Paskah
Kamis, 30 November 2023 13:54 WIB
Penulis:redaksi
P. Kons Beo, SVD
“Di suatu tempat, kita tahu bahwa tanpa keheningan, kata-kata kehilangan maknanya, bahwa tanpa mendengarkan, berbicara tidak lagi menyembuhkan, bahwa tanpa jarak, kedekatan tidak dapat menyembuhkan”
(Henri Nouwen, 1932 – 1996)
Hiruk pikuk kata bersuara
Semuanya nampak semangat ‘bicara.’ Suara-suara dalam kata ditembakkan. Entah apa sebenarnya sasaran di balik itu? Sepertinya ada perang kata-kata bersuara. Siapa mau dengarkan siapa? Itulah yang sering terjadi.
Terkadang pula ruang percakapan tak ubah bagai satu arena kompetisi pencitraan. Ini bukan pada soal ketrampilan atau tentang seni bicara entah siapakah yang terindah penuh pikat dan terutama berisi dalam orasi. Bukan itu. Yang tejadi bahwa masing-masing ingin tunjukan bahwa dialah yang punya pengetahuan ‘lebih dan luas.’
Ada lagi yang tak mau ‘mengalah.’ Dan lalu litaniakan sejumlah pengalaman yang harus diketahui oleh siapapun pendengar. Maka, di sini, bicara yang dimeterai ad intentionem pencitraan diri memang tak terhindar. Sebab di situ orang butuh pengakuan akan pengetahuan dan pengalaman.
Inflasi kata dan bicara vs ‘ruang kosong’
Terkadang ungkapkan kata dalam bicara nampak teramat semangat. Namun itu tak berawal dari sebuah sikap ‘mendengarkan yang utuh dan lengkap.’ Sering terjadi, “Konselor terlalu bersegera memecahkan masalah.” Itu pun yang terjadi dengan siapapun yang getol sekali memberi nasihat. Entah duduk persoalan seperti apa persisnya sebenarnya ia sendiri belumlah paham.
Tidak kah ‘kaum yang bikin diri sendiri terkesan saleh’ tergoda berat untuk tumpahkan segala pengalaman ‘awan gemawannya’? Jika mesti realistis, sebenarnya yang terjadi adalah ketidakpedulian pada yang mendengarkan. Sharing rohani yang semestinya dialogal berubah total dalam alur monologal. Sebab ‘kaum saleh’ itu sudah merasa diri sebagai ‘kaum sakral,’ pun bahkan telah jadi ‘agen surga’ di dunia fana ini. Lalu, apa sebenarnya yang terjadi sebagai akibat?
Sebuah ‘ruang kosong’ belumlah tercipta. Iya, sama sekali tak dibangun alam ‘ramah ungkapan kata hati, apa adanya dan sejujur-tulusnya. Padahal, kata sibijak, mesti dikreasi sebuah ‘ruang kosong.’ “Menciptakan tempat seperti itu berarti memberi waktu, dukungan dan dorongan, membiarkan orang lain bertanya… membiarkan mereka mengenali pertanyaan mereka.”
Kita butuh spasi mendengarkan
Dan lagi, di alam ‘ruang kosong’ itu, tak sekedar ada ungkapan kata-kata datar yang terdengar lembut, tetapi tumpahan rasa kesal dan bahkan amarah gemuruh mesti terdengar jelas. Di situlah, disinyalir, tak bolehlah segera ada arahan, nasihat saleh, petunjuk pasti yang siap pakai sebagai jawaban atas semuanya. Tidak kah sesama mesti ‘jujur dan seadanya’ di dalam kata dan rasa hatinya?
Katanya, seturut salah satu dari indikasi kecerdasan spiritual (SQ), satu yang terbaik adalah “Lebih banyaklah bertanya apa sebab (mengapa) ketimbang menyatakan dan memastikan tentang orang lain atau tentang sesuatu.”
Belum apa-apa, namun sudah pastikan!
Mari ambil satu pengandaian sekadarnya: Melihat anak tetangga sedikit bermuram wajah tak berseri, mayoritas dalam kelompok telah pastikan apa yang telah terjadi! Tanpa kejelasan dari mana kepastian itu berawal dan dibangun. Selalu ada tendensi bikin rumor, gejolak nan heboh tanpa telaah sebab musababnya. Tetapi?
Yang sebenarnya terjadi adalah bahwa mayoritas kelompok itu telah ciptakan jaraknya sendiri dari si anak tetangga itu. Dan semuanya lalu sekian keasyikan untuk saling menyesatkan dengan fantasi dan pengandaian liarnya sendiri. Tidak kah di sini sebenarnya ‘suatu ruang kosong telah diabaikan dan tak diciptakan?’ Lalu kita pastikan ‘seenaknya’ mengenai anak tetangga itu.
Dan menjadi repotnya lagi, jika sekiranya fantasi dan pengandaian itu miliki kiblati ke isi dan lintasan negatif. Teori konspirasi dalam psikologi sosial isyaratkan bahwa “bias negavitas mengacu pada fakta bahwa kita menunjukkan sensivitas yang lebih besar pada informasi negatif daripada informasi positif” (Komaruddin Hidayat & Khoiruddin Bashori, 2016).
Lebih tertarik pada ‘titik-titik hitam’
Bahkan dikatakan, “Manakala peristiwa baik dan peristiwa buruk terjadi pada diri kita pada hari sama, kita cenderung akan bereaksi lebih kuat terhadap peristiwa buruk dari pada peristiwa baik, bahkan jika kedua peristiwa itu memiliki nilai yang sebanding.” Dan memang seperti itulah yang nyata di keseharian. Ingatan kita lebih terpikat pada hal-hal suram ketimbang hal-hal yang membesarkan hati dan memberi harapan.
