‘Fakta Baru’ Sejarah Perlawanan Kunu Toto-Tana Dea  di Flores Tengah, Panglima Utamanya: Kepa Bhiu dari Pipi Tunga

Senin, 10 November 2025 20:45 WIB

Penulis:redaksi

Editor:redaksi

ilustrsi kepa bhiu.jpg
Ilustrasi: Kepa Bhiu memimpin perlawanan terhadap Belanda. (Gambar AI.)

Pada Hari Pahlawan, setiap daerah perlu menggali kembali kebenaran sejarah perjuangan dan perlawanan lokal agar semangat kepahlawanan tumbuh dari akar sejarahnya sendiri.

SEJARAH perlawanan rakyat Flores terhadap kolonial Belanda sarat dengan kisah kepahlawanan yang sering mengalami distorsi. 

Salah satu sejarah lokal yang diduga telah mengalami distorsi adalah sejarah tentang Perang Watuapi dengan tokoh utamanya Nipa Do. 

Entah sejak kapan dan dimulai oleh siapa, figur Nipa Do telah dinarasikan secara luas sebagai figur sentral dalam perlawanan rakyat Toto-Tana Dea terhadap Belanda. 

Media ini pun, ‘percaya’ pada narasi tersebut, sehingga dua kali menjadikannya sebagai ‘kisah utama’ dalam Kolom ‘Heritage’ (Bdk. Floresku.com, 22 Oktober 2022; 15 Agustus 2025).

Tayangan terakhir ternyata menimbulkan diskusi panjang. Sejumlah pembaca yang mengetahui narasi tentang ‘fakta’ yang sebenarnya, mengajukan usul agar Floresku.com memuat koreksi atas narasi tersebut . 

Nah, narasi yang diturunkan Floresku.com kali ini disusun berdasarkan ‘fakta sesungguhnya,’ yang baru diungkapkan itu.’ 

Tana Toto: Bumi Leluhur di Flores Tengah

Tana Toto memiliki latar belakang historis yang panjang. Kisah historis itu diwarisakan lebih secara lisan, belum banyak dibuat dalam versi tulisan.

Wawancara Abraham Runga Mali dengan Paulus Pi’o Digo, Mosadaki  Merhe bergelar ‘Ine  Merhe Ame Dewa’ bagi Kunu Toto yang meliputi ulayat Toto-Wolowae di utara di Kecamatan Wolowae, dan Toto-Ute di bagian selatan, sebagian Kecamatan Nangaroro Kabupaten Nagekeo; dan Toto-Tana Dea/Rea/Jea sebagian Kecamatan Nangapenda dan Maukaro, Kabupaten Ende. Secara keseluruhan wilayah ini disebut Toto-Tana Dea.

Paulus Pi’o Digo  menyandang  gelar ‘Ine Tana Ame Watu’ karena ia adalah turunan langsung dari Digo yang bersama saudaranya Raja (Ratja) yang dikenang sebagai Patriark (Bapak Bangsa) bagi Kunu Toto Tana Dea.

Keduanya, Digo dan Ratja adalah pendiri utama Suku Dodo yang adalah koordinator utama suku-suku yang mendiami wilayah itu. (Daniel Dhakidae, 2011).

Sisilahnya adalah sebagai berikut, Paulus Pio adalah putra dari Papu Senda kemudian terus ke Senda Dupha, Dupha Deta, Deta Pedhu, Pedhu Dekhu, Dekhu Dohgo, Dogho Nena, Nena Tai, Tai Dawi, Dawi Doka, Doka Dako, Dako Woka, Woka Digo dan Digo Rege.

Digo dan Ratja adalah putera dari Rege. Masih ditambah tiga generasi lagi dalam hitungan leluhur Dodo yang pertama dikenal mendiami wilayah itu, yakni Rege Nage, Nage Dodo dan sampai ke Dodo Yanda. 

