Sion
Kamis, 13 Juli 2023 10:56 WIB
Penulis:redaksi
Editor:redaksi
“Jatuh bangunnya negeri ini, sangat tergantung dari bangsa ini sendiri. Makin pudar kesatuan dan kepedulian, Indonesia hanya sekedar nama dan gambar seuntaian pulau di peta”
(Mohammad Hatta, Wakil Presiden Indonesia pertama, 1902 – 1980)
P. Kons Beo, SVD
Rasa Hati Penuh Gusar
Sepertinya nada kalimat Paulus, dalam Alkitab, berisi teguran serius. Surat Paulus kepada jemaat Korintus, yang dikemas dalam 1 Kor 1:10 – 17, diberi judul “Perpecahan Dalam Jemaat.” Visi Jemaat Korintus Bersatu iman dalam Yesus, yang dibangun oleh Paulus, alami tantangan yang tak enteng. Perpecahan jemaat jadi kenyataan tak terelakan.
Kata-kata Paulus jelas, “Yang aku maksudkan ialah, bahwa kamu masing-masing berkata: Aku dari golongan Paulus. Atau aku dari golongan Apolos. Atau aku dari golongan Kefas. Atau aku dari golongan Kristus. Adakah Kristus terbagi-bagi?” (1Kor 1:12-13a).
Kita bayangkan saja satu masyarakat, komunitas yang mesti dibangun atas dasar spirit bersama. Namun di saat yang sama mesti sensitif pada varian latar belakangnya. Latar yang majemuk. Itulah kenyataan tak terelakan.
Namun, yang berlatar Yahudi dan semua non Yahudi, seperti Yunani, misalnya, mesti satu berpadu sebagai ‘masyarakat dan bangsa baru.’ Itu yang diperjuangkan Paulus, murid Yesus dari Tarus itu.
‘Masyarakat dan bangsa baru’ nyatanya alami retak-retak. Saling baku gigit tak terhindarkan. Yang beraroma Yahudi merasa ‘elitis dan superior’ atas etnis-latar lainnya.
Varian etnis lainnya pun tak kalah gertak untuk mengklaim kehebatannya. Tak mau dikorbankan dan diperlakukan sebagai ‘sisipan’ atau sebatas ‘pelengkap’ seadanya dari masyarakat baru itu.
Perahu retak kebersamaan
Retak penuh goyahnya ‘bangsa baru’ itu pun dimodali oleh masing-masing kelompok yang merasa punya kartu As negatif tentang kelompok lainnya.
Setiap kelompok ingin hidup, cari untung dan mengejar kepentingannya sendiri dengan memanfaatkan kelemahan dan ketidakhebatan kelompok lainnya.
Ini pun yang jadi kegalauan hati Paulus, jika orang hanya berkutak-katik demi kepentingan sendiri dan mencari-cari popularitas serta pencitraan abal-abal (cf Filipi 2:3-4).
Tak perlu modal positif atau kekuatan plus yang mesti dipunyai. Katanya, “Jika ingin eksis dan bersinar, maka gali saja dan bikinlah heboh tentang kekurangan serta kelemahan dari kelompok atau pribadi lain.”
Itu mungkin sudah cukup. Itulah muatan roda kebersamaan yang terus berputar, dan tetap dimainkan! Bagaimana pun justru di sinilah virus kerusakan yang membusukkan alam kebersamaan yang terus diternak dan ditradisikan dalam kelompok, dan itu selalu berisiko.
Spirit Kebangsaan di titik nadir?
Dalam teropong ‘jemaat di Korintus’ mari kita bidik spirit kebangsaan Tumpah Darah Indonesia. Konstruksi kebangsaan yang digagas dan diperjuangkan oleh para ‘pendiri bangsa’ kiranya mesti dibedah serius.
Narasi dan spirit kebangsaan yang benar dan jelas, sebagaimana dimaksudkan mesti dimaknai secara benar dan jelas pula. Tentu dalam dalam konteks situasi zaman yang semakin berkembang dan berubah.
Di jelang perhelatan agenda politik, semisal Pilpres, Pileg atau Pilgub, Pilkada, Pilwalkot atau hingga Pilkades, kita jadi riuh gemuruh dan terasa begitu rentan dalam keretakan. Apakah sebenarnya yang hendak diperjuangkan?
Kita tentu tak mau kehilangan spirit kebangsaan, rasa kekeluargaan dan jiwa penuh perdamaian oleh, misalnya, konten-konten naratif yang sungguh berbumbu kebencian. Samudra pelayaran bolehlah gelora bergelombang, tetapi perahu kebangsaan ini tak boleh retak apalagi patah kemudi.
