Zakharias Ze, Verhoeven, dan Homo Floresiensis: Jejak 'Flores Human' di Antara Sains dan Kisah Pribumi
redaksi - Jumat, 11 Juli 2025 14:57
Oleh: Maxi Ali P.
PADA tahun 2003, dunia ilmu pengetahuan diguncang oleh temuan kerangka kecil berjuluk Homo floresiensis di Liang Bua, Flores.
Dengan tinggi sekitar satu meter dan volume otak setara simpanse, makhluk ini dijuluki “The Hobbit” dan dianggap sebagai spesies hominin baru.
Namun jauh sebelum itu, seorang misionaris Katolik asal Belanda, Pater Theodor Verhoeven SVD, telah membuka jalan bagi penemuan tersebut. Ia bukan sekadar pewarta Injil, tetapi juga arkeolog gigih yang menggali sejarah prasejarah Flores pada 1950-an dan 60-an.
Namun kisah ini bukan hanya tentang tulang belulang dan klasifikasi biologis. Di dalamnya terjalin benang merah antara sains, identitas budaya, dan narasi personal.
Salah satu tokoh sentral yang menghubungkan semua itu adalah seorang imam pribumi Flores bernama Pater Zakharias Ze, SVD.
Dalam artikel ilmiah "Verhoeven’s Living Negritos and the Story of Zakharias Ze: A Prehistory of Homo floresiensis" (Gregory Forth, 2022), hubungan antara Verhoeven, Zakharias Ze, dan temuan paleoantropologis di Flores dibedah secara kritis, membuka wacana tentang siapa sebenarnya yang layak disebut “Flores Human” ( Bld: Floresmens).
Verhoeven dan Warisan Sainsnya
Pater Theodor Verhoeven adalah seorang misionaris Serikat Sabda Allah (SVD) yang ditugaskan di Flores pasca-Perang Dunia II. Tahun 1949, Verhoeven ditempatkan di Seminari Todabelu, Mataloko.
Namun alih-alih hanya menjalankan tugas gerejawi, ia menjadikan tanah Flores sebagai laboratorium lapangan untuk penelitian paleoantropologi. Ia menggali situs-situs gua, mendokumentasikan fosil stegodon (gajah purba), serta mengumpulkan artefak litik yang ia yakini berasal dari masa Pleistosen Tengah.
Salah satu penemuan penting Verhoeven adalah kerangka manusia bertubuh kecil dari situs Toge. Tahun 1954, ditemukan rangka manusia dengan jenis kelaminperempuan berumur antara 30-AO tahun di Liang Toge.
Rangka ini berperawakan mungil, tinggi hanya 148 cm dengan ciri ras Australomelanesid berumur 3000-4000 tahun yang lalu (Jacob, 1967).
Selain itu Verhoeven menginformasikan adanya temuan-temuan serpih bilah, pisau kecil, serut kulit kerang dan perhiasan dari kulit mutiara. Tercatat bahwa teknologi alatnya masih belum maju.Selain itu ditemukan pula tulang hewan seperti tikus raksasa, kelelawar,kera, landak, dan babi (Heekeren, 1972:140-147).
Setelah delapan tahun di Mataloko, Verhoeven dipanggil kembali ke Belanda oleh SVD pada tahun 1957 untuk mendapatkan pengakuan negara (dan dengan demikian pendanaan negara) sebagai guru yang berkualifikasi untuk Rumah Misi St. Willibrord(us), yang sekarang berlokasi di Deurne.
Selama liburan musim panas, Verhoeven pertama kali pergi ke Prancis dan Spanyol untuk mempelajari gua-gua prasejarah, kemudian menjadi wakil kepala sekolah dan pengajar bahasa klasik di St. Willibrord selama setahun.
Selama liburan musim panas tahun 1958, ia pergi ke Jerman untuk menghadiri konferensi prasejarah dan berpartisipasi dalam penggalian di Salzofenhöhle, sebuah gua arkeologi penting di Styria, Austria.
