Hardiknas
Senin, 02 Mei 2022 16:20 WIB
Penulis:redaksi
HARI ini kita mengalami suatu berkah yang luar biasa. Betapa tidak, ketika umat Islam menuntaskan Puasa Ramadhan dan merayakan Idul Fitri 1443H, kita sebagai warga bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) ke-61 (meski pelaksananya ditunda ke tanggal 13 Mei).
Sekalipun memiliki wilayah dengan latar belakang, konteks dan fokus yang berbeda, Idul Fitri dan Hardiknas berada wahana yang sama yaitu kebudayaan.
Sir Edward Burnett Tylor (1832- 1917), yang disebut ‘bapaknya ilmu kebudayaan’ mendefinisikan ‘kebudayaan’ sebagai "suatu keseluruhan yang kompleks mencakupi pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat, dan kemampuan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat"
Pengetahuan/pemikiran (pendidikan) dan kepercayaan (agama) adalah dua dari tujuh elemen utama kebudayaan. Kedua elemen kebudayaan itu sama-sama terkait dengan elemen kebudayaan yang lain yaitu moral atau sistem nilai yang meliputi sejumlah keutamaan atau kebajikan (virtues).
Kebajikan terdiri dari enam kategori, yaitu kearifan, kebenaran dan pengetahuan (wisdom, truth and knowledge), keteguhan hati (courage), perikemanusiaan dan cinta kasih (humanity and love), keadilan (justice), kesederhanaan (temperance), dan transendensi (transcendence) (Bdk.Christopher Peterson, Martin E.P. Seligman, 2004).
Idul Fitri: Merima Keutamaan dan Karunia Allah SWT
Secara leksikal, ‘Idul Fitri’ atau Eid-ul-Fitr yang ,berasal dari kata Id (Eid) yang berakar pada kata aada-yauudu yang artinya kembali. Sedangkan fitri (al-fitr) arinya suci, bersih dari segala dosa, kesalahan, serta keburukan yang diambil dari kata fathoro-yafthiru.
Ibnu Arabi, sebagaimana dalam Al Lisan, berkata, "Hari itu disebut ‘id’ karena ia senantiasa kembali setiap tahun dengan kebahagian yang baru.” (Bdk. Syarh Umdah al Fiqh, hal. 309). Oleh karena itu, hari raya Idul Fitri dimaknai oleh kaum Muslimin sebagai bentuk sukacita karena menerima keutamaan dan karunia Allah.
Berbahagia karena keutamaan dan karunia Allah adalah perintah Allah ‘azza wa jalla dalam Al Qur`an: “Katakanlah: “Dengan kurnia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan.” (QS. Yunus [10]: 58)
Ketika umat Islam merayakan Idul Fitri mereka kembali kepada asal kejadiannya yang suci dan mengikuti petunjuk Islam yang benar. Sederhanya, merea kembali ke jati dirinya, hidup dalam kebenaran dan keutamaan menurut perintah Allah SWT.
Dalam konteks budaya Indonesia, Hari Raya Idul Fitri juga populer disebut sebagai Lebaran.
Sastrawan Sunda, Mas Atje Salmun Raksadikaria dalam artikel yang dimuat di majalah “Sunda” pada tahun 1954 menyatakan bahwa istilah ‘lebaran’ ternyata berasal dari tradisi umat Hindu di Jawa yang berarti ‘selesai, usai, atau habis.’
Kemudian oleh para wali, istilah tersebut digunakan dalam konteks agama Islam, merujuk ke peristiewa ‘usainya puasa Ramadhan’.
Salah satu fenomena sosial budaya yang menyertai Hari Raya Idul Fitri atau Lebaran di tanah air kita adalah ‘orang-orang kembali ke kampung halaman atau kota, suatu eksodus yang lazim disebut ‘mudik’.
