Dagang Politik antara Strategi Iklan dan Menjaring Emosi

Rabu, 29 Juni 2022 20:33 WIB

Penulis:MAR

Editor:MAR

kons e.jpeg
Pater Kons Beo, SVD (istimewa)

Oleh: P. Kons Beo, SVD*

Jadi, jika kita berbohong pada Pemerintah, itu kejahatan. Tetapi, jika Pemerintah yang berbohong kepada kita, itu politik” (Bill Murray, Aktor Amerika).

Iklan dan Dunia Tawar-Menawar

Dunia ini adalah panggung bisnis mahaluas. Dalam keseharian, temu-jumpa antarmanusia tertenun oleh gelanggang pasar. Di situ tercipta strategi tawar-menawar. Dan akhirnya tiba pada kesepakatan harga. Bermuara pada transaksi. Katanya, antara penjual dan pembeli, sepatutnya ada “rasa sama-sama puas”. Tak boleh ada tindak manipulatif yang memperdayai. Sebab bisnis tegaskan iktikad penuh kejujuran dan kesantunan. Semuanya demi merawat kepercayaan.

Tetapi dunia bisnis adalah alam yang mesti dipertaruhkan. Ia mesti berdampak pada profit. Dunia bisnis harus mengalir dan bermuara pada keuntungan. Risiko negatif yang berujung pada “kerugian” tentu diharamkan. Patut dihindari! Sebab itulah strategi bisnis mesti disiasati sejadinya.

Dari sekian banyak strategi bisnis yang dipetakan ada “pajangan iklan”. Tentu yang disasar adalah para konsumen yang mencari produk. Narasi iklan adalah narasi bujukan atau rayuan. Ia mesti dikemas dalam kata-kata penuh daya pikat dan sungguh ‘mengandung umpan.’

Bermain Cantik pada Emosi

Tetap ada yang khas dari satu iklan yang merupakan bagian kunci dari iklan itu sendiri. “Salah satu elemen kunci dari sebuah iklan adalah emosi yang disampaikan dalam iklan tersebut” (Ika Wahyu Pratiwi, 2017). Sebab itu, menurut Pratiwi, iklan tak hanya berkiprah pada perilaku kognitif saja. Iklan menerobos hingga pada proses “penanaman emosi” yang berpengaruh demi sikap memilih produk tersebut.

Bila disimak dari Antonides (1991), seperti ditandaskan Pratiwi, iklan mesti diracik sekian demi satu akurasi stimulus di dalam satu produk tertentu. Ruang emosi (rasa) konsumen mesti dikuasai secara tepat. Di situ mesti nyata bahwa sebuah pilihan atau peralihan pilihan pada produk tertentu akan bermuara pada alam konsolasi (kelegaan). Dan siapa pun konsumen tak akan pernah menyesal telah menjatuhkan pilihan pada produk tersebut.

Demi merekayasa alam emosi konsumen, bahasa iklan pun tentu mesti mainkan riak-riak litania diksi komparatif. Artinya sederhana saja. Bahwa agar tampak lebih ngetrend, up to date, berkelas, sehat, ceriah, mempesona, nyaman, atau lega, maka segera lepaskan saja yang lemah, yang sama sekali tak menjanjikan serta tetap membawa masalah. Inilah yang bisa disebut sebagai jebakan motif informasional.

Iklan: Problem dan Solusi

“Hati-hati dengan produk tertentu!” Pengalaman buruk segera dilukiskan akibat pemakaian produk-produk tertentu itu. Emosi konsumen tercipta dalam ruang penuh hati-hati, cemas, takut serta penuh waspada! Namun, dalam nada-nada enteng, iklan bermanuver cantik dengan menawarkan produknya sebagai solusi.

Iklan memang telah ciptakan konflik batin yang serius. Ketidaknyaman hati mendera. Tetapi pada saat bersamaan ia tawarkan jalan keluarnya yang sekian mudah. Malah tugas iklan menjadi sempurna takalah ‘emosi fanatisme konsumen’ telah sungguh menggumpal dan membeku akan produk yang ditawarkan! Apalagi bila para konsumen telah ‘mabok pilihan’ bahwa produk itu bukanlah bertengger kelas sembarangan. Sebab, ia tunjukan juga bobot, gengsi dan bahwa hanya kaum elitis yang menggunakannya.

Politik Berbau Iklan

Dalam rana sosial, politik yang berkiblat pada kekuasaan pasti berkarib dengan ‘imperium iklan.’ Politik tak imun dalam arus bisnis. Sebab dalam politik gairah tawar-menawar demi kepentingan (kemenangan) tak mungkin terhindarkan. Tim-tim pemenangan (tim sukses) mulai bertunas dan hidup. Bahasa-bahasa iklan mesti dikemas. Arus promosi mulai digelorakan.

Tetapi, dalam dagang politik (demi kekuasaan) bahasa-bahasa iklan tertangkap lebih sengit bahkan menjurus kasar bahkan keji. Ini mudah dipahami sebab dagang politik telah membara demi ‘merebut dan mengisi peluang’ yang tak boleh terlewatkan. Benar, bahwa ‘menang atau kalah itu biasa.’ Tetapi kesempatan untuk perang dagang politik harus dijalankan. Jika tidak, satu kesempatan politik bisa berlalu begitu saja. Dan mungkin saja tak akan terulang kembali!

