NTT
Minggu, 12 Desember 2021 17:04 WIB
Penulis:redaksi
Editor:redaksi
KONDISI kehidupan masyarakat dengan tingkat elektrifikasi rendah, atau tanpa listrik sama sekali, sangat miris dan memprihatinkan. Suasana prihatin itu sangat mudah ditemukan di hampir seluruh pelosok Indonesia, terutama di kawasan timur seperti di Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).
Rasio Elektrifikasi Terendah
Hingga akhir kuartal 2021 ini, NTT menyandang sebuah label baru: Provinsi dengan Rasio Elektrikikasi Terendah di Indonesia.’ Sebutan tersebut tersirat dari pernyataan pihak PLN dan Kementerian ESDM sendiri.
Kepada sejumlah wartawan di Kupang, Rabu (18/8) General Manager PLN Unit Induk Wilayah NTT Agustinus Jatmiko menyampaikan bahwa rasio desa berlistrik (RDB) di NTT telah mencapai 96,6 persen. Agustinus juga mengungkapkan bahwa rasio elektrifikasi di NTT telah mencapai 88,82 persen.
Sementara itu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyebutkan bahwa hingga akhir kuartal III 2021 rasio elektrifikasi Indonesia telah mencapai 99,40 persen. Dan, NTT adalah satu-satunya provinsi di Indonesia yang rasio elektrifikasinya di bawah 90 persen. (Bdk. setkab.go.id, 22 November 2021).
Mengapa begitu? Alasannya, jelas seorang pejabat PLN kepada penulis dalam sebuah wawancara untuk penulisan buku Keadilan Listrik (2018), karena kondisi geografis NTT yang sangat berbukit dan tanahnya yang berbatu. Sehingga butuh waktu lama untuk mendistribusikan tiang listrik, dan butuh upaya ekstra untuk memancangkan tiang-tiang listrik itu.
Sayangnya, masalahnya tidak berhenti di sana. Sebagian warga NTT (umumnya di Kota Kabupaten dan Kecamatan) yang sudah bisa akses energi listrik sejak beberapa dekade lalu, punya pengalaman ‘pahit’ dengan pasokan energi PLN. Betapa tidak, listriknya sering sekali mati (padam) dan hidup (nyala) secara tak menentu.
Oleh karena itu, menjadi hal biasa bila di berbagai platform media sosial orang NTT, beredar berbagai komentar mengenai PLN, mulai dari ungkapan sinis yang halus hingga kata-kata umpatan dan makian. Sebab, listrik yang mati dan hidup tak tentu jadwalnya, membuat berbagai urusan mereka menjadi runyam.
Biasanya, umpatan spontan terlontar karena listrik padam mengganggu, bahkan menghentikan aktivitas mereka dalam ‘bermedia sosial’. Maklum, ketika listrik padam maka tentu saja mereka tak bisa mengisi kembali baterai telepon cerdas. Lagi pula tanpa listrik, jaringan internet pun langsung lenyap.
Listrik dan Internet, Saling Melengkapi
Listrik dan internet itu ibarat pasangan suami istri yang saling melengkapi. Tanpa listrik, internet tak bisa hadir. Tanpa jaringan internet, listrik itu pun sia-sia.
Paling tidak, hal itu berlaku bagi para pengguna telepon cerdas, pegiat media sosial, dan terutama bagi para pelajar yang karena pandemi Covid-19 terpaksa belajar secara online.
Itu sebabnya menjadi berita biasa di berbagai media di NTT perihal para siswa atau pun mahasiswa yang mendaki puncak bukit, bahkan memanjat pohon kayu untuk mendapatkan sinyal internet supaya mengakses informasi terkini dan ilmu pengetahuan terbaru dalam rangka menyelesaikan ataupun menguggah tugas sekolah/kuliah.
Makanya, penulis merasa geli ketika membaca laporan sebuah media nasional yang dipetik dari pernyataan pihak otoritas pendidikan di negeri ini perihal pembelajaran online sebagai dampak dari pandemi Covid-19 mulai merebak 2 Maret 2020.
Pada 26 Maret 2020 pihak otoritas pendidikan sesumbar bahwa proses pembelajaran online telah berjalan baik di seluruh Indonesia. Bahkan pada statistik yang ditampilkan media tersebut tampak bahwa penerapan pembelajaran online pada tingkat SMA di NTT lebih massif dibandingkan dengan yang terjadi di DKI Jakarta. (Bdk. EnbeIndonesia.com, Sabtu, 2 Mei 2020).
