Tuhan
Kamis, 22 Februari 2024 06:57 WIB
Penulis:redaksi
Editor:MAR
“Keadilan, kebenaran, kebebasan, itulah pangkal dari kebahagiaan”
(Plato, filsuf Yunani)
P. Kons Beo, SVD
Buta kah mata para petinggi Yerusalem tentang track record si Barabas itu? Sebegitu naif kah rasa hati Herodes Antipas dan Pilatus serta para elitis kaki tangan penjajah Romawi tentang rekam jejak si pejahat itu?
Iya, si penjahat yang bernama Barabas. Tercatat dalam sejarah, pun dalam kisah sengsara Yesus, Barabas itu seorang pemberontak nasionalis. Ia terlibat dalam pemberontakan politik.
Rencana subversif terhadap penguasa Romawi di wilayah jajahan Yudea ada di tangan Barabas. Tak hanya itu, aksi kekerasan yang disertai perampokan dan pembunuhan tak luput dari aksi gerilyanya. Maka, betapa berbahaya dan sadisnya si Barabas itu.
Bisa jadi, demi melawan imperium romanum, aksi Barabas dan kelompok terornya bisa diamini. Telah hadir walau dalam senyap demi membebaskan bangsanya. Namun, bagaimana pun juga Barabas tetaplah protagonista aksi penuh keresahan bagi masyarakat.
Pada catatan Injil Yohanes, si Barabas itu disebut sebagai penyamun dan perampok. Aksi teror Barabas dan kelompoknya tercatat sungguh mengancam lalulintas perdagangan masyarakat dan terlebih jalur logistik antara Roma dan wilayah jajahan di Palestina.
Tentu, bagi seorang Barabas, jeratan hukuman mati bakal tak bisa ia hindarkan. Hari-hari hidupnya di jeruji besi hanyalah menanti giliran untuk dijagal. Namun, kisah akhir hidup yang tragis yang mesti dialami Barabas tak kunjung tiba.
Bila harus kembali pada naskah Injil, semuanya malah berubah drastis. Tak ada darah dan kematian yang menjemput Barabas. Sebab, Barabas ‘terhukum’ segera jadi Barabas ‘terbebaskan.’ Bahkan menjadi ‘Barabas’ yang disanjung penuh eforia. Skenario apakah di balik semuanya ini? Mari mengayak kisah Injil seputar pengadilan Yesus dan pemenangan Barabas.
Elit-elit politik sekular dan kaum tua-tua serta kelompok ulama Yahudi telah ‘bermain cantik’ di balik kemenangan Barabas (cf Matius 27:20). Suara aklamasi massif sudah mendesak dan menekan Pilatus: “Salibkan Dia! Iya, Salibkan Dia!” Dan karena itulah Yesus harus menuju Kalvari kematian.
Di “Jesus of Nazaret,” sebuah mega-Film karya Franco Zeffirelli tahun 1977 itu, tetangkap ekspresi raut wajah pelakon Barabas. Ia tersenyum antara sinis bercampur ceriah. Itu terjadi saat si Barabas mendengar suara gemuruh khalayak, “Barabas” untuk jawabi pertanyaan pilihan Pilatus, “Siapakah dari kedua orang itu yang kamu kehendaki kubebaskan bagimu?” (Matius 27:21).
Barabas memang telah menang telak dan menang tebal! Curiga saja bahwa itu juga adalah hasil kerja keras dan penuh lihainya dari ‘sayap radikal golongan Zelot’ yang beroperasi di lapangan untuk menekan publik demi geliat pemenangan Barabas, sang pemimpin partai.
Tetapi, adakah yang ‘cerdas penuh licik’ di balik terbebasnya atau kemenangan Barabas atas Yesus? Pulanglah ke relasi renggang penuh permusuhan antara Pilatus, wali negeri di Yudea dan Herodes Antipas, raja wilayah Galilea. Dua penguasa ini terlibat konflik kepentingan. Mari kita ambil contoh.
Tidak kah di satu ketika, Pilatus sekian sadis membunuh beberapa orang Galilea dan darah mereka dicampurkan dengan darah korban yang mereka persembahkan (cf Lukas 13:1)? Herodes tentu menaruh dendam pada Pilatus yang lakukan aksi kekerasan terhadap warganya. Tetapi?
