Senin, 25 Desember 2023 16:11 WIB
Penulis:redaksi
Editor:redaksi
JAKARTA (Floresku.com) - Sejumlah akademisi dari Universitas Dian Nusantara, STMIK Antar Bangsa dan STARKI berkolaborasi menggelar Webinar ‘Bijak Bermedia Digital’, Sabtu, 16 Desember 2023 lalu.
Tampil sebagai Keynote Speaker dalam Webinar tersebut anggota DPR RI Nurul Arifin, S.IP dan Wakil Sekjen II APTIKOM, M.Si Solikin, S.Si., M.T.
Tampil sebagai pembicara masing-masing Dr. Yakin Bakhtiar Siregar, M.M, dosen Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi dan Sekretari Tarakanita (STARKI); Henri Septanto, M.Kom, Dosen Universitas Dian Nusantara; Petrus Dwi A. Pamungkas, S.Kom, MMSI dosen STARKI; Kusuma Hati, M.M, M.Kom, Dosen STMIK Antar Bangsa; dan Uus Rusmawan, S.Pd, M.Kom, dosen Universitas Dian Nusantara.
Bahaya potensial media digital
Keynote Speaker I, Nurul Arifin mengatakan perkembangan teknologi komunikasi dan informatika saat ini telah mempengaruhi seluruh sektor kehidupan manusia, salah satu wujud pengaruh perkembangan teknologi tersebut adalah media sosial yang dapat memampukan penggunanya untuk memperoleh dan juga menyebarkan informasi tanpa terbatas ruang dan waktu.
Media sosial, kata Nurul, melahirkan sebuah era baru yang disebut era disrupsi informasi dimana seseorang dapat menerima berbagai macam informasi yang belum tentu kebenarannya dalam kurun waktu singkat, sehingga seseorang harus dapat memilah informasi yang diterima agar tidak terkena informasi palsu (hoaks) yang dapat menyesatkan.
Kesadaran pengguna media sosial untuk menyaring informasi yang diterima menjadi hal penting untuk memerangi penyebaran informasi yang tidak benar dan dapat menyesatkan pengguna media sosial lain yang lebih luas (masyarakat).
Menurut Nurul, memasuki rangkaian Pemilu 2024 mendatang hoaks banyak pihak yang secara tidak bertanggung jawab menyebarkan hoaks sebagai media black campaign.
“Penyebaran kabar bohong/hoaks menjadi ancaman serius terhadap demokrasi karena tidak hanya merusak akal sehat calon pemilih, namun juga dapat mendelegitimasi proses penyelenggaraan pemilu, dan lebih parah lagi, mampu merusak kerukunan masyarakat yang mengarah ke disintegrasi bangsa,” kata Nurul.
Nurul mengingatkan, selain penyebaran kabar bohong, pada masa kampanye saat ini masyarakat juga perlu waspada terhadap ujaran kebencian yang disebarkan melalui media sosial dengan menggunakan narasi - narasi provokatif guna menyerang lawan politiknya dalam kontestasi Pemilu 2024.
“Ujaran kebencian menjadi hal yang membahayakan demokrasi dan juga persatuan bangsa karena melalui konten-konten provokatif yang disebarkan tersebut dapat mempengaruhi masyarakat untuk memilih tanpa berdasarkan fakta dan realita, melainkan berdasarkan perasaan (emosional),” ujar Nurul pula.
Nurul meminta supaya dalam memanfaatkan media digital, warga masyarakat selalu melandaskan diri dan berpedoman pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) .
“Pasal 28 ayat (1) UUITE melarang setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik. Ketentutan pidana jika melanggar ketentuan di atas, pelaku dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar,” katanya.
“DPR RI baru saja mengesahkan Revisi UU ITE yang bertujuan untuk mengurangi potensi kriminalisasi terhadap pasal-pasal yang dianggap pasal karet,” jelasnya.
Tampil sebagai Keynote Speaker II adalah Wakil Sekjen II APTIKOM, Solikin, S.Si., M.T.
Solikin menyampaikan materi dengan judul, “Digital Literacy Global Framework (DLGF) Literasi Digital Skill dan Digital Ethic Webinar”.
Sebagaimana Nurul, Solikin mengingatkan publik waspada dengan bahaya potensial yang dapat ditimbulkan oleh pemanfaat media digital secara tidak bijaksana.