Wilayah Ulayat Kunu Toto-Tana Dea Pra Belanda

Tana Toto adalah tanah leluhur orang Kunu Toto, terbentang di jantung Flores Tengah. Wilayah ini telah dikenal sejak belasan generasi lalu, jauh sebelum kedatangan Belanda. Adat menetapkan batas-batas yang jelas:

  • Utara: Laut Flores membentang luas, menjadi jalur masuk sekaligus benteng alami.
  • Selatan: Laut Sawu, dengan ombaknya yang ganas, membatasi dunia orang Toto.
  • Timur: Jalur dari Tana Kebi (Kebirangga) hingga Numba. Dari Nanga Nio Niba, Kota Kadhe, Goa Poka, Ngi’i Bela, hingga Rate Rengge dekat Basa Numba.
  • Barat: Jalur dari Nage Lewa–Dhangi Tana, Wolo Pau, Phoa Keka–Dowo Dapho, Boa Nai, hingga Paro Re’e di selatan.

Dalam penuturan lisan, Digo dan Ratja menguasai wilayah itu melalui peperangan dengan penguasa setempat, Bhie Anawanda yang dibantu oleh sekutunya Bheda Wani. ( Abraham Runga. 2014)

Digo dan Ratja menang dalam peperangan besar itu Lalu dibentuklah tanah persekutuan dengan dua tugu peo laka utama, untuk Digo dan turunannya di Oda Pudu, Gunung Toto dan Ratja di Ondorea, Gunung Dea dan satu lagi peo turuanan (peo dheko) di Kampung Ute.

Batas tanah persekutuan adalah Utara Laut Flores, Selatan Laut Sawu. Timur berbatasan Tana Kebi (sekarang Desa Kebirangga di utara) dan Numba (selatan), Barat dengan Lego (utara) Labo (sekarang Desa Labo Lewa) dan Paro Ree, sebelah barat Nangaroro. (Bdk, Domi Djuma Pani Pesa, dalam Uraian Singkat Mengenai Tanah Pesekutuan Tanah Rhea, 1979 dan wawancara Abraham Runga Mali  dengan Meus Bha dan Paulus Pio Digo.)

Titik-titik perlintasannya adalah pada sebelah Barat dari Utara ke Selatan: Nage Lewa-Dhangi Tana, Wolo Pau, Phoa Keka-Dowo Dapho, Boa Nai, Watu-Paro Ree. Pada sebelah Timur dari utara ke selatan: Nanga Nio Niba, Kota Kadhe, Goa Poka, Ngi'i Bela, Lange Tana, Kedi Watu Manu, Seararo, Keka, Rere Nggase dan Rate Rengge dekat kampung Basa Numba.

Batas-batas ini yang kemudian diambil oleh Belanda---dan dibuatkan peta---ketika Tana Dea dijadikan swapraja tersendiri. (Bdk.Peta Belanda, 1918)

Awal Mula Perlawanan

Menurut tradisi lisan masyarakat Toto-Tana Dea, yang dikumpulkan dan dituturkan kembali oleh Gou Doe Wonga Soa atau Pius Gou Una dan Simon Sede Sa, fakta sejarah perlawanan Kunu Toto -Tana Dea jauh lebih kompleks daripada yang dinarasikan oleh beberapa catatan tertulis, termasuk yang dipublikasikan melalui media online, Floresku.com (Jumat, 22 Oktober 2021; Senin, 12 Agustus 2025) itu.

Gou menuturkan, pada tahun 1975, waktu masih sebagai pelajar SMP di Nangaroro, ia bersama sahabat karibnya,  Herman Sina (yang kemudian menjadi imam SVD) melakukan perjalanan dari Nangadodo ke Madaaya.

Ketika hendak menyeberang sungai kecil yang melintas dekat kampung tua, Kotjamata, mereka mengalami perjumpaan ‘misterius’ dengan seorang ‘kakek tua’. 

Kakek itu tidak memperkenalkan diri, tetapi secara tak terduga mengajak ‘berdiskusi’ tentang perlawanan rakyat Toto-Tana Dea terhadap Belanda.

Kakek itu menasehati, “sebagai anak sekolah, kamu harus mendengar dan menulis apa yang kukatakan ini.”.