Melalui India, tempat ia menggali di Adamgarh bersama Pastor Stephen Fuchs dari Austria, ia kembali ke Ende, Flores pada tahun 1959. Sejak tahun 1963, ia menjadi profesor Patrologi di Sekolah Tinggi Filsdat dan Teologi Katolik Ledalero, dan menjadi pembina para frater di Seminari Tinggi Ritapiret. Sementara tu melanjutkan penelitian prasejarahnya.
Dalam publikasi tahun 1958, Verhoeven menyebut kerangka itu sebagai bukti bahwa manusia bertubuh kecil (dwarf) hidup di Flores jauh lebih lama dari perkiraan sebelumnya.
Temuan ini menjadi rujukan penting dalam diskusi tentang evolusi hominin di Asia Tenggara, bahkan dikaitkan dengan apa yang kemudian disebut sebagai fenomena insular dwarfism, yaitu penyusutan ukuran tubuh akibat tekanan seleksi di lingkungan pulau.
Walau sebagian besar karyanya diterbitkan dalam bahasa Jerman dan hanya dikenal dalam lingkaran kecil, Verhoeven kini diakui sebagai perintis dalam memahami jejak manusia purba di Nusa Tenggara.
Tanpa kerja lapangannya, temuan Homo floresiensis barangkali tidak akan terjadi secepat itu.
Gert Knepper, dalam biografi Floresmens (2021), bahkan menyebut Verhoeven sebagai “Flores human”—bukan semata karena penemuannya, tetapi karena dedikasinya hidup bersama dan untuk masyarakat Flores.
Zakharias Ze dan Interpretasi ‘Negrito’
Dalam pencarian manusia Flores purba, Verhoeven juga menyimpan sebuah pengamatan yang tak kalah menggugah.
Ia pernah menyatakan bahwa satu-satunya individu yang ia kenal secara pribadi yang cocok dengan morfologi kerangka Toge adalah seorang imam Katolik pribumi: Pater Zakharias Ze.
Zakharias Ze adalah imam Keo pertama dan tokoh lokal yang disegani dalam komunitas Katolik Flores. Ia dikenal karena ketekunan pastoral, kesederhanaan, dan komitmen terhadap budaya lokal.
Namun dalam catatan pribadi Verhoeven—yang dikutip oleh antropolog Clark Cunningham dan Pater Jósef Glinka—Zakharias dikategorikan sebagai “negrito hidup.”
Istilah ini, meskipun kini dianggap bermasalah dan usang secara antropologis, kala itu digunakan untuk merujuk pada kelompok etnis bertubuh kecil dengan ciri morfologis tertentu, terutama di Asia Tenggara dan Pasifik.
Bagi Verhoeven, Zakharias—dengan tubuh pendek, rambut keriting, dan fitur wajah khas—merupakan perwujudan nyata dari tipe manusia yang ia pelajari lewat kerangka Toge.
Tanpa bermaksud merendahkan, pengamatan Verhoeven ini sesungguhnya mencerminkan betapa tipisnya batas antara pendekatan ilmiah dan stereotip kolonial dalam wacana antropologi zaman itu.
Namun yang menarik, menurut Gregory Forth, jika tidak ada pengamatan Verhoeven terhadap Zakharias Ze, maka diskusi tentang korelasi antara data fosil dan populasi hidup di Flores akan jauh lebih sempit.
Pater Ze sendiri, meskipun tidak pernah mendiskusikan secara terbuka pandangan Verhoeven terhadap dirinya, telah menjadi semacam legenda di kalangan umat Katolik Flores.
Ia dikenang bukan karena atribut biologisnya, melainkan karena keberaniannya menjadi imam pertama dari suku Keo, integritas rohaninya, dan keteguhan mengangkat nilai budaya lokal ke dalam terang Injil.
Homo floresiensis: "Posthumous Verhoevenian Pithecanthropus"?
Sebagian besar ahli kini sepakat bahwa Homo floresiensis merupakan spesies tersendiri dalam genus Homo. Namun, kontroversi masih berlangsung.
Beberapa peneliti bahkan mempertanyakan apakah makhluk dengan otak sekecil simpanse bisa dianggap “manusia” dalam pengertian penuh.