Tujuan perjalanan mudik adalah untuk merayakan Idul Fitri (Lebaran) bersama keluarga mereka, dan untuk meminta pengampunan dari orang tua, mertua, dan sesepuh lainnya.
Perayaan Idul Fitri (Lebaran) dimulai malam sebelumnya dengan melantunkan takbir. Pada pagi hari Idul Fitri, umat Islam menaikkan sholat Idul Fitri. Tak hanya beribada, umat Islam mengisi Idul Fiti dengan aksi sosial yang memberikan zakat untuk orang miskin, dan bersilahturami dan saling memaaafkan satu sama lain.
Pada hari itu pula mereka berkumpul dengan keluarga dan tetangga, mengenakan pakaian terbaik, menyajikan dan menyantap makanan khusus, membagikan hadiah bagi anak-anak.
Sekitar hari raya itu, umat Islam di Indonesia biasa berziarah ke makam kerabat untuk ritual membersihkan makam. Merka juga mengunjungi orang yang masih hidup dalam ritual khusus yang disebut Halal bi-Halal.
Merdeka Belajar dan Pendidikan Karakter
Dwiarso, (2010) dan Henricus Suparlan (2015) menyebutkan bahwa ketika membuka Taman Siswa di Yogakarta pada tahun 1922, Ki Hadjar Dewantara menerapkan filsafat pendidikan among, yaitu konvergensi dari filsafat progresivisme tentang kemampuan kodrati anak untuk mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi dengan memberikan kebebasan berpikir seluas-luasnya, dipadukan dengan pemikiran esensialisme yang memegang teguh pada warisan nilai-nilai kebudayaan.
Melalui filosofi ‘among’ Ki Hadjar Dewantara menerapkan ‘merdeka belajar’. Kongkritnya dia melarang adanya hukuman dan paksaan kepada anak didik karena akan mematikan jiwa merdeka serta mematikan kreativitasnya
Filosofi dan visi pendidikan Ki Hadjar Dewantara itulah yang menjadi rujukan ketika pemerintah merivatilisasi sistem pendidikan nasional melalui serangkaian kebijakan berkelanjutan yang disebut gerakan “Merdeka Belajar” mulai akhir 2019. (Bdk.George Chandra L. Detha, A.Md, 2020).
‘Merdeka Belajar’, adalah upaya untuk membebaskan pendidik dan peserta didik dari model pembelajaran yang dilandasi epistemologi ‘tabula rasa’ (papan kosong) yang menganggap setiap anak manusia lahir tanpa isi mental bawaan sehingga harus diisi sedikit demi sedikit melalui pengajaran guru, buku teks dan pengalaman hidup.
Menteri Nadiem Makarim mengatakan esensi dari ‘merdeka belajar’ adalah kemerdekaan berpikir. Merdeka Belajar’ adalah upaya untuk membantu peserta didik menjadi pribadi yang kreatif dan inovatif, selalu berpikir kritis dan out of the box sehingga bisa beradaptasi dengan lingkungan sosial yang dinamis. dan hal itu harus didahului oleh para guru sebelum mereka mengajarkannya pada siswa-siswi.
Selain itu, ‘Merdeka Belajar’ juga diadakan untuk menciptakan pengembangan karakter (character building) dimana para siswa belajar berkolaborasi dengan orang lain, menghormati perbedaan, bersikap adil, dan mengendalikan emosi negatif.
Meski pernah diterapkan Ki Hadar Dewantara pada 1922, dan digalakkan kembali tiga tahun lalu, konsep ‘Merdeka Belajar’ atau pendidikan sebagai wahana pembentukan karakter dan pencarian kebajikan bukankah sesuatu yang baru.