“Banyak orang bercerita bahwa pusat perlawanan terhadap Belanda ada di Utara (Watuapi) di bawah komando Nipa Do. Itu tidak sepenuhnya benar. Sesungguhnya,  pusat dari gerakan perlawanan rakyat Toto ada Pipi Tunga dan dikendalikan langsung oleh Kepa Bhiu”.

“Sebagai pemimpin tertinggi kunu Toto-Tana Dea, Kepa Bhiu mengangkat sejumlah komandan untuk memimpin perlawanan di beberapa wilayah. Perlawanan berlangsung berbulan-bulan,  (baca:dari Agustus 1916 hingga Februari 1917),” katanya.

Latar Belakang Perlawanan Rakat Toto -Tana Dea

Perlawanan Kepa Bhiu dari Pipi Tunga memang tidak muncul tiba-tiba. Akar perlawanan berhubungan dengan kerja paksa yang diterapkan Belanda. Rakyat Toto – Tana Dea dipaksa kerja rodi, membuka jalur lintas selatan Flores, memotong Tanjung Ngadu Merhe. 

Ratusan rakyat Toto-Tana Dea  dikerahkan untuk membuka jalan raya di medan yang sulit itu dengan peralatan seadanya. Banyak warga  yang disiksa kalau tidak bekerja sesuai arahan mandor Belanda. 

Tak sedikit yang akhirnya meninggal karena kelelahan dan tidak mendapat asupan makan yang memadai.

Bukan hanya itu. Rakyat Toto-Tana Dea pun dituntut untuk membayar pajak yang tinggi. 

Sebagai pemimpin, Kepa Bhiu marah atas perlakuan sewenang-wenang Belanda dan para kaki tangannya. Ia kemudian mengajak warga Toto-Tana Dea untuk mangkir, tidak ikut kerja paksa selama  berminggu-minggu. Akibatnya, Belanda murka dan mengirim pasukan untuk menaklukkan Kepa Bhiu dan warganya. 

Strategi Perang, Panglima Tertinggi: Kepa Bhiu 

Mendengar bahwa pasukan Belanda datang, Kepa Bhiu menyusun strategi perlawanan. Ia menyadari bahwa kekuatan rakyat Toto-Tana Dea bukan pada persenjataan. 

Sebab, kaumnya hanya memiliki persenjataan yang  sangat sederhana yaitu  tuba-woka (tombak- tombak berkait), wo’o (panah), pedang dan supi (sumpit). Namun, ia tahu betul bahwa orang Toto-Tana Dea sangat setia membela tanah leluhur mereka.

Oleh karena itu, ia mengajak seluruh rakyat, terutama para lelaki dewasa, untuk siap bertempur. Ia pun memilih beberapa panglima dan komandan untuk menggunakan strategi perang yang rapi di masing-masing wilayah.

Wilayah perlawanan dibagi ke dalam beberapa bagian. Pertama, wilayah Tengah dan  Selatan (daerah Toto- Pipi Tunga, Kedi Dutja,  dan sekitarnya dan Ute-Madasela, serta Watuwake, Teo Kodo hingga Nangapanda di Tana Dea bagian selatan). 

Wilayah ini dipimpin langsung oleh Kepa Bhiu, dibantu oleh Wani Ghode dari Ute - Madasela, di wilaya Selatan, dan Rubu Radja dari Tiewa di wilayah Tenggara.

Wilayah Utara dipimpin oleh Nipa Do dengan pusat koordinasi di Wodowae, Malidewa hingga Watuapi.  

Oleh karena wilayah Utara sangat luas dan terbuka, maka diangkat pula beberapa komandan pasukan.   Datja Dhosa misalnya ditugaskan untuk memimpin pasukan di Watuapi.  

Di sebelah timur, di wilayah adat Tana Dea, ada Papu Sangu yang memimpin pasukan dari Kamubheka dan Deru Gore, yang mengomandani pasukan  dari Rate Suba. 