Sebab itulah demi kekuasaan strategi periklanan mulai dikibarkan. Calon (-calon) penguasa yang diusung akan segera diwartakan bak messias (juruselamat) yang dinantikan. Di tangannya era baru segera akan dimulai, atau bahkan dilanjutkan. Demi meraih kemenangan, iklan mesti digemakan dengan cara terukur. Menyanjung setinggi langit tokoh yang diusung adalah keharusan! Dan upaya membenamkan kompetitor mesti jadi satu dua usaha maksimal.

Periklanan politik tak segan-segan menjanjikan aura optimisme dalam diri junjungannya. Ia bakal hadir sebagai problem solver of every crisis. Ini jelas bertentangan dengan gejolak trouble maker yang dilabelkan pada pihak kompetitornya. Adalah hal lumrah dalam dagang politik saat divisi periklanan mesti ‘pasang badan’ demi menyelamatkan sang junjungan. Agar tak boleh ‘mati langkah dan hilang muka serta redup pamor’ dalam percaturan politik. Sebab itulah segala argumentum pembelaan mesti dipetakan.

Di sini, iklan politik tampil tak lebih sebagai geliat rasionalisasi demi ‘kebenaran sang junjungan’ atau juga ajang pameran dramatisasi aib ‘segala kepalsuan si kompetitor.’ Perbagai media sosial kini tampil sebagai kanal ampuh demi periklanan itu. Optimisme dengan segala wajah dunia baru terbaca di pihak junjungan, sementara pesimisme dengan alarm kefatalannya ada di kubu pesaing.

Diksi iklan dagang politik mesti dikemas sekian dengan akurasi sejitu mungkin. Junjungan harus dipoles sejadinya bak seseorang dari ‘kalangan para kudus beraroma surgawi.’ Sementara sang pesaing harus digoreng gosong hingga terlabel bak lusifer, si malaikat maut pembawa petaka dari alam neraka jahanam.

Di atas segalanya, iya itu tadi, emosi harus dibangkitkan. Semuanya demi Pro pada sanjungan, dan Kontra bagi si pesaing! Jijik, cemas, takut, gelisah, najis, kafir, haram, geli, atapun muak adalah deretan kata yang berkiblat pada emosi andaikan si pesaing yang berkuasa. Sementara damai, sukacita, makmur, sejahtera, halal, saleh, kudus, atau keadilan akan nyata bila si junjungan lah tampil sebagai pemenang.

Dagang politik tak sekedar sebagai daya upaya iklan demi menyanjung tinggi junjungannya. Di upaya lainnya, ia mesti cekatan membaca ‘peluang’ dari salah sikap dan salah ucap dari sang pesaing. Sebab itulah split of the tongue (keseleo lidah) adalah menu empuk untuk digoreng lebih garing oleh kubu lawan. Semuanya berujung pada penghakiman publik yang bermuara pada sikap baku: Kontra! “Tak usah pilih dia….”

Dagang politik yang tertampil dalam perang iklan tentu adalah kelumrahan. Sayangnya, iklan-iklan yang ditampilkan sering memeluk kepalsuan atau pun sebaliknya menggeser kebenaran. Tentu dengan motif kepentingan di baliknya. Sebab itulah pula, misalnya, pembunuhan karakter (character assassination) dihalalkan, black campaign dimuliakan, serta iklan penuh penyesatan diwajarkan. Sementera itu kebenaran telah diludahi dan dipaksa turun takhta.

Sekenanya

Jelang Pilpres tahun 2024, aroma-aroma iklan telah terhembus ke sana sini. “Melilitkan selendang iklan berbau emosi di leher. Mengibarkan suasana panas.” Tesis psikologi sosial dan agama gariskan bahwa ‘dominasi emosi yang menjurus ke fanatisme sempit, sebenarnya adalah gambaran dari minim, tipis serta dangkalnya pengetahuan serta wawasan.’

Bila iklan dagang politik secara licik hanya bertumpuh pada emosi massif sebagai domain, maka akal sehat bisa ditorpedo untuk gagal mencermati visi dan orientasi politik yang sehat, baik dari persona singular maupun dari partai politik dalam konteks institusionalnya yang lebih luas.

Di hari-hari ini, perlahan tapi pasti, riak-riak emosi mulai ditiupkan. Diksi-diksi diferensiatif antar kontestan dibangkitkan lagi atau semakin dipertebal. Tetapi, apakah, misalnya,  kampret, cebong dan kadrun, dengan segala nuansanya juga dibangkitkan atau ditebalkan lagi? Semoga akal sehat tidak terkubur oleh kata-kata sarat emosi ini.

Indonesia masih dipenuhi oleh para simpatisan dan pemilih emosional, yang pastinya berseberangan dengan pemilih rasional. Perang dagang politik, ‘baku sikut dalam narasi iklan’ adalah kelumrahan dalam perhelatan politik. Tetapi, walau sengitnya pertarungan itu, pada muaranya kemenangan harus berpihak pada spirit of nation yang berakar hidup pada Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI (harga mati). Dan bukan yang lain!

*Penulis adalah Biarawan Serikat Sabda Allah tinggal di Collegio San Pietro – Roma