Bagi yang berpikiran waras, data dan laporan seperti itu sudah jelas adalah sebuah kebohongan publik. Sebab data tersebut tidak selaras dengan kondisi riil ketersediaan infrastruktur telekomunikasi dan listrik yang sangat terbatas di NTT dan wilayah timur Indonesia.
Melihat Listrik dari Jauh, Sembari Mengandalkan Lampu Pelita
Sebetulnya, bagi sebagian warga NTT, energi listrik bukan barang baru sama sekali. Sebab, di banyak pusat Misi Katolik dan Zending Protestan di NTT listrik sudah lama hadir, bahkan sejak jaman pra kemerdekaan, sekitar1920-an lalu.
Namun, selama hampir seabad, sebagian besar warga NTT hanya melihat listrik dari jarak jauh. Mereka tak pernah membayangkan bahwa energi listrik adalah sebuah kebutuhan, apalagi sebuah keniscayaan.
Cerita seputar listrik di NTT, terekam jelas dari hikayat hidup Dodo Mai berikut ini:
Dodo Mai adalah seorang anak lelaki yang terlahir pada akhir dekade 1960-an di Bengga, sebuah kampung terpencil di pesisir pantai selatan, wilayah bagian tengah Pulau Flores.
Detik-detik kelahiran Dodo Mai boleh dibilang penuh dengan aroma mistik. Keluarga Dodo Mai tinggal di sebuah rumah panggung berukuran 42 m², yang disekat dengan gedek, dinding dari anyaman bambu, menjadi tiga ruangan. Rumah itu agak terpisah dari para tetangga, dan hanya sepelemparan batu jauhnya dari bibir pantai.
Malam makin larut, Wuda (26) makin gelisah. Sesekali ia melongok ke ruang, di mana istrinya, Aso (25), berbaring, merintih kesakitan sembari mengelus-elus perutnya.
Di samping Aso, duduklah Ema Mogi, wanita tua yang adalah seorang dukun bersalin. Sesekali Ema Mogi mengoleskan minyak dan menempelkan ramuan obat tradisional ke pinggang Aso. Mulut Ema Mogi tak berhenti komat-kamit memohon pertolongan yang para leluhur dan Yang Ilahi.
Ruang persalinan itu tanpa dipan. Beberapa lembar tikar dari pandan langsung dibentangkan di atas bambu yang dicincang. Di tengah ruangan bersalin itu ada tiang dari batang kayu mahoni. Pada tiang itu, digantungkanlah lampu minyak yang terbuat dari kaleng bekas.
Nyala api pada lampu itu berkibar kian kemari, redup dan terang, silih berganti, akibat hembusan kencang angin laut yang menerobos masuk melalui celah-celah dinding gedek, cincangan bambu yang memang tak rapat dianyam.
Lewat tengah malam, suara tangisan bayi pun pecah. Eaaa…eaaa…eaaa. Suara tangisan itu seakan berlomba dengan suara deburan ombak. Itulah suara pertama, bayi laki-laki yang kemudian diberi nama Dodo Mai, seturut nama leluhur dari ibunya.
Kala usianya baru menginjak dua bulan, Dodo Mai diboyong sang ayah yang adalah seorang guru, pindah dari Sekolah Dasar Katolik (SDK) Bengga ke SDK Kojamata di Malasera, sebuah kampung kecil yang letaknya sekitar 60 km arah Timur Laut.
Keluarga itu bermigrasi melalui jalur laut pada malam hari, menggunakan sampan nelayan dengan daya muat sekitar 10 orang. Itu adalah pilihan terbaik yang dapat diambil untuk menghindari sengat matahari di siang hari melalui jalur darat, di bibir pantai yang gersang.
Malasera adalah sebuah kampung yang berada dekat aliran sungai. Di pinggiran kampung itu terdapat sebuah kubangan kerbau sekitar 400 m² dan dihuni ribuan kodok. Jika turun hujan, pasukan kodok itu pun bernyanyi: kung kong, kung kong, kung kong...Di malam yang gelap gulita, nyanyian kodok itu kedengarannya seperti suara musik dangdut. Namun, bagi anak-anak, suara itu menebarkan nuansa yang menyeramkan dan membuat tidur malam menjadi tak bisa pulas.
