Wanita penagih janji
Senin, 20 September 2021 20:01 WIB
Penulis:redaksi
Editor:Redaksi
Oleh: Isidora Anggraini Thelma Da Gomez
LAYAKNYA seorang tahanan di penjara, aku benar-benar merasakannya saat ini. Bedanya aku mengurung diri di indekos, tanpa keluar sedikit pun. Dua hari juga mie instan dan telur yang dibelikan Dian, menjadi bahan makanan untuk cacing di perut. Omelette menjadi satu-satunya menu yang bisa diandalkan. Selain itu, aku tak bisa berbuat apa-apa.
Pikiranku sungguh kacau sejak sore itu. Sebuah ruang dan waktu, di mana aku kembali melihat dia setelah setahun menghilang bak ditelan bumi. Kembali, aku mengenang peristiwa sore itu. Walaupun wajahnya dilapis helm, tetapi aku masih bisa mengingat dengan jelas jika itu dia. Namun, motornya melaju begitu saja. Meninggalkanku terpaku, menatap kepergiannya.
"Kak Tita!"
Aku menatap pintu yang baru saja diketuk. Suara tidak asing itu berasal dari Dian. Hanya gadis itu saja yang biasa datang ke kamarku. Selain itu tetangga kamarku sama sekali tidak pernah. Aku hanya melempar senyum dan sedikit berbicara, jika mereka bertanya kepadaku. Selebihnya, aku akan bersikap tak acuh seperti biasa. Tak peduli jika akan dianggap sombong atau apalah.
"Kakak sudah makan?"
Aku membuka pintu, menemukan Dian yang memakai pakaian rumahan. Di tangannya, menenteng sebuah plastik hitam yang tak kuketahui isinya apa.
"Sudah."
Kubiarkan gadis berkaus pink itu masuk, sebelum kembali menutup pintunya. Jendela kamar dibiarkan terbuka, lantaran rasa panas yang mendera. Kipas angin besar di sudut kamar pun rasanya tak mempan mengalahkan suhu panas yang luar biasa.
"Aku tadi membeli soto di depan jalan karena belum sempat makan siang. Jadi, sekalian saja aku membawakan untuk Kakak." Dian membuka plastik yang dibawanya. Benar saja dua bungkus nasi serta soto yang masih panas cukup menggugah selera.
"Tidak usah repot-repot."
Aku melangkah ke dapur, mengambil piring serta mangkuk untuk kami. Kebutuhan dapurku cukup lengkap, meskipun aku yakin tak akan menggunakan semuanya. Di kota ini, kompor gas hanya segelintir orang yang memakainya. Semuanya masih memakai kompor dan minyak tanah sebagai penunjang kegiatan memasak. Aku pun demikian karena merasa lebih hemat. Meskipun awalnya sedikit kaku, tetapi berkat Dian semuanya aman terkendali.
"Sesekali, Kak. Ini gajiku," ucap Dian antusias.
Kubiarkan saja gadis itu melakukan sesuka hatinya. Kami makan diiringi cerita Dian. Banyak hal yang dibahas, termasuk pekerjaannya di hotel. Aku hanya mendengar saja, sesekali menimpali agar kamarku terlihat hidup tak seperti biasanya.
"Apa ada lowongan di sana?" Sebuah pertanyaan terlontar dari mulutku begitu saja. Aku memerhatikan Dian yang terlihat terkejut, sebelum menggeleng kecil.
"Di hotel belum ada lowongan, Kak. Kakak mau cari kerja, ya?"
Mengangguk kecil aku lakukan. Tidak mungkin aku hidup tanpa sebuah pekerjaan. Aku membutuhkan makanan serta keperluan lain, dan tak mungkin terus mengandalkan uang di ATM yang semakin menipis. Lagi pula, semua berkas ijasah terakhirku sempat kubawa. Sebagai persiapan jika aku sungguh lama menetap di kota ini.
"Kak Tita 'kan strata satu, aku yakin akan mudah mendapatkan pekerjaan. Nanti biar aku bantu carikan, ya."
"Terima kasih."
"Kalau bekerja di bank atau koperasi, apa Kakak mau?"
Aku terdiam. Menjadi pegawai bank bukanlah cita-cita dan impianku. Dari semua pekerjaan, aku paling tak suka berurusan dengan simpan pinjam dan nasabah. Entahlah apa alasannya. Yang jelas aku tak menyukainya.
"Apa tidak ada yang lain?"
"Di sini, bekerja sebagai pegawai bank atau koperasi itu sudah dianggap hebat, Kak," ungkap Dian.
