Tuhan
Sabtu, 01 April 2023 20:39 WIB
Penulis:redaksi
(Minggu Palma:Yes 50:4 – 7; Flp 2: 6 – 11; Mt 26:14-27:66)
Ilustrasi.
Tahun 1886 terjadi penganiayaan besar-besaran terhadap orang-orang Kristen di Uganda oleh raja Muanga. Beberapa pegawai istana yang beragama Kristen sudah dipastikan akan dibunuh.
Sejumlah pejabat tinggi istana mendekati pegawai-pegawai itu dan menawarkan kesempatan kepada mereka untuk meninggalkan keyakinan agama kristen atau melarikan diri.
Tetapi mereka menjawab, “Kami bukan pengecut. Biarpun mati, kami tetap setia pada iman kami”.
Ketika raja untuk terakhir kalinya bertanya kepada mereka, entah mereka tetap memihak Kristus, mereka serentak menjawab, “Ya, baginda”.
Kemudian mereka diikat dan disekap dalam penjara. Dan beberapa hari kemudian mereka dijatuhi hukuman mati dengan cara dibakar hidup-hidup.
Refleksi.
Pada hari ini kita mengenangkan peristiwa Yesus memasuki Yerusalem untuk terakhir kalinya. Yesus masuk kota suci Yereusalem diiringi sorak-sorai spontan khalayak ramai dan dielu-elukan sebagai raja.
Mereka berseru, “Hosana bagi Anak Daud! Diberkatilah Dia yang datang dalam nama Tuhan. Hosana di tempat yang mahatinggi!”, (Mat 21:9).
Tetapi, Yesus sadar bahwa Ia masuk di kota Yerusalem untuk memenuhi kehendak Bapak, yakni menyambut penderitaan salib dan kematian sebagai sumber keselamatan bagi umat manusia dan jalan kepada kemuliaan-Nya.
Yesus yang diharapkan menjadi Mesias raja, kini tampil sebagai hamba Yahweh yang menderita. Ia merelakan punggung dipukul, pipi ditampar, wajah dicerca dan diludahi, (bdk Yes 50:6).
Melihat semuanya ini banyak orang tidak mengerti. Mereka kecewa, putus asa dan bahkan membelakangi Yesus.
Tetapi, sebagai Putera terkasih Bapa, Yesus menunjukkan ketaatanNya kepada kehendak Bapa demi keselamatan manusia. Ketaatan ini merupakan tanda kasih-Nya tanpa batas kepada Allah Bapa dan umat manusia.
Yesus menjadi hamba Allah yang sejati, sebab dengan berani dan perkasa Ia memperjuangkan kehendak Allah hingga titik akhir hidupNya.
Ia rela menderita dan mati di salib demi keselamatan umat manusia yang setia beriman. Kesediaan Yesus menanggung sengsara sampai mati menjadi kunci kemuliaan Allah dan keselamatan manusia.
Sebab justeru melalui derita dan kematian terungkaplah inti perjuangan Yesus, yakni mengantar kembali semua orang yang telah diserahkan Bapa kepada-Nya untuk diselamatkan.
Dan, kekuatan Yesus, sang Hamba Allah, terletak pada keyakinan bahwa Allah senantiasa setia membantu setiap orang yang berseru kepada-Nya. Allah setia kepada orang-orang yang setia dan senantiasa mengandalkan-Nya.
Sebagai pengikut Kristus, hidup kita tidak mungkin terpisah dari salib dan penderitaan. Keunggulan seorang pengikut Kristus dalam hidup sehari-hari haruslah ditampilkan lewat kerelaan dan ketulusan memanggul salib.
Sebab hanya melalui penderitaan dan salib bersinarlah hidup baru. Dan, jalan itulah yang harusnya kita tempuh bila kita mau hidup dan mengalami kemuliaan bersama Yesus.
Karena itu, bercermin pada kesaksian iman dan hidup para pegawai istana raja Uganda, yang rela mati demi iman akan Kristus, kita ditantang untuk meremumgkan hidup iman kita di zaman ini.
Apakah kita sungguh hidup sesuai dengan iman kita? Apakah dalam setiap kesulitan dan penderitaan kita tetap mengandalkan Tuhan?
Kita mesti ingat juga bahwa sikap menerima dan menolak Yesus, “Dia yang datang dalam nama Tuhan”, masih terjadi hingga saat ini.
Sudahkah kita menerima Yesus dan setia kepada-Nya dalam hidup sehari-hari? Atau, dalam situasi tertentu sering kita menolak Yesus?
Mari kita memasuki Pekan Suci 2023.
P. Gregprius Nule, SVD
Kewapante, Minggu, 02 April 2023. ***