Seri 1 – Flores dalam Pusaran Perang Pasifik: Badai yang Datang Diam-diam
redaksi - Selasa, 12 Agustus 2025 21:20
MENJELANG HUT ke-80 Kemerdekaan RI, bangsa Indonesia, termasuk warga Flores, perlu menjadikan masa pahit pendudukan Jepang sebagai refleksi, bukan untuk menumbuhkan dendam, melainkan kesadaran sejarah, empati, dan kewaspadaan. Kisah romusha, jugun ianfu, penyiksaan tawanan perang, pembatasan kebebasan, dan penderitaan rakyat sipil adalah pengingat betapa rapuhnya kemanusiaan saat kuasa disalahgunakan.
Dari sejarah itu, kita belajar bahwa kemerdekaan harus diisi dengan menjaga martabat manusia, menghormati hak asasi, dan membela yang lemah—agar kekejaman serupa tak terulang, baik di negeri sendiri maupun terhadap bangsa lain.
Kedatangan yang Membawa Janji
Pagi, 12 Februari 1942, ombak di pelabuhan Reo terlihat lebih ramai dari biasanya. Bukan oleh perahu layar nelayan, melainkan oleh kapal-kapal besar yang lambungnya bercat abu, bendera merah bergambar lingkaran matahari berkibar di tiang.
Tentara Kekaisaran Jepang mendarat dengan disiplin militer: seragam hijau, sepatu bot tinggi, senapan terhunus.
Bagi sebagian warga, kedatangan itu terasa seperti pergantian pemerintahan biasa. Orang Belanda yang selama ini berkuasa pergi terburu-buru, dan Jepang datang dengan slogan manis: “Gerakan 3A – Jepang Pemimpin Asia, Jepang Pelindung Asia, Jepang Cahaya Asia.”
Dalam buku I Remember Flores, Tasuku Sato mencatat bahwa pada bulan-bulan awal pendudukan, tentara Jepang membagikan gula, kain, bahkan memutar film bisu di beberapa kota. Semua itu seolah menjadi wajah ramah yang ingin merebut simpati rakyat.
Namun, di balik senyum dan hadiah, tersimpan bayang-bayang kerasnya pendudukan. Masa manis itu hanyalah jeda singkat—seperti ombak pasang yang tenang sebelum badai menerjang—sebelum aturan ketat, kerja paksa, dan penderitaan menghantui kehidupan sehari-hari di Flores. Harapan yang sempat tumbuh, perlahan layu di bawah bayang perang.
Beberapa bulan setelah pendaratan, wajah pendudukan berubah. Jepang mulai mengatur pangan dengan ketat, memaksa petani menjual padi dan jagung dengan harga rendah, lalu mengirimkannya untuk kebutuhan perang.
Kebijakan romusha diterapkan: laki-laki muda dipaksa bekerja tanpa upah membangun jalan, saluran irigasi, bunker, pelabuhan, dan lapangan terbang.
Di Flores, titik-titik kerja paksa tersebar di Reo, Ende, Mbay, hingga Maumere.
Salah satu titik kerja paksa yang tak banyak dikenal orang, adalah pembangunan saluran irigasi di dataran Nangamboa, dari aliran sungai di Dia Titu membujur sepanjang sekitar 1 km ke arah Kampung Nangamboa 3 sekarang.
Bekas galian sedalam tiga meter dengan lebar sekitar lima meter itu, sekarang menjadi saksi bisu dari salah satu proyek Jepang yang menguras tenaga rakyat, tanpa balasan apa pun.
Catatan misionaris Katolik di buku Sejarah Gereja Katolik Indonesia mengungkap, di Ende saja ratusan romusha dipaksa mengangkut batu di bawah terik matahari, banyak yang jatuh sakit atau mati kelelahan.
Dan yang paling gelap: eksploitasi perempuan. Kisah Siti Fatimah, seorang perempuan Subang, Jawa Barat, dimuat dalam buku Yuki Tanaka: Japan’s Comfort Women: Sexual Slavery and Prostitution During World War II and the U.S. Occupation (21 Desember 2021).
Ia dijemput dari rumahnya pada malam hari, dengan rayuan hendak dikirm bekerja ke Jepang. Tapi, bersama ratusan gadis muda lainnya ia dibawa ke Flores dan dijebloskan sebuah rumah panggung di pinggir kota, dan dipaksa melayani tentara Jepang.
Hari-hari berikutnya , hingga akhirnya dipindahkan ke Pulau Buru, Fatimah menjadi penjara tanpa dinding; tubuhnya adalah medan perang yang tak ia pilih.
