Antara “Kampanye Presiden” dan Doa Raja Salomo (sekadar satu sinyalir)

Jumat, 02 Februari 2024 19:26 WIB

Penulis:redaksi

Editor:MAR

Kons bbe.png
Pater Kons Beo SVD (Dokpri)

 

Orang yang pintar memecahkan masalah. Orang bijak menghindarinya”

(Albert Einstein, Fisikawan – Jerman, 1879 – 1955)

P. Kons Beo, SVD

Apakah ini nyata kunker atau blusukan? Atau hanya bayang-bayang kampanye? Atau bisa juga sebaliknya: Ini jelas-jelas kampanye! Dan itu mesti dijaring dalam bayangan kunker. Entahlah mana sebenarnya yang jadi ‘pokok’? Dan mana kah yang sekedar sisipan? 

Tetapi, pada kenyataannya Jokowi (Presiden) semakin menjadi-jadi tinggalkan Ibu Kota dan Istana untuk sekian banyak kunjungan ke daerah. Hal ini ada baiknya ditangkap sebagai peristiwa biasa-biasa saja. Toh, Jokowi sebagai Presiden memang berkebiasaan lakukan kunker ke daerah. Bukanlah ‘hal baru atau dibuat-buat.’ 

Di sisi lain, tak terelaklah tafsiran-tafsiran lain segera mencuat. Dan itu beraroma politik dan berbau kepentingan. Fakta yang sudah tak terhindarkan. Di Tahun Politik, di hari-hari jelang Pilpres ini, publik jadi semakin sensitif akan isu politik.

Naiknya Gibran sebagai cawapres kubu 02 jelas punya imbas ‘segalanya pada Jokowi sebagai ayahnya.’ Dan karena itulah sorot mata tajam publik terarah pada Jokowi dan segala pergerakannya. Jokowi kini sepertinya diduga jadi ‘simbol keretakan bangsa.’ Sebab?

Ada kubu yang tetap menyanjungnya sebagai Presiden rakyat. Yang tetap setia pada opsi keberpihakan demi rakyat dalam berbagai kunjungan ini. Apalagi dengan sekian banyak tumpukan bansos, yang mesti ditampakkan sebagai andalan dalam setiap kunjungan.

Namun, tak sedikit suara publik yang memberondong Jokowi. Ini bukan kunjungan seorang Presiden, tetapi hanya gerakan Jokowi sebagai ayah Gibran. Ini sebenarnya kunjungan dengan motif awal yang lebar demi rakyat, tetapi  ia berujung mengerucut demi ‘putra mahkota’,’ si Gibran.

Tentu terasa sulit untuk pastikan apa sebenarnya motif di balik ‘lalu lalangnya Presiden (Jokowi) ini.’ Toh, di dalam hatinya sendiri yang terdalam ‘hanya Pak Jokowi dan Ibu Iriana  yang tahu pasti.’ Publik hanya terkepung dan terblokir sebatas tafsiran demi tafsiran.  Iya, hanya dalam sinyalir demi sinyalir.

Dan tentu, di dalam gemuruh hujan lebat suara publik ada yang ujung-ujungnya segera ‘lari berlindung’ di bawah payung ketentuan Undang-Undang. Jika demikian, maka di situ dipastikan ada kejelasannya. Dan kesimpulan padatnya: “Dibenarkan dan tidak dibenarkan oleh UU dengan sekian banyak ketentuan pasal dan ayat-ayatnya.”

Jika boleh ditafsir sekadarnya, ini sepertinya bukan sebatasnya ‘ketentuan UU di dalam keharusan dan tidak seharusnya.’ Tetapi,  terhadap Jokowi, entah sebagai Presiden atau sebagai ayah dari Gibran, yakinlah seluruh tumpah Indonesia berciri ‘tak mati rasa.’  