“Media digital perlu dimanfaatkan secara bijak. Sebab kalau tidak, maka media digital akan menimbulkan berbagai tindak pidana seperti kabar hoaks, penipuan daring, perjudian, eksplotiasi seksual pada anak, perudungan siber, ujaran kebencian dan penyebaran kontek radial,” ujar Solikin.
Bangun Kepercayaan Diri Melalui Peningkatan Digital Skills
Sesi pertama Webinar ‘Bijak Bermedia Digital’ menyoroti tema ‘Membangun Kepercayaan Diri Melalui Peningkatan Digital Skills’.
Tampil sebagai pembicara pertama pada sesi ini adalah Dr Yakin Bactiar Siregar.
Dr Yakin membawakan materi berjudul, ‘Membangun Kepercayaan Diri Melalui Peningkatan Digital Skills’.
Dr Yakin mula-mula membedakan konsep ‘digital skilss’ dan ‘digital literacy’.
Menurut dia, dengan digital skills, seseorang menguasasi alat digital apa yang digunakannya, dan cara menggunakannnya.
“Misalnya, mengunduh gambar dari internet dan memasukkannya ke dalam slide power point atau ke dalam halaman web,” ujarnya.
Sedangkan, dengan ‘digital literacy’ seseorang memahami mengapa ia menggunakan media digital, kapan dan untuk maksud apa ia menggunakannya, termasuk memahami apa dampak dari media digital yang ia gunakan.
Ia pun menegaskan betapa literasi digital sangat penting bagi kehidupa manusia. Sebab dengan literasi digital seseorang dapat berpartisipasi di dunia modern, dapat memroses berbagai informasi, memahami pesan dan berkomunikasi secara efektif; serta ikut menciptakan tatanan masyarakat dengan pola piker yang kritis-kreatif.
Sementara itu, selaku pembicara kedua, Henri Septanto, M.Kom, tampil membawakan makalah dengan tema Membangun Kepercayaan Diri melalui Peningkatan Digital Skills .
Secara khusus Henri mengangkat sub-tema “4 Pilar pengembangan Kurikulum Literasi Digital KOMINFO 2022 Digital Skill, Digital Ethics, Digital Safety, Digital Culture.”
Menurut Henri ‘Kecakapan Digital’ adalah kemampuan individu dalam mengetahui, memahami, dan menggunakan perangkat keras dan piranti lunak TIK serta sistem operasi digital dalam kehidupan sehari-hari.
Ia menyebutkan, bertolak dari Pengukuran Status Literasi Digital Indonesia Tahun 2022 maka indikator kecakapan digital meliputi beberapa di antaranya:
1) Kemampuan mencari dan mengakses data, informasi, konten di media digital. Contoh, melihat rekam jejak digital seseorang untuk berbagai keperluan (positif); Memeriksa sumber/asal-usul photo, gambar, dan lain sebagainya.
2) Kemampuan mencari tahu kebenaran informasi di web. Contoh: Menggunakan Triple Filter Test.
3) Kemampuan membandingkan berbagai informasi untuk menilai benar/salah informasi. Contoh: MenggunakanTriple Filter Test.
Sebagaimana para pembicara sebelumnya, Henri juga mengingatkan publik akan delapan dampak perkembangan dunia digital sebagai berikut:
1). Perubahan Gaya Hidup (berbagai aplikasi online dan media sosial online);
2). Akses Informasi menjadi lebih mudah dan murah (hotspot);
3). Cara orang melakukan bisnis ( ecommerce, m-commerce, market place );
4) Peningkatan Efektifitas dan Efisiensi Pekerjaan (WFH, WFA, E-learning);
5), Mempengaruhi Etika, budaya dan moral;
6). Peningkatan budaya konsumtif (pinjol, KTA);
7). Kriminalitas dalam bidang TIK ( Cyber Crime ); dan
8). Undang-undang dan peraturan baru tentang TIK
Isu Etika dalam Media Digital
Sesi kedua Webinar tersebut mengangkat tema ‘Menghadapi Isu Etika dalam Media Digital melalui Peningkatan Digital Ethics’.
Tema ini dibawakan oleh Petrus Dwi Ananto Pamungkas, S.Kom., MMSI., Kusuma Hati, M.M., M.Kom. dan Uus Rusmawan, M.Kom.