Dalam bukunya, Mike Morwood (salah satu arkeolog utama penemu Homo floresiensis) memilih tetap menyebutnya sebagai “human”, dalam pengertian eksistensial dan perilaku simbolik.
Verhoeven, dalam tradisi Eropa kontinental, menggunakan istilah “Floresmenschen” atau “manusia Flores” untuk merujuk pada seluruh hominin yang ia teliti.
Hal ini menunjukkan bahwa baginya, baik Homo erectus, Toge, maupun Zakharias, semua adalah bagian dari narasi yang sama: narasi tentang manusia Flores.
Gregory Forth menambahkan bahwa jika Homo floresiensis adalah versi “posthumous Verhoevenian Pithecanthropus” (manusia kera ala Verhoeven yang ditemukan setelah wafatnya), maka Zakharias Ze adalah bentuk hidup dari gagasan itu. Ia menjadi jembatan antara fosil dan manusia modern, antara masa lampau biologis dan masa kini spiritual.
Dekolonisasi Narasi Ilmiah
Poin penting dari artikel Forth adalah refleksi kritis atas bagaimana narasi ilmiah dibentuk, dan siapa yang diberi otoritas untuk mewakili identitas manusia.
Klasifikasi seperti “negrito” adalah warisan kolonial yang semestinya ditinjau ulang. Dalam banyak kasus, istilah ini lebih banyak mencerminkan persepsi luar terhadap penduduk lokal daripada realitas biologis mereka.
Namun, alih-alih menolak sepenuhnya, Forth menawarkan pendekatan yang lebih kompleks. Ia melihat bahwa pemaknaan terhadap sosok seperti Zakharias Ze tidak harus direduksi menjadi label biologis.
Sebaliknya, kisah Ze adalah bukti bahwa manusia Flores bukan sekadar objek penelitian, melainkan subjek sejarah yang hidup, beriman, dan memiliki suara.
Dalam konteks ini, Zakharias Ze bukan “spesimen,” tetapi manusia utuh—imam, pemimpin, pewarta.
Bahwa ia pernah dikaitkan dengan kerangka purba bukanlah alasan untuk merendahkannya, melainkan undangan untuk mempertanyakan batas antara yang ilmiah dan yang manusiawi.
Flores Human: Sebuah Konsep yang Hidup
Jadi siapa sebenarnya “Flores Human”? Adakah gelar itu milik Verhoeven, sang misionaris-belanda yang menggali gua dan menemukan jejak prasejarah?
Ataukah Homo floresiensis, si Hobbit yang mengundang decak kagum sekaligus kebingungan? Atau mungkin Zakharias Ze, imam kecil dari Keo yang menjembatani mitos dan iman, arkeologi dan inkulturasi?
Mungkin jawabannya adalah: ketiganya. Mereka semua bagian dari narasi panjang tentang kehadiran manusia di pulau kecil di timur Indonesia ini. Verhoeven mewakili semangat ilmiah dan ketekunan eksplorasi.
Homo floresiensis mewakili misteri asal-usul dan kemampuan adaptasi. Zakharias Ze mewakili integrasi iman, budaya, dan martabat manusia lokal.
Pada akhirnya, kisah ini mengajak kita untuk melihat bahwa manusia—Flores human—bukanlah kategori tetap, melainkan perjalanan panjang antara tanah dan roh, antara asal dan tujuan. Dan dalam perjalanan itu, baik tulang maupun jiwa, mitos maupun iman, semuanya berharga.
Catatan Penutup:
Artikel ini merujuk pada publikasi Gregory Forth tahun 2022, “Verhoeven’s Living Negritos and the Story of Zakharias Ze”, serta karya dan kesaksian tokoh-tokoh misi dan antropologi di Flores.
Dalam upaya menghubungkan sains dengan kisah manusia nyata, kita diingatkan bahwa sejarah bukan hanya milik para peneliti, tetapi juga mereka yang hidup, percaya, dan mewariskan kisahnya.
Referensi:
Forth, G. (2022). Verhoeven’s Living Negritos and the Story of Zakharias Ze: A Prehistory of Homo floresiensis. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, 178(2–3), 225–251. doi:10.1163/22134379-bja10042.