamafa bukan “Beta Pattirajawane”, sosok mitologis dalam “Cerita Buat Dien Tamaela” yang ketika lahir dibawakan “dayung dan sampan”. Seorang Lamafa ketika lahir diberi minum air laut. Dan pada usia 3 tahun dilempar ke dasar laut agar bisa belajar bertahan hidup.  Maka nasib seorang Lamafa sesungguhnya ditulis di laut. 

Hanya orang Lamalera yang memahaminya secara tepat frasa ini. Ia magis. Lamafa bukan sekadar tukang tombak ikan paus seperti yang dipahami kebanyakan orang di luar Lamalera. Di laut dia pemimpin kelompok penombak. Di darat dia penjaga kehidupan. Laut bagi orang Lamalera adalah tempat moralitas Lamafa di uji. Kesalahan di darat, diungkapkan di laut. Perilaku Lamafa di darat akan menyebabkan ikan paus datang memberi diri atau menolak memberi dirinya. Lamafa dengan demikian bukan sekadar cerita heroisme di tengah samudera. Ia adalah kisah tentang hidup. Tanggungjawab Lamafa adalah hidup seluruh masyarakat Lamalera dan kampung sekitarnya. 

Semua orang boleh teledor, tetapi seorang Lamafa tak boleh teledor karena ia menggenggam harapan dan masa depan kehidupan seluruh kampung. Kemurnian hati akan membuat  seorang Lamafa dengan riang gembira melompat meraih mette bergegas turun ke lautnya, menakar gelombang menyambut ikan paus yang  datang memberi diri sambil bernyanyi “hirkae…hirkae…hirkae….” 

A thing of beauty is a joy for ever. Maka meski gentar, seorang Lamafa menyadari bahwa dirinya tetaplah manusia yang rapuh, tetapi lebih berarti dalam pengampunan dan rasa syukur. Maka setiap kali mengawali musim lefa seorang Lamafa harus melakukan ritus pembersihan diri, dalam misa lefa. Karena lautlah yang memiliki orang Lamalera, bukan orang  Lamalera yang memiliki laut. “Kau salah-salah, laut akan mengambilmu.”

Diakhir kisanya, putera Lamafa ini menolak terminilogi yang selama ini dilekatkan orang bahwa orang Lamalera berburu paus. “Reu, orang Lamalera tidak berburu paus. Laut bagi bagi kami adalah ibu, yang memelihara kehidupan kami. Ikan paus datang memberi diri dan sebagai pemberian ibu, kami pergi mengambilnya. Mengambil untuk menghidupi kampung kami dan kampung-kampung di sekitar kami.” 

Orang Lamalera mengambil ikan paus ia tidak hanya untuk memenuhi blapa lolo (tempat menyimpan, mengawetkan ikan) ema-ema Lamalera. Seperti Maria dalam kisah Injil, ema-ema Lamalera pergi membawa berkat laut itu bagi saudara-saudaranya para Elisabeth  di bukit-bukit yang jauh, menukarnya dengan ubi, pisang dan jagung. Dan ketika kaki ema-ema turun kembali dengan indahnya dari bukit-bukit nun jauh, anak-anakpun berlari menyambut berkat dari gunung itu dengan kegirangan yang sama seperti mereka menyoraki berkat dari laut, saat ikan paus menyemburkan air tanda kedatangannya. Beleo, beleo, beleo….

Kisah ini mengingatkan saya akan tradisi “Tubak Io” (menangkap Hiu Paus) di kampung kami, Waibalun. Pada musim yang bersamaan dengan musim lefa di Lamalera, di kampung kami juga ada tradisi Tubak Io (menangkap Hiu Paus). Tapi dalam penuturan Bona Beding, saya kemudian menyadari bahwa apa yang dilakukan nenek moyang kami di Waibalum dulu, sama seperti yang dilakukan para Lamafa di Lamalera. Mereka pergi mengambil Io Kiko yang datang memberi diri. 

Betapa tidak. Bayangkan, Hiu Paus (yang dalam Bahasa Latin disebut Rhincodon Typus, atau Whale Shark dalam Bahasa Inggris) itu, menyeberang dari perairan laut Sawu melintasi selat Lewotobi, tidak berbelok ke Selat Sempit Larantuka atau ke Selat Adonara, tapi  masuk ke laut dangkal depan Nuha (pulau) Waibalun, bermain di tasiknya yang tenang, lalu lalang tak mau pergi, sampai nenek moyang kami datang mengambilnya. 

Seperti ikan paus bagi masyarakat Lamalera, Io Kiko itu tidak pernah menjadi milik pribadi. Ia milik seluruh kampung. Dan jika dalam musim itu bisa mengambil tiga ekor atau lebih Io Kiko, maka seluruh isi kampung akan mengadakan ritual Biho Rengki (masak nasi tumpeng adat) pada malam purnama bulan. Semua orang duduk makan bersama di Nama, yang diakhiri dengan dolo-dolo bersama. 

“Mari menari

Mari beria

Mari berlupa”

Bukan karena makan besar dan pesta pora begitu penting, tetapi ada sebuah kegembiraan yang sedang dirayakan bersama orang satu kampung, yakni kegembiraan dan kemerdekaan hidup sebagai saudara. Dengan makan rengki dan menari dolo-dolo pai murah rame-rame kami sedang merayakan tiga keutamaan hidup bersaudara, yakni kesediaan untuk saling berbagi, saling peduli dan saling menumbuhkan keutamaan harapan. 

Mae hama io kiko, kemi hama io ate, keraot hama io belehek.” Inilah kata Mutiara yang tak kami lupakan. “Enak seperti hiu paus, manis seperti hati hiu dan renyah seperti tulang rawan hiu”. Mungkin karena persaudaraan itu, ceruk rindu lebih dalam di sukma, sehingga ketika hari mulai malam, ibunda duduk di bale-bale merenda rindu dan bernyanyi… Bale nagi, bale nagi, no eeee, kendati nae bero eee . (BERSAMBUNG)

*JB Kleden, PNS Kementerian Agama Kota Kupang

BACA JUGA

Editor: Redaksi

RELATED NEWS