Menurut ketiga peneliti ini, secara konseptual masyarakat digital sangat terkait dengan masyarakat jejaring atau network society.
“Masyarakat jejaring adalah masyarakat yang memiliki struktur sosial berupa jaringan dengan teknologi mikro elektronik berbasis informasi digital dan juga teknologi informasi> jelas Petrus Dwi Ananto.
Masyarakat digital setiap harinya mengandalkan teknologi, baik teknologi
informasi maupun komunikasi.
“Biasanya masyarakat digital juga mengandalkan internet dalam pemakaian teknologi sehari-hari,” Kusuma Hati menambahkan.
Petrus Dwi Anantor, Kusuma Hati dan Uus Rusmawan menjelaskan bahwa masyarakat digital memiliki enam ciri sebagai berikut.
Pertama, ketergantungan pada teknologi dan internet. Masyarakat digital terbiasa untuk
melakukan segala sesuatunya dengan bantuan teknologi.
“Misalnya, mencari tutorial memasak di internet,” kata Petrus Dwi Ananto.
Kedua, kebutuhan informasi yang sangat tinggi. Masyarakat digital memiliki tingkat keinginan atau permintaan yang tinggi terhadap akses, pemahaman, dan pertukaran informasi.
“Mereka ingin selalu up-to-date,” Kusuma Hati menambahkan.
Ketiga, masyarakat digital cenderung memiliki pola komunikasi dua arah.
Keempat, keterlibatan dalam ekonomi digital. Masyarakat digital memiliki pola konsumsi yang berbeda dari masyarakat non-digital.
“Mereka cenderung membeli barang dan mendapatkan layanan secara online, dengan memanfaatkan e-commerce dan platform media sosial,” terang Uus Rusmawan.
Kelima, banjir informasi. Ketersediaan data dan informasi yang melimpah di platform online menyebabkan masyarakat digital terbiasa untuk menghadapi jumlah informasi yang besar.
Keenam, masyarakat digital memungkinkan terhubung dengan individu dari berbagai belahan dunia.
Tiga pilar masyarakat digital
Ketiga peneliti tersebut mengungkapkan terdapat tiga pilat utama masyarakat digital.
Pertama, digital citizenship. Pilar ini merupakan penggunaan layanan digital untuk pelayanan publik dan pemerintahan dengan tujuan memudahkan urusan kemasyarakatan dan negara. Sebagai contohnya adalah teknologi e-KTP, NPWP, BPJS, dan lain sebagainya.
Kedua, digital lifestyle. Pilar ini tampak dalam penggunaan teknologi untuk kehidupan sehari-hari terutama berhubungan dengan media sosial.
Ketiga, digital commerce. Pilar ini adalah penggunaan teknologi untuk melakukan aktivitas ekonomi termasuk jual beli atau perdagangan.
Sebagaimana dalam masyarakat biasa, dibtuhkan etiket sebagai panduan tata sopan santun, dan etika sebagai norma tindakan dan standar nilai benar-salah, maka masyarakat jejaring atau masyarakat digital pun membutuhkan etiket dan etika.
Etiket bagi jejaring dunia maya disebut Netiquette (Netiket). Netiker dipakai pada saat
warga masyarakat menggunakan internet, mulai dari email yang bersifat personal
hingga forum digital seperti forum board, social networking, chat dan sebagainya.
Etika digital dibutuhkan ketika warga masyarakat membutuhkan norma dan panduan nilai benar-salah ketika menggunakan teknologi digital.
Melansir Siberkreasi & Deloitte (2020), etika digital (digital ethics) adalah kemampuan individu dalam menyadari, mencontohkan, menyesuaikan diri, merasionalkan, mempertimbangkan, dan mengembangkan tata Kelola etika (netiquette) digital dalam kehidupan sehari-hari.
Pada dasarnya, jelas Petrus Dwi Ananto, etika digital mencakup bagaimana kita bertindak dan berperilaku secara moral saat menggunakan teknologi.
Ini mencakup sejumlah nilai dasar seperti integritas, kejujuran, tanggung jawab, dan menghormati hak-hak orang lain.
“Sebagai panduan moral, etika digital membantu membentuk perilaku online warga masyarakat, memastikan bahwa tindakan mereka mencerminkan nilai-nilai yang diakui secara universal,” pungkas Petrus Dwi Ananto. (MAP). ***