Itulah sebabnya dapat dimengerti bahwa kelompok-kelompok khusus, apalagi bila dibalut ketat oleh lingkaran dan tautan etnosentrisme atau kepentingan sepihak, akan berlama-lama gunakan waktu dan kesempatan untuk memanfaatkan sebaik mungkin apa yang dianggapnya ‘kurang, lemah, bejatnya’ dari group lawan atau kelompok tandingan. Tentu demi proganda dan kampanye publik degradatif yang menggelikan dan bahkan menjijikan untuk memberangus yang dianggap lawan.
Masih dari telaah Komaruddin dan Khoiruddin, “Sekitar 80% perbincangan di dunia kerja lebih banyak berisi komentar kritis, sebab sebagian besar orang lebih memperhatikan hal yang belum berjalan dengan baik daripada hal yang sudah berjalan dengan baik.”
Tak usahlah bercitra di atas kekelaman lama
Banyak ‘(calon) pemimpin penerus’ atau ‘pengganti’ sepertinya kelewat sensitif, walau terkadang dipaksa, untuk membelalak pada ‘apa-apa’ yang dirasa belum, apalagi dianggap gagal dari pendahulunya. Rasanya terlalu sulit untuk melihat atau menyadari bahwa ada pula hal-hal baik yang mesti dilanjutkan. Itulah yang dalam psikologi sosial diyakini bahwa orang lebih sentimental oleh isu-isu atau stimulus beraroma negatif.
Kita kehilangan dan ketiadaan momentum teduh dan hening untuk ‘mengamati, menimbang, dan lalu mesti memutuskan secara bijak dalam titik-titik pandangan yang lebih luas dan menyeluruh. Ini berdampak dalam memandang sesuatu dalam ‘kebenaran.’ Mari kita melebar pada sepotong kebenaran.
Claiming kebenaran nan rapuh
Yang disebut kebenaran disinyalir telah ditumbangkan dari takhtanya. Sebab soal ‘kebenaran’ adalah soal arus deras claiming. Bukan pada fakta. Yang diklaiming oleh yang mayoritas, yang lebih heboh dan beringas dalam aksi dan gertaknya, itulah ‘yang benar’ dan ‘wajib benar dan harus diakui kebenarannya.’ Apalagi jika semuanya digaransi oleh instrumen kekerasan sebagai hukuman atau bahkan atas nama Yang Maha Kuasa. Dan ada hal lain lagi….
Betapa kita terlampau didera kejaran waktu yang sungguh menyibukkan. Kita terjebak dalam ‘ketergesaan’ sehingga “kita tidak punya waktu untuk melihat satu sama lain atau sesuatu dengan tepat.” Dan itu pun yang terjadi pada telinga yang sungguh kebisingan. Yang kehilangan keteduhan untuk menangkap dan menyimak kata-kata yang disuarakan.
Telinga yang telah terbeli?
Sebab itulah, sering terjadi bahwa dalam apa yang disebut ‘dialog’ atau diskusi demi kumpas tuntas gagasan tidak berujung pada kedaulatan ratio untuk sungguh memahami. Kampanye, propaganda, suara-suara keras dari panggung atau mimbar hanyalah upaya demi penaklukan telinga. Kuping yang mesti dijauhkan dari segala alam keteduhannya.
Akibat dari semuanya adalah gugurnya kesadaran terdalam bahwa caci maki, penyesatan, hoaks, pembunuhan karakter, atau kampanye miring dan hitam lagi berkerayapan. Sebab itulah sepasang kuping tak boleh dibiarkan seolah telah ‘terbeli dan dikuasai’ agar yang krusial-prinsipil-fundamental dibikin terdengar fakultatif dan alternatif semata.
Tidak kah joget gembira ‘demokrasi’ dipertontonkan, namun yang sebenarnya itulah jelas-jelas aksi pengangkangan demokrasi yang menggelikan? Semesta Nusantara benar-benar tak boleh terhipnotis oleh kata-kata, oleh dagelan penuh sandiwara politik yang justru sungguh meludahi marwah demokrasi itu sendiri.
Lectio Divina Politik, mungkinkah?
Sebenarnya yang telah terjadi adalah ‘kampanye’ yang belum dibikin kasat mata dan jelas terang menderang. Dan sepertinya, di hari-hari tersisa ini, ada bagusnya kita mengundurkan diri. Demi menyaring semua yang telah singgah di telinga. Iya, sepantasnya kita ‘tarik diri’ dari segala hingar bingar pekik kata-kata bersuara jika memang tak berkehendak bahwa telinga jadi pekak.
Dan, mungkinkah ‘lectio divina politik’ dapat dikaroseri? Mungkinkah alam negeri, Sabang hingga Merauke, bisa masuk dalam membaca-mendengar, bermeditasi, berdoa, dan berkontemplasi atas segala riak-riak politik yang berkecamuk?
Akhirnya...
Mari tinggalkan dulu area panggung kampanye. Yang sumpek dengan kata-kata bersuara penuh pikat namun bisa menjebak. Janganlah pula berlama-lama menatap ke baliho-baliho berjejer. Pada wajah-wajah senyum penuh misteri. Yang lampaui misteri lukisan senyum Monalisa itu. Berhijrahlah dulu ke tempat hening demi membatinkan segala gemuruh politik yang tengah terjadi.
Ini semua tentu punya tujuan mulia. Agar semuanya tiba pada discernment politik yang tak kebablasan, melainkan bermuara pada penentuan yang benar, bijak dan seharusnya! Semuanya demi Hiduplah Indonesia Raya...
Verbo Dei Amorem Spiranti
Collegio San Pietro - Roma