Fatima jarang bicara tentang luka itu—bahkan setelah perang usai—tetapi sorot matanya menyimpan kisah yang lebih berat dari kata-kata. Di balik senyum tipisnya, tersimpan trauma yang mengendap, tak pernah benar-benar pergi, meski Jepang telah lama angkat kaki dari Nusa Nipa, dan kemerdekaan Indonesia sudah mencapai 80 tahun usianya.
Cerita seperti jarang dibicarakan di kampung-kampung, tapi bisik-bisiknya masih terdengar hingga kini. Sebuah fakta yang tak terbantahkan: selain menelan jiwa warga sipil, para serdadu perang selalu menjadikan tubuh wanita sebagai targetnya..
Nusa Nipa dalam Peta Perang Pasifik
Mengapa Jepang begitu peduli pada Flores? Jawabannya ada pada peta militer.
Bagi Tokyo, Flores adalah “pintu masuk” dan “tembok pertahanan” ke Australia. Jalur laut dari Sulawesi menuju Timor dan Nusa Tenggara melewati sini. Dengan menguasai pelabuhan dan membangun lapangan terbang di pulau ini, Jepang bisa mengontrol rute pasokan sekaligus memantau pergerakan Sekutu.
Itulah sebabnya, selain pos di Reo dan Ende, Jepang membangun bunker pertahanan di pinggiran Mbay, memperkuat pelabuhan Marapokot, dan merintis lapangan terbang darurat yang disebut Surabaya II di dataran Tonggurambang.
Sisa-sisa bunker itu masih bisa ditemukan, meski kini dikerumuni alang-alang, dan landasan pacu, kini jadi arena pacuan kuda.
Gereja di Bawah Tekanan
Pendudukan Jepang membawa dampak langsung bagi Gereja Katolik di Flores, yang saat itu sangat erat dengan misionaris Belanda dan Jerman.
Ketika Jepang mulai mencurigai semua warga negara Barat sebagai “mata-mata musuh”, banyak pastor, bruder, dan suster Eropa diinternir. Mereka dikirim ke kamp tahanan di Makassar atau Parepare. Arsip Keuskupan Agung Ende mencatat, jumlah imam asing yang tersisa di Flores berkurang drastis dalam hitungan bulan.
Namun, Jepang tidak menutup gereja. Sebaliknya, mereka mengirim beberapa imam dan misionaris Katolik asal Jepang untuk “mengisi kekosongan” dan mengawasi umat. Salah satu yang terkenal adalah Mgr. Joseph Yamaguchi, yang sempat menjabat sebagai administrator apostolik di Larantuka.
Dalam catatan Tasuku Sato, seorang perwira Jepang yang simpatik pada misionaris, hubungan ini tidak selalu tegang. Beberapa imam Jepang bahkan membantu menyelamatkan warga dari kerja paksa atau memberi perlindungan bagi anak-anak yatim. Tetapi, mereka tetap bekerja di bawah bayang pedang Nippon—setiap gerak diawasi militer.
Hari-Hari dalam Bayangan
Bagi penduduk lokal, kehidupan di bawah Jepang adalah campuran rasa takut dan penyesuaian.
- Di pasar, transaksi diatur ketat; banyak barang kebutuhan disita.
- Di rumah, orang belajar bicara pelan-pelan; mengeluh soal Jepang bisa berakibat ditangkap.
- Di ladang, hasil panen diangkut truk tentara, kadang tanpa kompensasi.
Namun, di sela-sela penindasan, ada juga bentuk perlawanan diam-diam:
- Beberapa petani menyembunyikan hasil panen di lubang tanah.
- Nelayan memalsukan jumlah tangkapan agar bisa memberi makan tetangga.
- Umat gereja memanfaatkan misa untuk bertukar kabar dan menyelundupkan surat.
Menuju Hari-Hari Terakhir
Memasuki 1944, situasi Jepang di Pasifik mulai goyah. Sekutu merebut Filipina dan mendorong pasukan Jepang mundur ke selatan. Flores mulai mendapat serangan udara dan laut secara berkala.
- https://floresku.com/read/motang-rua-panglima-gerilya-dari-manggarai-yang-mengguncang-kolonial-belanda
Pos-pos Jepang di Mbay, Maumere, dan Ende menjadi target. Setiap kali pesawat Sekutu muncul, sirene darurat meraung, warga lari ke parit atau gua alami.
Pendudukan Jepang yang awalnya “ramah” berubah menjadi lebih keras. Mereka takut akan pengkhianatan, memperketat penjagaan, dan menghukum berat siapa pun yang dicurigai memberi informasi kepada Sekutu.
Tidak ada yang tahu pasti kapan perang akan berakhir. Tapi setiap orang tahu bahwa badai yang lebih besar sedang mendekat, tak ada yang bisa mencegahnya. (Map)*** (Bersambung)