Trikotomi Analisis Semiotik Puisi Fritz Meko SVD, 'Berkaca pada Bening Darah Merah'

redaksi - Minggu, 21 Juli 2024 10:04
Trikotomi Analisis Semiotik Puisi Fritz Meko SVD, 'Berkaca pada Bening Darah Merah' Narudin Pituin (kiri) Fritz Meko SVD (kanan) (sumber: Facebook.com/WAG Ledalero 1984)

Oleh Narudin Pituin

Trikotomi Analisis Semiotik merupakan alternatif kajian semiotik yang dahulu pernah disingggung oleh Morris, Zoest, Zaimar, lalu Sumiyadi. 

Dibanding kajian Strukturalisme-Semiotik Pradopo, Trikotomi Analisis Semiotik lebih detail sebab membahas tata kata (sintaksis), tata makna (semantik) dan tata komunikasi (pragmatik). Teori panjang lebar terdapat dalam buku Narudin berjudul Sintesemiotik: Teori dan Praktik (2023).

Puisi karya Fritz Meko SVD “Berkaca pada Bening Darah Merah” ini akan dibahas dengan Trikotomi Analisis Semiotik yang dipermudah agar publik mendapat manfaat dan memahaminya.

Puisi di bawah ini merupakan gejala lama dari Filsafat Neo-Platonisme yang mengatakan hubungan Tuhan dan manusia ibarat matahari dan cahayanya. 

Para sufi ekstrem seperti Hallaj, Ibnu Arabi, dan Jenar pun tak lepas dari bayang-bayang Filsafat Neo-Platonisme itu.

Bahkan Chairil Anwar pernah terkesima dengan darah yang mengucur dari papan silang yang ia sebut orang itu “Isa”. 

Agar efektif, bacalah terlebih dahulu satu puisi utuh di bawah ini.

BERKACA PADA BENING DARAH MERAH

Kadang saya kira, Aku bukanlah Engkau. Padahal Engkau adalah aku yang lain, yang ada di depanku. Aku memang tidak mirip dengan Engkau, bahkan tidak seragam dan kongruen dalam latar belakang apapun. Tetapi sangat pasti, Engkau berdarah “merah” seperti Aku. 

Aku dan Engkau “bersatu” dalam warna darah yang merah. Persatuan kita dalam darah yang merah menunjukkan bahwa, kita dijadikan oleh SANG PENCIPTA yang SAMA. 

Walau jalan kita menuju DIA, berbeda dalam bingkai iman, namun perbedaaan itu tidak serta-merta mengubah darah kita menjadi seperti warna pelangi. Kita berbeda dalam jalan iman, tetapi BERSATU karena punya warna darah yang sama: MERAH. 

Jika Aku membenci dan memusuhi Engkau berarti aku “mengotori” darah merah kita menjadi seperti air comberan yang busuk. 

Pada akhirnya, Aku dan Engkau sama sekali tidak punya hak untuk saling membenci dan bermusuhan, karena kita berdua adalah SAUDARA KANDUNG dalam darah merah yang sama. 

Saya sungguh MENCINTAIMU dan sangat mengharapkan agar Engkau pun MENCINTAI AKU. Dalam CINTA yang TULUS, kita akan berkaca pada BENING DARAH MERAH yang sama, dan lalu sadar bahwa KITA adalah CIPTAAN yang dibentuk dengan DAYA CINTA ILAHI. **

_______

Surabaya 20 Juli 2024

Fritz Meko

Bait 1 sampai bait 6 diikat dengan kata “darah”, secara sintaksis, darah pada bait 1 hingga bait 6 itu berfungsi sebagai objek yang menjadi pokok bahasan.

Secara semantik, kata “darah” pada bait 1 menandakan darah engkau dan aku sama, merah.

Pada bait 2, “darah” sama menandakan diciptakan oleh Pencipta yang sama.

Pada bait 3, “darah” itulah yang membuat bersatu secara ragawi.

Pada bait 4, “darah” tak boleh dikotori dengan benci dan sikap permusuhan.

Pada bait 5, “darah” sebagai pengikat saudara kandung yang sama darahnya, merah.

Pada bait 6, “darah” harus membuat orang saling mencintai dengan tulus.

Secara semantik, ternyata tak bisa dipisahkan relasi makna antarbait sebab menurut Hills juga Alton C. Morris, puisi ialah keseluruhan dari bagian yang bersifat organis, tidak mekanis. Maka, makna puisi ini harus dilihat secara utuh.

Darah yang mengalahkan atau mengatasi iman persis seperti ajaran Sosiolog Auguste Comte yang berkata “cintai manusia saja”, selebihnya tak ada.

Dalam pandangan eksistensialis-Kristianitas Fritz Meko, Svd, Tuhan harus bertubuh, berdarah, layaknya manusia biasa. Kesan antropomorfis ini dihindari oleh para penyair sufi non-panteistik.

Hingga Goenawan Mohamad berkata dalam salah satu bukunya, “Tuhan menjadi relatif karena menjadi manusia.” Kerelatifan Tuhan tentu akan disangkal sebab kemutlakan Tuhan sirna.

Secara pragmatik, dari bait 1 hingga bait 6 terdapat sekian dikotomi keilahian dan keinsanan yang bercampur baur dan tampak ditundukkan oleh logos “darah” yang membuat yang transenden sungguh-sungguh menjadi imanen.

Sampai derajat pembicaran ini, puisi ini menandakan secara semiotik pergulatan keyakinan penyairnya yang masih berkecamuk dalam tenunan kata-kata yang tampak dimesra-mesrakan. 

***

Dawpilar, 20 Juli 2024

RELATED NEWS