Koordinasi dan pembagian tugas ini mencerminkan strategi multi-front perlawanan rakyat Toto-Tana Dea terhadap penindasan yang dilakukan pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Semua jalur masuk dijaga, semua pintu keluar diawasi.

Perlawanan Nipa Do dan komandan lainnya di Utara

Kawasan Wodowae-Watuapi dianggap paling rawan. Soalnya, pasukan Belanda bisa datang dari arah Laut Flores yang terbuka lebar.

Sejumlah narasi lisan menyebutkan bahwa perlawanan rakyat  di kawasan utara adalah perang berkuda. Para pria Watuapi  yang biasa berburu rusa tampil gagah-perkasa untuk bertarung mati-matian melawan tentara Belanda. 

Dari punggung kuda yang sedang berlari mereka membawa tombak (tuba), menerjang barisan pasukan Belanda dari balik semak belukar, lalu menikam anggota pasukan Belanda yang panik.

Namun, karena Belanda menggunakan senjata modern, lama-kelamaan pasukan Nipa Do, terdesak. Nipa Do sendiri mundur ke Kedi Dabho (Gunung Lambo) lalu menyusun siasat perang gerilya dari tempat persembunyian.

Beruntung ketika Nipa Do semakin terdesak, datang bala bantuan dari pasukan Dhedhu Wati dari Suku Labo, pasukan Rae Sape dari suku Dhawe,  dan pasukan Cera Nono dari Suku Redu.

Bersama bala bantuan itu, Nipa Do dan pasukannya kemudian memberikan perlawanan yang menyulitkan serdadu Belanda. Menerapkan strategi perang gerilya, mereka  melakukan serangan kilat lalu menghilang dan memutuskan rombongan logistik Belanda yang melintasi Kali Lambo (Dowo Dabho).

Namun, pasukan Belanda tampak begitu perkasa. Merasa sudah terdesak, Nipa Do melakukan strategi budaya untuk mendapatkan dukungan penuh dari Suku Redu. 

Dikisahkan, pada masa persembunyian di Kawa, Nipa Do menikahi tiga anak gadis setempat, mengikat hubungan sosial-budaya dengan rakyat lokal. Bukti keterlibatan Kawa dalam perjuangan Nipa Do  terlihat pada sisa-sia meriam dan bekas pos Belanda.

Namun, -sebuah versi lisan menuturkan-, atas siasat busuk dari sekelompok pengkhianat, Nipa Do  dituduh membunuh seorang pedagang kaki tangan pedagang Cina di Rate Dao, sehingga  Belanda menjadikannya buronan. Ia kemudian ditangkap tanpa perlawanan berarti di Kampung Nusa, dan tewas oleh peluru pasukan Belanda. 

Pertempuran di Wilayah Tengah dan Selatan

Ketika Nipa Do dan pasukan gigih menahan serangan di Utara Kepa Bhiu mengatur perlawanan di wilayah Tengah dan Selatan. Pusat pertahanannya ada di Pipi Tunga, dekat Kampung Koekobho sekarang.

 Ia juga mengatur serangan mematikan di wilayah Selatan dan Tenggara. 

Ada beberapa aksi penting  yang patut dicatat dari rangkaian perlawanan di wilayah pusat, selatan dan tenggara ini. 

Pertama, didukung oleh pasukan dari Tiwe yang dipimpin Rubu Radja, pasukan Kepa Bhiu berhasil membumihanguskan markas atau asrama pasukan Belanda di Nangapanda.

Kedua, bersama Wani Ghode, asistennya di wilayah Selatan, pasukan Kepa Bhiu berhasil menjebak dan membantai sekitar 200 anggota pasukan Belanda di Malasera (Madasela). Aksi ini mewariskan jejak berupa kuburan massal yang masih tampak hingga kini di pinggiran Kampung Madasela (P.H Doko, 1984). 

Ketiga, praktik penyergapan terhadap pasukan Belanda yang berupaya menyerbu Pipi Tunga. Salah satu titik jebakan yang paling mematikan ada di Dia Bhui, tak jauh dari Kampung Madakisa sekarang.