Tangannya sibuk membereskan sisa makanan kami dan membawanya ke dapur. Gadis itu sudah terbiasa melakukan hal itu di tempatku. Jadi, aku rasa tak masalah dengan keberadaan Dian di sini yang justru banyak sekali membantu.
"Aku kurang suka dengan pekerjaan seperti itu. Namun, jika sudah ada di depan mata, aku rasa tidak salah jika ingin mencobanya."
Ya ... aku harus terima dengan pekerjaan yang ada di depan mata. Hal yang tidak kusukai, mau tak mau harus disukai olehku. Aku harus belajar banyak dari kehidupan baru saat ini. Semua tidak ada yang instan, karena aku harus mengenal sebuah kata perjuangan.
"Baiklah. Nanti aku bantu carikan, ya. Kakak butuh sekarang 'kan?"
Lagi, aku mengangguk. Semuanya memang harus dimulai sekarang. Aku tidak ingin membuang waktu lebih lama, berleha-leha tak jelas dengan sebuah ketidakpastian. Mungkin sambil bekerja, aku bisa sekalian mencari keberadaan dia.
***
Aku keluar dari ATM dengan wajah lesu. Ketakutanku akhirnya terjadi sudah. ATM diblokir oleh papaku, sehingga aku tak bisa menarik lagi uang untuk keperluan ke depannya. Di kantong tersisa satu juta saja dan mungkin hanya akan bertahan beberapa hari nanti.
Menghela napas lelah, aku duduk di sebuah bangku yang terletak di depan ATM. Kebetulan, saat ini aku berada di ATM yang tak jauh dari indekos.
Memandang jalanan yang dipenuhi kendaraan, pikiranku seolah diajak berkelana pada masa lalu di kota kelahiranku.
Aku Tita Adriana, lahir sebagai putri tunggal keluarga yang berada. Papa bekerja sebagai salah satu anggota parlemen dari salah satu partai. Sudah kali kedua dirinya duduk di parlemen, karena mendapat dukungan yang banyak.
Jika punya seorang Papa, pasti harus memiliki Mama. Seorang perempuan hebat dibalik kesuksesan seorang pria. Namun, aku sudah tak memilikinya sejak berusia lima tahun. Mama dipanggil Tuhan karena penyakit kanker yang diderita sejak lama. Itu hal yang kuketahui dari Papa. Pria itu sering kali bercerita perihal Mama jika aku bertanya.
Aku hampir tak mengingat lagi wajah cantiknya. Lantaran sudah lama sekali kehilangan dirinya. Ditambah saat itu usiaku baru memasuki lima tahun, dan belum mengerti apa pun mengenai arti sebuah kehilangan.
Hidup dan besar di tangan Papa dan bantuan baby sitter. Jangan kalian kira, aku akan memiliki ibu tiri. Itu sama sekali tidak terjadi dalam kamus hidupku. Kesetiaan Papa patut diacungi jempol. Caranya mencintai Mama, bertahan hingga detik ini. Walaupun berulang kali, aku memintanya untuk menikah lagi.
Aku ingin ada orang yang bisa mengurus Papa nantinya jika aku pergi. Bukannya, aku tak mau mengurusnya. Hanya saja, suatu saat aku akan menikah dan memiliki keluarga kecilku sendiri. Hal itulah yang membuatku berpikir jika Papa membutuhkan pendamping hidup. Namun, keinginanku ditolaknya mentah-mentah.
Alasannya klise, Papa lebih suka ketenangan dalam hidupnya. Hanya Mama dan aku adalah sumber ketenangan hidupnya. Walaupun sekarang aku telah bertindak jauh menjadi anak durhaka. Meninggalkan Papa sendirian, demi mengejar sosok yang aku cintai.
Kedatanganku ke Merpau, sama sekali tak mendapatkan izin dari Papa. Pria itu tak mau aku pergi, apalagi mengejar sesuatu yang belum pasti aku raih. Namun, sikap keras kepala yang menurun dari Mama, membuatku melangkah sejauh ini.
Tidak ada persiapan sama sekali, tetapi aku bersyukur Adel yang membantuku hingga sejauh ini. Memilih kabur dari rumah, adalah keputusan terbesar yang pernah terjadi dalam hidupku. Alasannya cuman satu yaitu karena dia. Hanya karena pemuda dengan puluhan janji yang terlontar dari mulutnya, membuatku berubah menjadi pembangkang dan pertama kali menentang keras sosok cinta pertamaku, Papa. (Bersambung)
BIODATA PENULIS