Tinjauan Yuridis atas Polemik Sampah Medis Milik RSUD TC Hillers Maumere

redaksi - Jumat, 10 Januari 2025 21:56
Tinjauan Yuridis atas Polemik Sampah Medis Milik RSUD TC Hillers MaumereKepulan asap hitam dari cerobong mesin pembakar sampah medis RSUD TC Hillers, Maumere (sumber: Silvia)

Oleh : RD. Emanuel Natalis, S.Fil., S.H., M.H*. 

Beberapa hari ini berita seputaran Kabupaten Sikka bertemakan polemik sampah medis 

 RSUD TC Hiilers Maumere. Disinyalir pihak RSUD TC Hillers Maumere tidak melakukan tata kelola yang baik terhadap  sampah medis  yang dihasilkannya, serta diduga pula telah membuat laporan palsu ke Direktur Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Jakarta. 

Hal mana, dikarenakan proses pembakaran tumpukan sampah medis yang tidak prosedural, telah menghasilkan kepulan asap hitam yang mengganggu pernapasan warga yang bermukim di sekitarnya.

Salah seorang warga, Rudi Lameng, menyatakan : “Laporan ibu direktur RSUD TC Hillers bahwa selama proses pembakaran asap yang dihasilkan itu berwarna putih, itu omong kosong. Itu laporan palsu,” (www.Floresku.com : “Diduga RSUD TC Hillers Bikin Laporan Palsu Ke Kemenkes”). 

Pernyataan bernada kekesalan ini sebenarnya dapat menjadi titik masuk terkait upaya-upaya hukum, dalam menangani polemik terkait tata kelola sampah medis milik RSUD TC Hillers. 

Di sini, upaya hukum yang akan ditempuh diharapkan mampu membuat polemik ini menjadi terang dan sekaligus dapat menuntut pertanggung jawaban dari pihak terkait, sekiranya ada prosedural yang dilangkahi atau tidak ditempuh.

SAMPAH MEDIS : HARUS DIAPAKAN ?

Sampah medis tentu bukan sembarang sampah. Sampah medis berbeda dari sampah pada umumnya, seperti sampah rumah tangga. 

Karenanya, tata kelolah penanganangan terhadap sampah medis pun tentu berbeda. Sampah medis berasal dari alat dan obat medis yang dibuang karena tidak terpakai, yang berasal dari fasilitas pelayanan kesehatan, seperti Rumah Sakit ataupun Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas), termasuk klinik dan balai pengobatan. 

Sampah medis ini harus dikelola dengan baik agar tidak tercemar dan mengancam bahaya bagi masyarakat sekitar. Dalam konteks ini, setiap lembaga kesehatan dimaksud berkewajiban menyediakan fasilitas pemillahan sampah, yang di Indonesia, diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Rumah Tangga (baca: PP 81/2012). 

Berdasarkan PP 81/2012, setiap pengelola melakukan tahapan tindakan seperti pemilahan sampah, pengumpulan sampah, dan pengelolahan sampah.  

Kegiatan pemilahan sampah, pengumpulan sampah, dan pengolahan sampah, termasuk sampah medis tersebut merupakan bagian dari penyelenggaraan pengelolaan sampah.

Mengingat juga ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (baca: PP 18/1999). 

Dalam PP 18/1999 tersebut sudah terdapat standar baku, dimana setiap rumah sakit harus memiliki tempat pengelolaan limbah, sedangkan klinik dan praktik tidak boleh membuang limbah medis di sembarang tempat.

 Dengan kata lain, di satu sisi setiap rumah sakit wajib memiliki tempah pengelolaan limbah, untuk menangani sampah medis yang ada. 

Agar sampah medis tersebut ditangani secara baik, tanpa harus dibakar seperti membakar sampah pada umumnya. Di sisi lain, setiap klinik dan tempat praktik, dilarang membuang sampah medis secara serampangan. 

Pelanggaran terhadap ketentuan di atas, tentu saja memiliki dampak hukum, yang mendatangkan sanksi bagi pelakunya.

SANKSI ADMINISTRATIF DAN SANKSI PIDANA ?

Peraturan hukum di Indonesia secara tegas memberikan sanksi pidana bagi para pelaku kesehatan yang tidak menjalankan prosedural pengelolaan sampah medis, yaitu Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah (baca: UU Pengelolaan Sampah) dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (baca: UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup). 