Di hadapan ketentuan UU yang terang benderang penuh kejelasan, tetap ada juga ‘cita rasa etis.’ Rasanya bagaimana ya jika (masih) sebagai Presiden, Jokowi disinyalir telah tunjukan tanda-tanda keberpihakan demi Gibran. Lalu siapakah sebenarnya pihak-pihak lain yang jadi pesaing Gibran?

Di manakah ‘wajah seluruh rakyat Indonesia mesti disembunyikan sekiranya hanyalah demi Gibran, Jokowi mesti sekian sibuk? Dan tak kenal lelah? Apa yang diperlihatkan Jokowi pada belakangan ini nampaknya kurang elok begitu, sehebat apapun kata-kata klarifikasi yang terdengar dari istana. 

Ternyata, kearifan sikap bukanlah satu perkara gampangan. Bahwa demi ‘kemungkinan buruk yang amatlah riskan, Jokowi mesti 

berjuang untuk ‘jauh dari gebyar panggung politik Pilpres demi Gibran.’

Mari kita bayangkan saja bahwa Jokowi sekiranya ada dalam pergolakan batin yang tak mudah. Dia Presiden yang sungguh mencintai Rakyat. Dan demi kepentingan bangsa, diharapkan sang putra dan Prabowo sebagai capres, dapat lanjutkan semua mimpi yang belum jadi nyata. Iya, demi Indonesia Raya.

Namun, ‘logika batin dan rasa’ seperti ini tentu tak menyapa hati masyarakat secara luas. Pilpres itu pesta demokrasi yang jelas-jelas rawan framegtaris. Kita yang ‘terpecah-pecah ini’ harus memilih seorang pemimpin yang pada saatnya mampu mempersatukan dalam warna kebhinekaan.

Akhirnya, jadinya seperti terenung dari apa yang ditangkap dari kebesaran jiwa Raja Salomon. Dalam  catatan sejarah (Alkitab), Raja ketiga Israel itu dalam satu mimpi dapatkan tawaran istimewa dari Tuhan, “Mintalah apa yang hendak Kuberikan kepadamu” (1Raj 3:5).

Dan yang diminta Raja Salomo dari Tuhan sekian jelas, “Maka berikanlah kepada hambaMu ini hati yang paham untuk menimbang perkara untuk menghakimi (memimpin) umatMu dengan dapat membedakan antara yang baik dan yang jahat, sebab siapakah yang sanggup menghakimi (memimpin) umatMu yang sangat besar ini?” (1Raj 3:9).

Tuhan tersentuh pada permintaan Raja Salomo yang ‘tak minta umur panjang, kekayaan, atau nyawa (kekalahan) lawan ata musuh. Tetapi hanyalah kearifan sebagai raja untuk memutuskan hukum demi kedamaian seluruh Israel’ (cf 1Raj 3:11).

Disinyalir, Presiden Jokowi, yang kini telah dan lagi gencar ‘bersafari demi Gibran,’ sebenarnya lagi menyayat luka baru di atas luka lama MK yang belumlah total tersembuhkan. Yang telah  ‘membiarkan palu MK diketuk Paman Usman demi Gibran.’ Entahlah…. Publik seperti tak peduli akan ketentuan UU yang berlaku.

Apa dan bagaimana kepastian untuk semuanya? Untuk Jokowi, jawabnya ada ‘di relung hati ini…’ Sebab bagi Indonesia Raya, itu tadi, semuanya  hanyalah sebatas ‘sinyalir demi sinyalir.’ Tafsiran demi tafsiran….’ 

Bagaimana pun, intensi harapan semesta Indonesia pasti tetaplah yang sama, “Bapa-bapa kami yang ada di istana, tetap bersinarlah nama kalian; tetapi janganlah masukan seluruh tumpah darah negeri ini ke dalam pencobaan, tetapi bebaskanlah semuanya dari segala kemungkinan yang tak berarah....?”

 

Verbo Dei Amorem Spiranti.