Kampung Malasera adalah lembah terisolasi karena dikitari bukit-bukit tinggi berhutan lebat. Jarak pandang ke sekeliling tak lebih dari 500 meter. Satu-satunya jarang pandang terjauh didapati hanya ketika menengadah ke langit, ketika menyaksikan elang Flores yang perkasa membawa pergi ke angkasa seekor ayam atau anak kambing atau anak babi dicengkeramannya. Biasanya, serangan elang menghebohkan seluruh warga kampung, karena ayam dan hewan seperti kambing dan babi yang berkeliaran di tengah kampung lari simpang siur.
Jadi, Dodo Mai kecil benar-benar hidup bak ‘katak dalam tempurung’. Setiap hari ia dan teman-teman sebayanya hanya berkutat dengan lingkungan alam di sekitarnya. Tak bisa menikmati pemandangan alam dengan horizon yang jauh dan luas.
Meski begitu, bertumbuh di Kampung Malasera ada nikmatnya. Sebab, banyak kenikmatan yang dicari melalui wisata zaman sekarang bisa dinikmati di sana. Apabila ingin berenang atau menyelam, Dodo Mai dan teman-teman pergi ke Late Ndona, sebuah kolam alamiah.
Untuk menikmati udang bakar, mereka tinggal menelusuri celah-celah batu di sungai itu, sebab banyak udang di sana.
Jika ingin main perang-perangan, Dodo Mai dan teman-temannya tinggal memangkas pelepah daun pisang di kebun di sekitar rumah, lalu menjadikannya seperti ‘senjata’.
Jika ingin punya radio mainan, ia cukup menangkap kumbang pohon lalu menaruhnya dalam dus korek api. Kumbang akan mengeluarkan suara gemerisik, ketika Mali menyentilnya dengan lidi.
Jika ingin main sepak bola, ia dan teman-teman hanya perlu membungkus daun pisang yang sudah kering atau sabut kelapa kemudian merajutnya dengan tali gebang untuk dijadikan bola.
Waktu ada pesta adat, Dodo Mai dan teman-temannya akan mendapat bola istimewa terbuat dari kantong kemih kerbau yang diinjak-injak hingga tipis lalu ditiupkan. Setelah dibalut dengan daun pandan, bola beraroma pesing ini pun bisa melambung tinggi, dan melenting beberapa kali, mirip bola plastik yang dijual di pasar.
Pada waktu bulan purnama, halaman kampung Malasera jadi terang benderang, cukup mirip dengan suasana Gelora Senayan yang disinari lampu sorot di waktu malam. Biasanya, terutama jika ada Gewu, acara makan ‘nasi baru’ dari hasil panen padi ladang, di bawah terang bulan purnama itu, Dodo Mai dan teman-temannya pun bermain apa saja, mulai dari Sepak Bola, Tudhu Adu (permainan saling dorong alu), Podhi Adu (Rangku Alu), hingga Terima (Gobak Sodor).
Media yang membuat Dodo Mai bisa berimajinasi tentang dunia luar adalah majalah Misi SVD, bernama Kunang-Kunang (untuk anak-anak). Majalah setebal 24 halaman nongol hanya sekali dalam sebulan.
Selain itu adalah pesawat radio. Dari radio, kuping Dodo Mai akhirnya akrab dengan siaran radio Australia dari Melbourne yang selalu dibuka dengan suara unik burung Kookaburra. Dari kotak kecil bermerek Sony itu, berkumandang lagu-lagu kondang dari grup Koes Plus, ataupun dari penyanyi duet Muchsin dan Titiek Sandhora. Juga, sandiwara radio dari RRI Makasar yang bertajuk ‘Butir-butir Pasir di Laut.’
Perkenalan dengan Listrik
Perkenalan pertama dengan listrik terjadi ketika Dodo Mai berusia lima tahun, saat mengikuti Pesta Natal di Galawea, pusat Paroki Ndora, yang berjarak sekitar15 km dari Malasera, dan ditempuh lebih dari empat jam karena jalan setapak yang menanjak sekitar 75 derajat.
Di Galawea ada generator pembangkit energi listrik untuk menerangi gereja St. Petrus (Martir) dan Pastoran, rumah yang didiami Pastor Josef Wiese SVD, seorang misionaris berkebangsaan Jerman.
Perkenalan berikutnya, tahun 1976, saat Dodo Mai duduk di kelas tiga Sekolah Dasar, dan menemani pamannya, Frans Sale, menjual buah jeruk Cina (Mandarin) dan pisang Brangan ke kota Ende, sekitar 50 km dari kampung Malasera. Itu untuk pertama kalinya Dodo Mai merasakan bagaimana menumpang moda transportasi darat yang oleh orang Flores kala itu disebut ‘Oto Bemo’.