Dalam Pasal 40 ayat (1) UU Pengelolaan Sampah terdapat ketentuan sanksi pidana kepada mereka yang tidak melakukan kegiatan pengelolaan sampah sesuai norma, standar, prosedur, atau kriteria sehingga mengakibatkan gangguan kesehatan masyarakat, gangguan keamanan, pencemaran lingkungan, dan/atau perusakan lingkungan. 

Di situ, para pelakunya, dapat dipidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 10 tahun dan denda antara Rp100 juta hingga Rp5 miliar.

 Selanjutnya, berdasarkan Pasal 60 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, maka para pelaku dumping/pembuangan tanpa izin, yakni setiap orang yang melakukan dumping/pembuangan limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin, dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp3 miliar.

Dalam yurispudensi di Indonesia, dapat diketengahkan Putusan Pengadilan Negeri Langsa Nomor 163/Pid.B/2013/PN-Lgs. Putusan ini menyidangkan kasus penanganan limbah medis oleh RSUD Langsa. 

Dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan bahwa pihak RSUD Langsa tidak melakukan pengelolaan limbah medis dengan baik. Yang dilakukan oleh RSUD Langsa justru dengan menumpukkan limbah medis ke tempat pembuangan sampah (TPS) yang terdapat di samping RSUD Langsa, tanpa terlebih dahulu memisahkannya. 

Bahkan membiarkan sampah medis tersebut selama berhari-hari sambil menunggu kedatangan petugas Dinas Kebersihan Kota Langsa, untuk mengangkutnya. 

Karena terbukti melakukan tindak pidana berdasarkan Pasal 104 UU PPLH tentang dumping limbah medis, maka majelis hakim pun menjatuhkan putusan, yaitu menyatakan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana pidana “Melakukan Dumping Limbah dan/atau Bahan ke Media Lingkungan Hidup, tanpa izin“ dan menghukum terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan dan pidana denda sebesar Rp1 juta.

Akan tetapi, mengingat sanksi pidana adalah ultimum remedium, yakni sanksi pemuncak yang terakhir, jika sanksi-sanksi dan tahapan hukum lainnya sudah dijalankan, maka yang pertama-tama harus dilakukan, dalam konteks polemik penanganan sampah medis RSUD TC Hillers, adalah membuat pengaduan kepada Ombudsman di Kupang. 

Ombudsman sebagai lembaga negara yang bertugas untuk mengawasi penyelenggaraan pelayanan publik, dapat diundang untuk melihat dan menilai seberapa jauh dan seberapa bagus kualitas pelayanan publik dari RSUD TC Hillers, khususnya dalam tata kelolah sampah medis. 

Dari situ, barulah dapat diperoleh rekomendasi perbaikan kepada penyelenggara pelayanan pubilk, yakni RSUD TC Hillers dalam hal penanganan sampah medis. 

Jika tahapan rekomendasi dari Ombudsman ini, tidak ditindaklanjuti oleh pihak RSUD TC Hillers, maka Bupati Kabupaten Sikka, sebagai pimpinan wilayah dapat memberikan sanksi administrasi kepada pimpinan RSUD TC Hillers, serta semua mereka yang bertanggung jawab atas pengelolaan sampah medis milik RSUD TC Hillers.

PENUTUP 
Kesehatan masyarakat dan hak hidup sehat merupakan bagian hak asasi manusia. Pasal 25 Deklarasi Hak Asasi Manusia (DUHAM) menyebutkan bahwa setiap orang berhak atas taraf kehidupan yang memadai untuk kesehatan, kesejahteraan dirinya sendiri dan keluarganya. Hal mna ditandaskan lagi dalam Pasal 28 H UUD 1945. 

Kesemuanya itu merujuk pada ideal manusia Indonesia yang berkembang secara utuh sebagai manusia yang bermartabat. 

Tentu saja, manusia Indonesia ini adalah juga termasuk manusia Indonesia di Kabupaten Sikka, terkhusus mereka yang tinggal bertetangga dengan RSUD TC Hillers. 

Sebagaimana dilantangkan oleh Rudi Lameng : “sebab kami dan anak cucu kami punya hak hidup sehat.”

*Penulis adalah rohaniwan Katolik di Ende, dan dosen di Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Santa Ursula – Ende)
 

 

 

Editor: redaksi

RELATED NEWS