Pasar
Sabtu, 06 Maret 2021 20:36 WIB
Penulis:Redaksi
Oleh: P. Kons Beo, SVD*
Saudara/i terkasih dalam Tuhan Yesus Kristus….
Pada ‘Bible Corner’ kali ini, berkenaan dengan Hari Prapaskah III, saya mengajak saudara/i sekalian untuk merenungkan Injil Yohanes 2:13-25. Sebagaimana sudah disebutkan di atas, judul untuk sharing kita kali ini adalah “Nolìte Fàcere Domum Patris Mei, Domum Negotiatiònis” Dalam bahasa Indonesia: " Jangan kamu membuat rumah Bapa-Ku menjadi tempat berjualan".
Modal Nekat
Ini namanya nekat sembarang! Bayangkan, dalam Bait Suci, ya dalam Rumah Tuhan ternyata ada pasar! Ada tawar-menawar barang dan jasa. Ada pertemuan ‘malas tau’ antara pembeli dan penjual. Bisnis dalam Bait Allah, dalam kemegahan sakral Yerusalem itu, libatkan para juragan binatang: lembu, kambing dan domba serta pedagang merpati! Tak hanya itu. Ada pula para penukar uang. Duduk ramai di situ. Dapat dibayangkan betapa hingar bingarnya isi Bait Allah itu.
Ya, untuk berbinis, katanya, perlu modal nekat dulu. Tentu ini bertolak pula dari peluang dan feeling pasar. Juga berangkat dari modal di tangan. Proyeksi bisnis yang dipetakan akhirnya bermuara pada neraca debet-kredit, dan berdampak positif pada laba yang diperoleh. Demi keuntungan, animo jual-beli tidak mau ambil pusing soal tempatnya. Maka, itu tadi, orang-orang Yahudi tetap nekad, atau sudah biasa berjualan di seputar atau dalam Bait Allah.
Tetapi arena pasar Bait Allah juga punya service kultis. Tak sekedar lembu demi suburnya ladang pertanian. Domba, merpati dan tekukur itu wajib hukumnya sebagai hewan korban (cf Luk 2:24). Para pedagang punya jasa sungguh agar aura batin religius dan sakral jemaat terjaga.
Altar vs Pasar?
Selalu ada hubungan antara pasar dan altar. Bila dunia pasar mewakili keseharian, maka altar dan mimbar Sabda sepatutnya menjadi daya dorong, spirit dan motivasi. Keseharian yang paten bertolak dari tanggapan yang serius dari alam Bait Allah. Terkadang ada senggolan tipis-tipis. Karena dunia jual-beli (pasar, duit) sering terdengar dominan di mimbar Sabda. Belum lagi bila diperluas dalam pengumuman lanjutnya.
Campur aduk altar dan pasar sering buat tak tenang di hati. Ambil saja satu contoh. Pastor memang sudah yakin, ketika misa komuni pertama, orangtua bisa juga tak aman di hati. Nampak serius mau dampingi sang anak, tetapi tetap juga kepikiran tentang hidangan bagi para tamu: apa lauknya cukup nanti? Dan apakah moke bakar menyala tu pas??? Tetapi, ini tidak berarti bahwa para pastor sebaliknya semuanya bebas murni dari aura pasar (duit). Seorang konfrater bruder pernah tembak-tembak kata, “Kamu para imam tu kalo misa, lirik ‘amplop tipis’ rentang tangan waktu prefasi tu pake ukur-ukur. Tapi kalo ‘amplop tebal’ rentang tangan na looos ngeri.” Saya terima dengan lapang dada sebagai corretio fraterna plus alarm yang sehat dari seorang saudara yang tulus lurus. Bukankah Rasul Paulus pun pernah ingatkan Timoteus, “Karena akar segala kejahatan adalah cinta akan uang. Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka” (1Tim 6:10)?
Tetapi dalam Bait Suci selalu ada hati tulus untuk berbagi dan memberi. Persekutuan umat beriman (Gereja) tak hanya dibentuk secara mistik dalam Sabda dan Sakramen. Kita diikat pula oleh apa yang dihayati oleh para murid komunitas perdana sebagai ‘sehati-sejiwa’ (cf Kis 4:32-37). Membangun kebersamaan dalam sikap dan tindak solider.
Hati Yang Bebas
Suasana huru-hara ‘pasar-Bait Allah’ memang harus ditertibkan. Yesus mesti membuat cambuk untuk merapikan tata kelola gerak keseharian dan tata alur batin kita. Agar keseharian kita diserap sungguh oleh kerohanian yang benar. Pun agar kesalehan altar tak jadi sekian gelap terhadap kenyataan hidup dalam keseharian! ‘Altarisme’ tanpa peduli pada arena pasar adalah satu kerohanian yang ilutif. Demikian pun kesibukan non-stop tanpa peduli altar-mimbar adalah kekosongan dan kekeringan daya hidup yang meletihkan!
Aneka sibuk bisa mendera siapa saja. Tetapi siapapun selalu terpanggil untuk bersikap arif. Ini dimaksudkan agar segala sibuk itu tidaklah menjadi berhala-berhala yang mengecoh. Banyak sisi kehidupan ini sudah diterkam dan terserap oleh rupa-rupa kisah sukses yang menghasilkan. Berbau keuntungan, beraroma bisnis serta aneka negosiasi sana-sini. Dan kita maklum, “negotium” (latin) berarti “tidak senggang”. Kata itu, dalam konteks Yunani dan Romawi tempoe doeloe selalu merujuk pada bisnis, kesibukan, serta segala perkerjaan.
Kiranya, manusia perlu bebas juga dari negotium. Menciptakan zona hijau pada dimensi interior keseharian. Berjuang untuk memiliki juga istirahat-sabat dalam Tuhan. Harus tenangkan alur batin demi jalan pikiran dan dunia rasa (emosi) yang sehat. Beranilah untuk sesaat tinggalkan alam pasar. Demi bersua dengan Tuhan yang kita imani dan sembah dalam Yesus sebagai satu keutamaan tak terbantahkan.
Teringatlah pula kita akan jawaban Emeritus saat Prokonsul di Afrika Utara, di tahun 304, mendesaknya agar tak membiarkan orang-orang untuk masuk rumahnya demi merayakan ekaristi pada hari Minggu. “Quoniam sine dominico non possumus”, kata Emeritus. Kalimat itu diterjemahkan oleh Kardinal Ratzinger (Paus Benediktus XVI) “Tanpa hari Tuhan, kita tidak dapat hidup..” (Radcliffe OP, 2005). Ya, ekaristi (misa) adalah jantung kehidupan Gereja. Ekaristi adalah perjumpaan penuh kerinduan mistik serta nyata antara manusia dengan Tuhan sumber segala yang hidup.
Akhirnya, mari kita pulang juga ke kampung halaman sendiri. Di situ, setidaknya kita punya tiga rumah. Ada rumah orangtua (keluarga inti), ada rumah keluarga besar (rumah adat), dan ada pula Rumah Tuhan.. Sayang ya jika ‘Bait Allah’, Rumah Tuhan itu cuma dilihat dan terdengar sayup-sayup suara loncengnya. Dari kejauhan….
Verbo Dei Amorem Spiranti
*P. Kons Beo, SVD adalah putra Ende, misionaris SVD, tinggal di Collegio San Pietro, Roma - Italia.