Teruslah Bersuara!
redaksi - Senin, 08 September 2025 11:39
Oleh: Steph Tupeng Witin
HARI baru menghadirkan harapan baru. Berkat sinar matahari pagi menjadi penandanya. Matahari tidak pernah absen apalagi pensiun. Ia setia mencahayai semesta. Mengalirkan kesegaran tanpa batas. Menumbuhkan hidup tanpa lelah.
Kasih Tuhan tidak mengenal musim pensiun. Abadi. Kasih itu adalah berkas sinar matahari-Nya yang setia menerangi kehidupan. Kasih-Nya menumbuhkan harapan, selalu baru.
Kasih-Nya merawat keberlanjutan hidup, tanpa pernah menodainya. Kasih-Nya selalu terbuka bagai buku yang merelakan dirinya dinikmati agar mengalirlah kebijaksanaan. Tuhan itu tampak begitu sederhana di hadapan mukjizat realitas yang menakjubkan.
Karya-Nya sungguh mengagumkan dalam karya manusia yang kecil, sederhana, kadang tak tampak oleh mata manusiawi dan kerap dianggap tidak masuk hitungan oleh pola pikir manusia dan tolok ukur dunia.
Karya manusia yang terbatas dalam bingkai rahmat kasih Tuhan menjadikan waktu itu bermakna, bukan sekadar tumpukan detik, menit, jam, hari, minggu, bulan dan tahun, tanpa makna.
Hari ini Serikat Sabda Allah (Societas Verbi Divini/SVD) merayakan hari jadi ke-150 tahun. Sebuah rentang masa yang membuktikan kebesaran kasih Tuhan. Momen berahmat untuk bersyukur kepada-Nya dalam kepasrahan tak terbatas.
- Mesir: Perlintasan Rafah Hanya untuk Bantuan, Bukan untuk Relokasi Warga Palestina
- J e j a k (Sekadar Hambur-hambur Kata pada HUT ke 150 SVD, Serikat Sabda Allah)
- Standar SVLK Pastikan Keberlanjutan dan Kelegalan Produk Wood Pellet Indonesia
Waktu untuk memuliakan Tuhan yang tampak secara konkret dalam deretan karya yang mestinya tidak membuat “orang” menjadi congkak.
Saat penuh syukur untuk mengakui dengan jujur, bahkan menepuk dada untuk berbenah dari kejatuhan dan menata kembali reruntuhan bangunan sejarah. Kita masih berziarah di atas dunia ini dengan memikul salib kasih-Nya.
Maka rasa syukur harus menerbitkan harapan baru untuk terus berziarah sepanjang zaman. Tidak pernah boleh berhenti bersuara,apalagi pensiun tentang realitas dunia. Setia hadir di hati dunia seperti Dia yang setia memikul salib saat kita tidak lagi berdaya. Sebuah ziarah dari orang-orang yang berpengharapan.
Berkas pikiran itu merupakan ungkapan dari Santo Arnodus Janssen dalam khotbah pada 8 September 1875. Saya mengutip beberapa penggalan yang sangat relevan dalam nada syukur hari ini dan aktual dalam konteks zaman yang terus bergulir.
Nukilan khotbah itu terdokumentasi dalam buku “Arnold Janssen Hidup dan Karya” buah pena Josef Alt SVD yang terbit di Roma 1999. Edisi bahasa Indonesia diterjemahkan oleh beberapa anggota SVD yang pernah studi di luar negeri dalam sebuah buku sangat tebal dengan editor Pater Alex Beding SVD.
Buku itu bertindihan dan berimpitan dengan ribuan buku tertumpuk di Oring Literasi Lembata yang sedang memulai langkah perdana.
“Entah dari permulaan ini akan terjadi sesuatu, hanya Allah yang mengetahuinya. Kamu berharap semoga dari awal yang sederhana ini bertumbuh sesuatu yang baik. Kami tidak bersedih karena permulaan pohon yang raksasa pun pada awalnya hanya sebuah benih yang kecil dan raksasa pun pada awalnya seorang bayi yang lemah dan merintih.
Yang kami tahu ialah bahwa dengan kekuatan yang kami miliki hingga kini, kami tidak dapat menunaikan tugas kami namun kami berharap, kiranya Allah yang Mahabaik akan memberi kepada kami segala sesuatu yang diperlukan.
Jikalau dari rumah ini akan terjadi sesuatu, maka kami akan berterima kasih untuk rahmat Allah ini dan jikalau tidak terjadi apa-apa, maka dengan rendah hati kami mau menepuk dada dan mengakui bahwa kami tidak layak bagi rahmat ini” (Josef Alt SVD, Arnold Janssen Hidup dan Karyanya, Roma 1999. Hlm 119).