Di pengadilan Yesus dan pembebasan Barabas termenunglah kita akan geliat politik nan rapuh. Kawan dan lawan bisa berdansa dalam irama musik penuh kepentingan. Kekerasan dan kekejaman bisa menjadi pilihan yang disiasati penuh ‘mau-maunya.’
Karena pengadilan Yesus dan ‘pemenangan Barabas’ toh Pilatus dan Herodes Antipas tampak telah akur. Mereka kembali berangkulan. Sudah berakhir retak-retak permusuhan sengit antar kedua penguasa itu. Lukas penginjil mencatat, “Dan pada hari itu juga bersahabatlah Herodes dan Pilatus; sebelum itu mereka bermusuhan” (Lukas 23:12).
Mari kembali merenung pengadilan terhadap Yesus.
Pro nilai dan cahaya harapan akan kehidupan di saat Yesus memasuki kota Yerusalem, nampaknya berantakan oleh serangan tiba-tiba namun terukur oleh tua-tua dan para pemimpin agama.
Khalayak terkuasai untuk bersekutu dengan senjata kekerasan dan pro kematian. Dan lalu mendakwah sosok nilai dan kehidupan dalam Yesus untuk kemudian tertati-tati menuju penyaliban di bukit Tengkorak.
Di arena pengadilan Yesus dan pembebasan (kemenangan) Barabas, litania nilai sudah diludahi. Teror dan kekerasan, sebaliknya, dijilati. Yang didulu menggongong kini sudah digendong penuh lembut. Di pengadilan Yesus dan kemenangan Barabas, terlihat betapa rapuhnya Pilatus di zona Mahkamah Pengadilan. Yang pada titiknya, Pilatus mesti ‘cuci tangan’ dan yakinkan diri sendiri sebagai ‘aku tak bersalah.’
Pada Pilatus, sesungguhnya, terbaca sindrom kemunafikan berwajah ganda mendua hati. Ia tak ingin kehilangan popularitas sekiranya ia mesti membebaskan Yesus. Pilatus pun tak ingin kehilangan takhta kekuasaan. Nama besarnya tak boleh ambruk karena teror massa yang histeris, “Jika engkau bebaskan orang ini – iya, Yesus itu, engkau bukanlah sahabat Kaiser” (cf Yohanes 19:12).
‘Bukan sahabat Kaiser’ sama artinya siap kehilangan posisi dan kekuasaan. Pilatus, yang haus dan gila kuasa itu, telah sekian piawai muluskan jalan kekuasaannya. Ia turunkan marwah pengadilan dengan ‘mencuci tangan’ bebaskan dirinya sendiri. Pilatus telah ‘bikin kotor’ kewibawaan hukum dengan ‘membiarkan khalayak’ terjerumus dalam ‘pengadilan sesat.’
Dalam pada itu, Barabas telah tersenyum. Ia segera hidup udara kemenangan dan pembebasan! Apakah sesudahnya, Barabas segera masuk untuk ‘aksi bersih-bersih diri dan pulihkan nama baiknya’ bahwa di hari-hari silam ia bukanlah pemberontak, penjahat dan penyamun?
Atau kah bahwa Barabas, setelah bebas dan dimenangkan itu, bakal segera kembali ke watak asli dan gelagat semula yang penuh ancaman? Wah, jangan-jangan pula si Pilatus, yang telah cerdik memenangkan dan membebaskannya bakal juga dihempaskan si Barabas? Entahlah.
Atau juga pengadilan sesat yang hentikan nyawa dan darah Orang Yang Tak Bersalah, Yesus dari Nazaret, mungkinkah bakalan mengubah arah hidup Barabas untuk kembali ke jalan benar pertobatan ‘suci lahir dan di dalam batin?’ Toh, keempat Penulis Injil tak mencatat kisah-kisah selanjutnya dari si Barabas.
Di ujung kematian Yesus, yang terbaca jelas hanyalah suara pengakuan Kepala Pasukan, “Sungguh, Ia ini adalah Anak Allah” (Matius 27:54).
Hari-hari ini kita tersenyum, ceriah dan bergembira. Namun, yang jelas bukan tersenyum karena tersenyumnya Barabas itu. Senyum kita di masa Pra-Paskah hanyalah seuntai senyum sakral dan spiritual. Sebab kita sungguh dikasihi sejadinya oleh Yesus yang tersalib. Yang telah tunjukan Kemenangan Kasih tak berhingga. Dan di dalam Yesus dan bersama Dia, kita alami kebahagiaan yang sesungguhnya.
Verbo Dei Amorem Spiranti