Ende itu pusat misi Katolik di Pulau Flores. Sejak sekitar1920-an, para misionaris Eropa sudah membangun infrastruktur listrik dan telepon, penerbitan dan pembuatan film di sana.
Kembali dari Ende, wajah Dodo Mai berbinar-binar menceritakan pengalamannya tentang ‘misteri’ lampu listrik yang terang benderang di kota tempat Bung Karno menggali sila-sila Pancasila.
Rasa kagum Dodo Mai akan misteri listrik kian menjadi ketika ia tamat Sekolah Dasar dan masuk ke Seminari Mataloko (pesantrennya orang Katolik) pada Juni 1981.
Di halaman Seminari Mataloko ada lampu taman, seukuran bola basket besarnya. Ketika melihat lampu taman itu menyala, Dodo Mai berbisik ke teman di dekatnya penuh rasa kagum. Katanya, “Ndoe, ini lampu besar sekali ko. Seperti bulan purnama saja ya?”
Ya, bagi Dodo Mai dan anak-anak di kampung-kampung di Flores kala itu,—barangkali juga di wilayah perdesaan di seluruh Nusantara—listrik itu sama saja dengan ‘magic’, suatu hal yang tak masuk akal sehat. Bagi mereka, cahaya terang benderang tanpa ada asap dan material yang terbakar, itu mustahil. Itu hanya bisa terjadi pada bulan di langit. Juga ada dalam cerita mistik orang-orang tua tentang cahaya yang keluar dari bokong suanggi yang turun ke kolong rumahnya lalu terbang melintasi kampung di malam nan gelap gulita.
Itu pemahaman dan pengalaman Dodo Mai tentang listrik pada empat dekade yang lalu. Selama di Seminari dan kemudian melanjutkan studi di sebuah Sekolah Tinggi di Malang, Jawa Timur, Dodo Mai menjadi sangat terbiasa dengan listrik.
Ia kemudian meniti karir sebagai wartawan di ibukota negara, Jakarta. Sebagai wartawan ia pernah mendapat kesempatan menjalani tugas jurnalistik di banyak negara di dunia, seperti Jepang, Taiwan, Australia, Selandia Baru, Jerman, hingga Amerika Serikat. Tak tekecuali di New York, kota yang menjadi markas General Electric Company perusahaan multinasional teknologi dan jasa Amerika Serikat yang dirintis oleh sang penemu listrik, Thomas Alfa Edision dan kawan-kawannya pada 1892 silam.
Cara Pandang dan Pola Hidup Warga Tanpa Listrik
Hidup tanpa listrik tak hanya membuat masyarakat tetap tenggelam dalam suasana hidup yang mistis-magis, dan cara berpikir yang arkais. Mereka cenderung memahami gejala alam dan peristiwa kehidupan secara tak rasional.
Contoh, ketika ada bencana alam atau kecelakaan, mereka segera memahaminya sebagai kutukan dari para leluhur dan Yang Mahakuasa.
Ketika ada yang sakit atau meninggal secara tiba-tiba, mereka langsung mencurigai, bahkan menuduh seseorang sebagai suanggi (tukang santet). Menurut bahasa lokal fenomena sosial seperti itu disebut Pe'u Podo (Pe'u Polo).
Bukan hanya itu, ketiadaan listrik membuat warga di perdesaan terpasung dalam kebodohan dan kemiskinan. Tanpa listrik, anak-anak desa seperti Dodo Mai nyaris tak pernah belajar di rumah di waktu malam.
Apabila harus mengerjakan PR atau hendak menghadapi ujian, Dodo Mai terpaksa menyalakan lampu pelita dan harus siap menerima kenyataan bahwa lubang hidungnya dipenuhi jelaga hitam.
Tanpa listrik, Dodo Mai dan jutaan anak-anak di desa di wilayah timur Indonesia hingga awal abad ke-21 ini tak punya peluang untuk menonton televisi atau mengakses internet, yang adalah sumber informasi, ilmu pengetahuan, dan hiburan.
Tanpa listrik, para ibu rumah tangga di kawasan itu tak dapat menyimpan sayuran, daging, dan susu segar untuk waktu lama. Dengan demikian, pola asupan makan warga, terutama anak-anak di desa-desa di wilayah timur Indonesia sangat tak teratur, dan jauh dari standar kesehatan.