Perlawanan yang multi-front

Berdasarkan narasi di atas, dapat dikatakan bahwa  sejarah perlawanan rakyat Toto-Tana Dea yang sesungguhnya bersifat multi-front. Dan, perlawanan itu dilakukan melalui strategi yang cerdas dan  sistem koordinasi yang rapi.

Tak heran, penulis Jerman, Stegan Dietrich (1989) menyebutkan bahwa “perlawanan di Flores Tengah adalah perlawanan dengan koordinasi paling rapi dibandingkan dengan semua perlawanan rakyat di seluruh Flores. 

Dalam perlawanan itu, semua pejuang sangat berdisiplin, dan sangat cerdik dalam melakukan taktik gerilya.

Gou menyatakan, perlawanan rakyat Toto-Tana Dea jauh lebih kompleks dari narasi tentang Nipa Do.

Nipa Do, kata dia, memang panglima penting yang berjuang melawan Belanda di wilayah Utara. Namun, ia  berada di bawah garis komando, panglima utama Toto-Tana Dea,  Kepa Bhiu. 

Jadi, Gou menegaskan, pusat perlawanan orang Toto-Tana Dea, sentranya ada di Pipi Tunga, bukan Watuapi atau di tempat yang lain.

“Jika selama ini ada narasi yang distorsi, mungkin itu sengaja dibuat untuk memberikan penghargaan atas perjuangan Nipa Do. Tetapi, ada alur yang harus diluruskan supaya generasi muda tahu bahwa Kepa Bhiu adalah tokoh utama dalam perlawanan rakyat Toto-Tana Dea terhadap Belanda. Sebab, Kepa Bhiu adalah pemimpin tertinggi Toto-Tana Dea, ” jelas Gou yang adalah  putra Nunudhele -Nangadodo, kini menetap di Magelang.

Menurut Gou, berdasarkan keterangan dari sang kakek misterius di Kotjamata pada tahun 1975, dan setelah mendengar langsung dari para tua-tua Toto-Tana Dea,  dapat disimpulkan bahwa Nipa Do bukan tokoh utama dalam sejarah perlawanan rakyat Toto-Tana Dea. 

“Tetapi ia adalah salah satu  bagian penting dalam struktur komando besar di bawah Kepa Bhiu, ang berpusat di Pipi Tunga, wilayah di sekitar Koekobho sekarang,” ujarnya.

Sepakat dengan Gou, Simon Sede, putra Toto yang kini berdomisili di Kolikapa, Danga,  menegaskan: “Kebenaran sejarah bukan pada narasi yang tersurat, melainkan pada yang tersirat dalam hati masyarakat. Sejarah hidup di sanubari orang Toto-Tana Dea, bukan sekadar arsip Belanda.”

Ada yang Mati Terbunuh, Ada yang Ditangkap dan Dipenjarakan

Perlawanan rakyat Toto-Tana Dea menimbulkan korban harta dan jiwa di kedua belah pihak. Tak ada data yang jelas berapa total serdadu yang tewas.

Begitu pula tak ada data yang mencatat jumlah korban di pihak orang Toto-Tana Dea.

Namun, yang pasti narasi lisan menyebutkan perjuangan Nipa Do berakhir ketia ia tewas dibunuh Belanda di Kampung Nusa, dan dimakamkan di Bukit Nusa Padha Yaca.

Sementara itu, Sangu Papu, tangan kanan Deru Gore dari Tana Dea ditangkap, lalu dibuang dan dipenjarakan selama 10 tahun di Singapura, 

Nasib tak baik juga menimpa para panglima  yang lain.  Datja Dhosa (Watu Api), Deru Gore (Kamubheka) , Rubu Radja (Tiwe) dan Sato Djoto (Kaburea) tertangkap dan dipenjarakan di Ende, dan ada pula yang dibawa ke Kupang

Panglima tertinggi Kepa Bhiu juga ditangkap dan ditembak mati. Kematiannya tidak memadamkan api perlawanan, tetapi semakin mengobarkan  semangat rakyat — dan mengguncang hati istrinya, Ine No’o. 