Tetapi nampaknya bangsa kita tak pernah kenyang dan puas untuk bersilangan dalam terror, penyesatan, dan strategi-tindak saling melumpuhkan. Partai yang satu punya informasi tentang kekurangan dan bahayanya partai yang lain, dan lalu menggilasnya sejadi-jadinya.
Tentu, semuanya tak berarti bahwa, semua partai atau para calon pemimpin bangsa, hingga di tingkat daerah, semuanya ‘baik-baik adanya serta suci lahir dan di dalam batin.’
Edukasi spirit kebangsaan memang sepantasnya dibentangkan dalam komunikasi, dialog, wawancara hingga pada diskusi yang terdengar ‘penuh ketegangan.’
Yang terjadi dan terendus akhir-akhir ini adalah luka-luka tubuh kebangsaaan yang siap atau sudah menganga. Apa yang digagas, didiskusikan dan diputuskan di ruang legislatif (DPR-DPRD) diorientasikan pada kepentingan publik tumpah darah Indonesia.
Itu pun yang terjadi di arena birokrat-eksekutif, saat para pemimpin bangsa dan daerah serta semua jalur birokrasinya bertarung demi kemajuan Bangsa dan sekuruh Tumpah Darah Indonesia.
Bagaimanapun, nada-nada miris penuh sumbang kini terdengar riuh. Apa yang digadang-gadang sebagai kader-kader terbaik dari partai di gedung legislatif atau di birokrasi kepemerintahan tak semuanya berbakti tulus demi nusa dan bangsa.
Negeri yang terkhianati – bangsa yang tersayat?
Ada pandangan penuh sinis bahkan sakarstik, katanya, “Nampaknya segelintir yang bertugas di Senayan dan gedung Kementerian sudah terjebak dan terantai dalam salah kaprah semangat merantau for a better life demi Partai, demi kelompok atau bahkan demi diri sendiri. Melebar jauh dari demi kepentingan yang lebih luas.”
Ada kecemasan yang semakin lebar merayap. Pelan-pelan kita kehilangan kesempatan untuk ‘mengagumi dan menikmati kemajuan hidup bersama.’ Sebab diarea publik kita dijejali oleh padatnya lalulintas ‘dakwaan atas masalah serta perjuangan klarifikasinya di sana-sini.’
Pro-Kontra kini deras bagai arus mengalir. Pro-Kontra berbentur frontal dalam arena atau ruang publik. Sepertinya kita sudah kehilangan sekian banyak tokoh hebat untuk ulurkan tangan demi selamatkan negeri ini, sebab kita kini lagi bertarung untuk mencuci tangannya sendiri sejadi-jadinya. “Aku tak bersalah atas kisruhnya negeri tercinta…” Bagaimanapun semuanya mesti bersabar hingga menderang semuanya.
Tetap jadi negeri penuh impian dan bangsa penuh harapan..
Mari kita pulang ke spirit kebangsaan yang kokoh dan tegar. Yang wajib tetap bersinar, iya itulah Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Indonesia sebagai bangsa sulit terpikirkan di luar gagasan dan fondamen kunci ini. Wawasan kebangsaan yang sehat tentu tak boleh dibikin ‘sakit dan lumpuh’ oleh perbagai ilham, konsep atau tesis-tesis liar yang mengerucut ekslusif hanya demi sekelompok dan segolongan, sambil ‘mengasingkan dan memperkusi yang lainnya.’
Karena itulah, edukasi dan internalisasi nilai kebangsaan mesti dibangun demi gelora animo “Bagimu Negeri Jiwa Raga Kami.”
‘Saudara sebangsa dan setanah air’ sepantasnya tetap jadi sapaan holistik kebangsaan. Yang merangkul dan merangkum dalam keanekaan yang sungguh memperkaya. Bangsa dan negeri tercinta ini tetap miliki harapan.
Akhirnya…
Mari kembali lagi ke alam Korintus tempoe doeloe. Paulus, rasul bangsa-bangsa itu, ingatkan orang-orang Korintus, demi teguh membangun kebersamaan dan persatuan.
Seruannya, “Tetapi aku menasihatkan kamu, saudara-saudara, demi nama Tuhan kita Yesus Kristus, supaya kamu setia sekata dan jangan ada perpecahan di antara kamu, tetapi sebaliknya supaya kamu erat bersatu dan sehati sepikir” (1 Korintus 1:10).
Verbo Dei Amorem Spiranti. ***