Ketika ada persediaan daging atau ikan segar dalam jumlah banyak, anak-anak bisa makan daging/ikan hingga sepuas-puasnya. Setelah itu, mereka tak pernah lagi makan daging atau pun ikan hingga berbulan-bulan lamanya. Dan, boleh percaya, boleh juga tidak, pola makan seperti itu masih lumrah hingga sekarang ini.
Keadaan Terkini
Awal Desember ini, Dodo Mai menyambangi kampung halamannya untuk suatu urusan. Kondisi fisik kampung memang cukup banyak berubah. Terutama, hampir semua warga kampung sudah memiliki rumah permanen.
Halaman kampung memang tampak lebih rapi dan bersih karena binatang peliharaan tidak lagi berkeliaran di sana. Namun, ketika malam, suasana kampung masih seperti empat dekade lalu: gelap gulita.
Memang, ada beberapa warga yang menginstalasi panel listrik tenaga surya. Namun, panel listrik itu hanya mampu menyalakan dua bohlam 20 watt, dan mengisi baterai telepon seluler yang sudah lemah.
Warga kampung itu masih belum bisa menikmati siaran televisi. Mereka juga tak bisa mengawetkan makanan segar dengan kulkas.
Tanpa pasokan energi listrik, dengan sendirinya warga Malasera pun tak punya akses ke jaringan telekomunikasi dan internet, karena tak ada sinyal analog atau gelombang elektromagnetik.
Untuk bisa bermedia sosial atau pun berkomunikasi melalui telepon dengan orang di tempat yang jauh, mereka harus ke pusat Kecamatan Nangapanda, sekitar 10 km jaraknya.
Dari kondisi infrastruktur listrik dan telekomunikasi serta jaringan internet seperti itu, pembaca dapat membayangkan sendiri, bagaimana proses pembelajaran online di SDK Malasera.
Jika mau jujur, sesungguhnya kondisi seperti itu masih umum dijumpai di banyak kampung di kawasan perdesaan NTT. Makanya, penulis tak habis berpikir dan merasa sedih ketika mendengar cerita seorang corporate communication dari Konsorsium FiberHome, PT Telkom Infra dan PT Multi Trans Dat, penyedia infrastruktur base transceiver station (BTS) 4G di 2.700 desa Indonesia, bahwa seorang oknum pejabat di Nagekeo menyatakan bahwa di Nagekeo tidak ada lagi desa 3T, sehingga tak punya alasan untuk mengajukan proposal pemasangan BTS sebagaimana dilakukan pemerintah di kabupaten tetangga.
Petinggi PLN menyampaikan bahwa RD) di NTT telah mencapai 96,6 persen. Entah bagaimana cara PLN mendapat angka persentase setinggi itu, penulis tak tahu. Barangkali warga di semua desa di NTT tak ada yang memahaminya juga.
Namun, faktanya di banyak desa yang jauh dari jalan trans Flores misalnya, atau ruas jalan provinsi dan daerah, ‘makhluk’ yang bernama ‘listrik’ itu jarang dijumpai. Sebab listrik dan seluruh perangkat penunjangnya (tiang dan kabel listrik) umumnya ‘beristirahat’ di pusat kecamatan. Ia masih enggan menjangkau warga di desa karena berbagai alasan.
Dalam situasi seperti itu penulis kembali teringat akan Ignatius Jonan. Ketika menjabat sebagai Menteri ESDM, ia pernah menyampaikan keterangan resmi sebagai berikut: "NTT memang paling tertinggal dalam hal kelistrikan, itu saya paham. Saya janji akan dikejar sampai akhir 2019 untuk terlistriki seluruhnya." (Bdk. mediaindonesia.com, 30 Agustus 2018).
Tekad Ignatius Jonan untuk membuat NTT terang benderang, memang mulia. Namun, karena ia tidak lagi pada posisi sebagai menteri, maka kata-katanya hanya bisa dikenang sebagai janji belaka. Sebab, pada kenyataan, setelah dua tahun berlalu masih banyak kampung di pedalaman NTT tetap berselimutkan kegelapan yang pekat di waktu malam.
Kalau sampai ada yang menyeletuk, ‘hari gini, hidup tanpa listrik?’. Nah, bagaimana orang-orang di pedalaman NTT harus menjawabnya ya? (Oleh: M. Ali Perajaka dan Abraham Runga Mali) ***
6 hari yang lalu
18 hari yang lalu