Wanita itu pun naik ke punggung kuda, memimpin pasukan melakukan serangan yang menakutkan. Ine No.’o membuktikan bahwa keberanian bukan monopoli laki-laki. Sampai akhir hayatnya, ia menjadi simbol perlawanan perempuan Toto.

.Do Kepa yang Kharismatiik dan ‘Sakti’

Darah ‘kepahlawanan’ Kepa Biu dan Ine No.’o kemudian mengalir deras dalam tubuh putra mereka, Aloysius Do Kepa.

Tidak diketahui persis, kapan Do Kepa dilahirkan. Beberapa sumber lisan memperkirakan ia lahir pada awal dekade 1900-an.

Jurnalis senior asal Toto-Wodowae, Primus Dorimulu menyebutkan, Do Kepa adalah putra Kepa Bhiu dan Ine No’o. Sebagai putera kepala suku, ia mendapat privilese untuk mengenyang pendidikan formal. 

Dikatakan,  Do Kepa adalah seorang guru, tamatan "OVO" (Opleidingschool voor Volks-Onderwijzer), di Ndona, 

Sekadar informasi,  OVO sendiri adalah pengembangan dari Normaalcursus. Misi utama OVO mendidik guru sekolah. Di wilayah Flores, OVO pertama kali dibuka di Larantuka pada tahun 1913 dan kemudian juga didirikan di Ndona pada tahun yang sama.

Selain terdidik, Do Kepa juga adalah figur muda yang berkharisma, bahkan dipandang tokoh yang ‘sakti’. Namun ia  bukanlah pejuang dalam pengertian ‘mengangkat senjata’ sebagai ‘panglima perang’, melainkan seorang ‘penggerak’ yang membuka kesadaran spiritual dan wawasan  politis warga Toto-Tana Dea. 

Ia adalah tokoh spiritual yang taat pada hukum dan ritual adat. Ia juga mendorong orang Toto-Tana Dea untuk setia mempertahankan adat-istiadat dan melakukan ritual adat secara benar.

Ia menggerakkan orang Toto-Tana Dea  untuk menuntut pembebasan para  pejuang mereka yang dipenjarakan Belanda.

Bahkan,  ia berambisi ikut dalam pergerakan nasional. Dikatakan, ia bertekad keras untuk menghadiri Kongres Pemuda di Batavia (27-28 Oktober 1928). Kunu Toto-Tana Dea pun sangat mendukung rencananya untuk menjadi salah satu  wakil Jong Flores

Namun, saat gencar menggalang dana untuk biaya perjalanan menuju ke Kongres Pemuda, di Batavia, dia ditangkap Belanda dan dibuang ke Jawa. Ada sumber lisan lain yang menyebut dia mungkin dibuang ke Kaledonia Baru. 

Kepergiannya diratapi banyak orang, dan kisah hidupnya diceritakan dari generasi ke generasi. 

Tak heran, hingga ada sebagian generasi pre-boomer di Toto-Dana Dea yang yakin bahwa Do Kepa masih hidup. Bahkan, mereka menganggap Bung Karno yang menjalani masa pembuangan di Ende (1934-1938) sebagai ‘penjelmaan’ Do Kepa sendiri. 

Secara rasional,  anggapan seperti itu tentu tidak masuk akal dan a-historis. Namun, itu  adalah ekspresi ‘kenangan dan rasa bangga’ orang Toto-Tana Dea akan tokoh terbaik yang pernah mereka punya.

Dengan demikian, Do Kepa sejatinya menjadi figur yang merangkum seluruh kisah kepahlawanan di wilayah Toto-Tana Dea. 

Dia  adalah pahlawan, bukan karena telah meraih kemenangan gilang gemilang di medan perang, tetapi karena spirit hidupnya mampu menumbuhkan harapan,   dan narasi tentang kesaktiannya terus bergema dalam hati sanubari rakyat. (Map/Tim Redaksi)***