Ziarah penuh pengharapan di tengah dunia selama rentang waktu 150 tahun merupakan bukti tak terbantahkan atas kasih Tuhan yang menakjubkan.
Bagi orang Flores, Lembata, Timor dan Nusa Tenggara Timur, nama besar SVD itu identik dengan Percetakan Arnoldus, Penerbit Nusa Indah, Toko Buku Nusa Indah, beberapa majalah Surat Kabar Mingguan (SKM) DIAN, Surat Kabar Harian Umum Flores Pos, bengkel besi, bengkel kayu.
Serikat Sabda Allah dikenal dengan kekhasan spiritualitas komunikasi melalui media-media dan buku. Tentu ada banyak alasan bahwa kini semua aset itu tinggal kenangan. Mungkin lebih benderang kita sebut barang-barang yang sudah almarhum itu sekadar mengingatkan kesadaran kita. Tidak bermaksud untuk menyinggung atau menyenggol perasaan.
Majalah Bintang Timoer terbit pertama kali di Ende, Flores, NTT pada 1925. Majalah ini memberitakan pokok-pokok keagamaan, masalah-masalah pertanian, pendidikan, keluarga, berita-berita daerah dan internasional.
Majalah ini dicetak di Percetakan Kanisius Yogyakarta. Pater B. Fries SVD memimpin majalah ini selama lima tahun lalu diserahkan kepada Pater Frans Cornelissen SVD. Ukuran 19 X 26,5 cm, tebal 16 halaman. Pada 1962 Percetakan Arnoldus milik SVD berdiri di Ende tapi Bintang Timoer baru dicetak di Arnoldus pada tahun 1928.
Dwimingguan Bentara terbit 1 Juni 1948 dipimpin Pater Adrianus Conterius SVD, yang pernah menjadi anggota parlemen Negara Indonesia Timur (NIT) yang kemudian menjadi Kepala Dewan Pemerintahan Daerah.
Tirasnya mencapai 3.300 eksemplar dengan ukuran 25 x 32 cm, tebal 18 halaman, bergambar, tanpa kulit. Menggunakan Bahasa Indonesia. Karena dipimpin seorang politikus, Bentara kerap mengulas soal-soal politik.
Alasan kesibukan, maka posisi Pater Conterius digantikan oleh Pater Markus Malar SVD pada 1 Juni 1954. Setahun berikutnya, Pater Nic Lalong Bakok, seorang pastor asal Belanda yang nama aslinya Nick Van Der Molen mengambilalih pengelolaan koran ini.
Setelah itu, Bentara dipimpin orang luar gereja yakni A. F. Ladapase dan Frans Tan dari Yayasan Syurakarma, lembaga yang antara lain membangun sekolah Katolik terkenal di Ende: SMUK Syuradikara. Majalah ini gulung tikar tahun 1959 karena terbelit masalah keuangan.
Selain Bentara, pada tahun yang sama juga terbit Anak Bentara, sebuah majalah anak-anak yang dipimpin oleh Pater G. Kramer SVD bersama siswa-siswa Seminari Mataloko, Flores.
Tirasnya pernah mencapai angka 35.000 eksemplar. Ukurannya 21 x 14,8 cm dengan tebal 16 halaman dan dihiasi dengan gambar-gambar. Majalah anak-anak ini akhirnya tutup tahun 1961.
Penyebabnya sama dengan penyebab matinya Bintang Timur dan Bentara, yaitu piutang (uang yang tidak tertagih di tangan pelanggan). Pelanggan suka membaca tapi enggan membayar.
Sejak saat itu, kerasulan di bidang media vakum selama 15 tahun. Tahun 1970-an SVD mulai memikirkan lagi kemungkinan menerbitkan majalah.
Pada 24 Oktober 1974, SVD menerbitkan dua majalah sekaligus. Untuk pembaca dewasa, terbit dua mingguan Dian, sedangkan untuk pembaca anak-anak dan remaja terbit majalah Kunang-Kunang. Dian berukuran 30 x 22 cm, tebal 16 halaman, bergambar. Dian berarti penerang atau lampu kecil dengan bahan bakar minyak.
Kata “Dian” mengungkapkan konotasi pada tujuan yang terkandung dalam kata itu yaitu menerangi, mencerahkan, mencahayai.
Pada era 1970 itu boleh dikata Dian mampu memenuhi kebutuhan pembaca di NTT, bukan hanya di Flores. Memasuki era 1980, edisi dua mingguan ini dinilai tidak memadai lagi.
Maka sejak 1987 Dian berubah dari majalah dua mingguan menjadi surat kabar mingguan. Formatnya pun diubah, dari format majalah menjadi tabloid. Surat Kabar Mingguan Dian beredar luas di NTT hingga era 1990.
