Tuhan
Jumat, 11 Juli 2025 15:29 WIB
Penulis:redaksi
Oleh: Boy Waro
RIINDU kampung halaman yang penuh dengan sejuta kenangan yang tak pernah kutemukan di kota ini. Adat dan budaya yang angun nan suci membaluti persaudaraan yang tak pernah putus.
Alam yang indah dan udara yang segar, kicau burung-burung di pagi hari membangunkan hati warga kampung yang masih galau.
Ketika mentari pagi menyapa hati, kami bersegera bertenger di serambi-serambi rumah ditemani segala kopi pahit hangat, dan dihibur dengan cerita-cerita tentag gagal dan berhasil hasil panen di tahun ini.
Ayahku adalah seorang petani ladang, setiap hari ia mengurus ladang peninggalan kakekku. Di ladang milik kami, ayah menanam berbagai tanaman seperti, kakao, cengkeh, kelapa, fanili, kopi dan kemiri, dan masih banyak tanaman-tanaman lainya. Bukan hanya ayahku warga desa juga memiliki ladang dan menanam berbagi hasil bumi.
Ketika aku masih duduk di bangku sekolah dasar, ayah mengajarku berkebun dan melatih saya untuk menanam tanaman-tanaman ungulan secara tradisoanal tanpa merusak kesuburan tanah.
Menariknya, sebelum membuka ladang untuk menanam berbagai jenis tanaman, warga desa harus membukanya dengan ritus adat yakni memberi makan kepada nenek moyang yang berlangsung di rumah dan di kebun.
Setelah itu warga diperbolehkan untuk mulai menanam atau membuka lahan baru.
Pada suatu hari ketika mengikuti upacara memberi makan nenek moyang, dengan penuh kepolosan saya bertanya kepada ayah. “Ayah kita memberi makan untuk siapa?”
Ayah tersenyum lebar sambil membelai rambutku, kata ayah “nak kita memberi makan untuk leluhur yang sudah meninggal mereka sudah memberikan kita tanah yang subur dan telah menjaga tanaman kita agar terus menghasilkan panenan yang berlimpah dan bisa membiayai kamu untuk bersekolah.
Lalu kamu harus tau nak, bukan kepada nenek moyang saja, tetapi kepada Tuhan.” Lalu aku kembali bertanya kepada ayah. “Ayah siapa itu Tuhan?”
“Nak Tuhan itu Dia yang menciptakan tanah pohon-pohon, bukit, air, hewan-hewan dan manusia.”
Aku mengangguk dan tersenyum mendengar penjelasan ayah. “Ingat nak kalau kamu sudah besar, jangan lupa adat dan budaya. Kalau kamu sudah jadi orang hebat tolong jaga dengan baik adat dan budaya kita ini.
Ini adalah harta yang paling sempurna, kalau kamu tidak bisa kelola tanah ini jagan di jual, ini titipan dari Tuhan untuk kita.”
****
Dua puluh tahun aku di tanah rantau, mencari dan menggapai cita-cita yang aku impikan sejak kecil kini telah terwujud. Namun itu semua tidak membuatku bahagai.
Aku teringat masa-masa di desa banyak cerita dan kisah yang masih membekas di hati ini. Aku bangga menjadi anak desa yang kaya akan alam, dan budaya yang luar biasa. Kehidupan masyarakat penuh dengan kegembiraan, kesederhanaan dan sukacita.
Kehidupan sosial yang sangat tinggi ketimbangkan di kota yang aku kenal. Masa-masa yang membuatku rindu kembali ke desa untuk kembali menyulam rindu dan menulis kisah yang telah lama ditinggalkan.
Namun apa daya rindu hanya sebatas rindu yang tertunda, entah kapan aku kembali bersulam rindu di desa yang sejuk itu.
Ketika aku tengelam dalam lamunan masa lalu di desaku. Handphoneku berdering, nomor baru yang tidak kukenal. Akupun mematikannya. Sambil menikmati kopi sore di sebuah kafe dekat tempat kerjaku.
Lima menit kemudian hendpone kembali berdering. Aku penasaran dengan nomor baru yang terpapang di layar hendponeku. Aku mulai pikiran yang bukan-bukan. Lalu aku menerima panggilan itu.
“Halo ema* selamat pagi. Aku pun terdiam mendengar suara itu. Aku mengenal itu. Iya aku mengenal dengan baik suara bapak desa. “Halo selamat pagi bapak Desa.”
“Pagi…Pagi…ema apakabar?.”
“Kabar baik bapak?”
“Bapak apakabar?”
“e…ema kabar kurang baik.”
“Ada masalah apa bapak?”
“Ee…. Ema…kami di sini serba salah sudah.”
“Maksudnya bagaimana Bapak?”
“Saya di tuduh oleh masyarakat di sini menjual tanah kepada investor asing di desa kita. Tetapi saya selama ini tidak tau apa-apa. Serta tidak ada informasi atau sosialisasi dari mereka. Saya sekarang bingung ema mau buat bagaimana.”
Mendengar curhat singkat itu saya merasa terharu. Sebagai anak kampung yang pernah hidup dari tanah dan budaya di desa, saya harus melakukan sesuatu agar proyek tersebut tidak berlanjut.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan ketika usaha saya mencapai finis pembatalan pembangunan proyek di desa kami saya di hujat di berbagai media sosial dengan bergam komentar.
Namun semuanya itu tidak membuat saya gentar. Saya semakin percaya diri menghadapi persoalan itu. “Karena bagiku rumah ternyaman dan terindah adalah kampung halamanku, maka apa pun itu saya berjuang sampai titik darah penghabisan.”
Ketika aku sibuk mencari jalan keluar pembebasan beberapa tokoh adat di desa yang ditahan akibat menolak peroyek tersebut, saya mendapat telfon dari nomor yang tidak saya kenal.
“Halo…..Haloo….kamu ingat ya..kalau kamu berani membantalkan proyek di desa, kamu dan keluarga di kampung kami bunuh. Dasar anak tidak tau diri!!” Mendengar acaman itu saya tidak gentar yang peting bagiku tanah leluhur adalah harga mati.
Dua bulan kemudian, ketika usahaku bersama teman-teman sekampun yang berada di tanah rantau mencapai finisnya, kami mendapat kabar bahwa semua warga desa menyetujui dengan keputusan itu sekarang mereka bersedia pindah temapat dari kampung halaman kami ke tempat yang baru yang tidak kami kenal.
Karena mereka diiming-iming mendapatkan, biaya sepenuhnya dari pihak investor asing. Ketika saya mecari tahu pihak yang mengijinkan dan meminta kepada masyarkat adat untuk menjual tanah-tanah mereka adalah bapak desa.
Mendengar itu hatiku hancur, kampung dengan segala kisah dan keindahan tinggal kenangan. Maafkan kami Tuhan dan para leluhur tidak bisa menjaga keutuhan kasih yang telah kamu berikan kepada kami.
Kami terlalu terlena dengan sikap malas dan lupa cara untuk berjuang merawat kampung ini dan kami lupa hidup kami bukan karena belaskasih orang melainkan kesuburan cintah-Mu melalui tanah ini. ***
sebulan yang lalu