Serikat Sabda Allah kemudian mendirikan HU Flores Pos pada 9 September 1999. Format tabloid dan terbit enam kali dalam sepekan. Moto: dari nusa bunga untuk nusantara.
Koran ini selama belasan tahun menjadi alat perjuangan rakyat Flores menghadapi gempuran kekuatan dahsyat berdaya rusak luar biasa yaitu tambang dan kasus-kasus korupsi.
Penolakan Korem Flores di Maumere dan penolakan tambang di Flores dan Lembata menjadi tonggak perlawanan yang terekam dalam sejarah. Tapi seperti media-media sebelumnya, Flores Pos akhirnya ditutup oleh pimpinan SVD periode itu. Nama-nama mereka akan abadi dalam sejarah peradaban.
Mungkin suatu waktu, entah kapan, ada orang yang memiliki uang lebih lalu mengabadikan semua “barang” yang telah menjadi arwah itu dalam sebuah monumen dan dipahatkan kata-kata ini pada prasastinya: Di sini pernah hidup Bintang Timoer, Bentara, Anak Bentara, DIAN dan Flores Pos.
Mungkin itu pemaknaan dari kata-kata Arnold Janssen dalam kotbah awal berdirinya SVD: …Jikalau tidak terjadi apa-apa, maka dengan rendah hati kami mau menepuk dada dan mengakui bahwa kami tidak layak bagi rahmat ini.”
Hari ini, momen 150 tahun berdirinya SVD menjadi saat pesta, makan, minum dan bersenang-senang sesaat. Tidak salah, sepanjang kita masih punya dana untuk membiayai senang-senang itu.
Arnold Janssen dan generasi awal SVD juga berekreasi sekadar melepas penat. Tapi setelah itu kita kembali medan laga karya misi dan ruang pengabdian kemanusiaan. Kekhasan kita adalah bersuara, berkomunikasi dengan partner misi: umat sederhana dan alam lingkungan yang kini terancam keutuhan dan keberlanjutannya.
Di Lembata, umat di Atadei, khususnya Watuwawer dan Waiwejak mengalami ancaman kehancuran lingkungan. Adakah suara yang datang dari anggota SVD yang tinggal dan bekerja di tanah Lembata?
Apakah ada waktu, barang sejenak bagi anggota SVD yang berkaya di tanah Lembata untuk turun ke tengah umat dan mendengarkan jerit kegelisahan hati mereka?
Memang, Arnold Janssen bilang yang pertama adalah doa. Tapi pernahkah kita tahu atau mendengarkan suara peringatan bahwa yang kita hadapi adalah monster kejahatan yang luar biasa?
Monster ini juga mungkin saja rajin doa (seperti kita?), mungkin juga donatur (bagi kita?) atau bisa jadi “sahabat” para kaisar: mau nyaman dalam kekuasaan, tidak mau berkonflik atas nama kebenaran, tetap jaga relasi baik.
Pokoknya membangun kesan sopan dan baik karena katanya dekat dengan Tuhan. Semuanya baik, asal itu menenangkan hati nurani menuju Golgotha yang membahagiakan!
Maka, kita mesti omong dengan terbuka: doa tidak cukup. Doa mesti menggerakkan kita untuk terlibat dan melibatkan diri dalam ranah advokasi. Bahasa yang lebih ekaristik: mempersembahkan diri.
Lebih spesifik: memecah-mecahkan diri. Ada buku sangat baik dan indah yang ditulis Uskup Paul Budi SVD Kleden: Teologi Terlibat, Politik & Budaya dalam Terang Teologi (Ledalero, 2003).
Buku ini sangat baik kalau dibaca oleh anggota SVD yang tinggal di daerah konflik Geothermal: Lembata, Ende, Nagekeo, Mataloko (Ngada) dan Manggarai supaya lebih banyak (lagi) berdoa dan tidak berhenti pada “Tuhan Sertamu.”
Tapi tergerak untuk mengamunisi diri dengan pengetahuan dan keberanian untuk berdialog dengan rakyat jelata yang sedang gelisah dan ketakutan.
Dialog sebagai jalan salib kehidupan. Selamat ulang tahun SVD ke-150. Teruslah bersuara, entah baik atau tidak baik waktunya (2Tim 4:2).
“Yang kami tahu ialah bahwa dengan kekuatan yang kami miliki hingga kini, kami tidak dapat menunaikan tugas kami namun kami berharap, kiranya Allah yang Mahabaik akan memberi kepada kami segala sesuatu yang diperlukan” kata Arnold Janssen pada 8 September tahun 1875.
Salam persaudaraan dalam kelimpahan kasih-Nya! *
Penulis, Jurnalis, Pendiri Oring Literasi Lembata