Rober Tatman dkk (2009) menyatakan, sejatinya konsep tesebut sudah sangat tua. Di dunia Timur, filsuf Cina dan pendiri Konfusianisme, salah satu agama dan keyakinan filosofis tertua di dunia, Konsusius (551-479 seb.M) menggagaskan pendidikan karakter yang menekankan nilai-nilai kemanusiaan, kebenaran, pengetahuan, keadilan, kepatutan, integritas, kesetiaan, berbakti dan pengawasan diri telah dijelaskan dan diterapkan (Bdk. Mei-Ju Chou, Yi-Chan Tu, dan Kai-Ping Huang, 2013).
Sementara itu di dunia Barat: Yunani dan Eropa, konsep ini tercermin pada pandangan para filsuf terkemuka seperti Plato, Aristoteles, Kant, dan John Dewey yang memahami bahwa tujuan pendidikan adalah untuk mendidik siswa menjadi warga negara yang baik dan berbudi luhur.
Rober Tatman dkk (2009) menjelaskan bahwa pada paruh kedua abad ke-5 seb.M, Isocrates (436-338), seorang sofis Yunani yang dianggap sebagai ‘Bapak Pendidikan’, menulis ringkasan kesimpulan dan tujuan pendidikan dalam bukunya Panathenaicus.
Bagi dia, orang yang berpendidikan adalah orang yang mengelola keadaan sehari-hari dengan baik, dan menunjukkan penilaian yang akurat, kesopanan, kebaikan, kehormatan, dan sifat baik. Individu yang berpendidikan juga menunjukkan kelambanan untuk tersinggung, disiplin dalam kesenangan, keberanian di bawah kemalangan, dan kerendahan hati dalam kesuksesan.
Singkat kata, Isocrates percaya bahwa orang-orang yang memiliki semua kebajikan tersebut adalah orang yang benar-benar terdidik, juga bijaksana dan lengkap.
Konsep itu selalu mendapat penekanan sepanjang sejarah. Pada abad ke-17, filsuf John Locke, filsuf menyatakan belajar adalah yang kedua setelah kebajikan. Locke mengatakan, “Membaca dan menulis dan belajar memang diperlukan, tetapi itu bukan urusan utama [pendidikan]. Yang utama adalah menumbuhkan kebajikan dalam diri siswa.” (Ronn Skinner, 2004).
Hingga pada tahun-tahun awal abad ke-21 ini, dunia pendidikan (sekolah) di berbagai belahan dunia, -termasuk di Indonesia -merebut kembali misi aslinya yaitu "membantu siswa mendapatkan kompas moral dan membentuk kebiasaan baik yang mereka perlukan untuk kehidupan yang sukses" (Bdk.Ryan, 2003).
Bersama Meraih Kebajikan
Dari pembahasan di atas, kiranya menjadi jelas bagi kita bahwa Idul Fitri dan Hardiknas adalah dua momentum kebudayaan yang memancarkan pesan yang senada.
Sebelum merayakan Idul Fitri, selama bulan suci Ramadhan, seluruh umat Islam diperintahkan untuk berpuasa: tidak makan dan minum sebagai suatu bentuk olah bathin mengendalikan dari hawa nafsu duniawi, sehingga bisa meraih kemenangan, menjadi manusia sejati; manusia yang meraih kemenangan; manusia yang menerima keutamaan dan karunia dari Allah SWT.
Peringatan Hardiknas juga memberikan pesan serupa. Hardiknas mengingatkan kita akan pentingnya pendidikan atau kegiatan belajar, terutama dalam dunia/masyarakat yang berbasiskan ilmu pengetahuan dan teknologi seperti sekarang ini.
Dalam konteks demikian, gerakan ‘Merdeka Belajar’ semestinya dimaknai sebagai upaya untuk menciptakan iklim yang kondusif agar selama masa pendidikan, setiap insan pembelajar dapat secara kreatif memanfaatkan segala sumber daya yang tersedia di sekolah untuk mengembangkan diri dalam seluruh aspek kepribadiannya.
Artinya, melalui menjalankan ‘Merdeka Belajar’ di sekolah, seseorang diharapkan dapat meraih keunggulan intelektual (memiliki pengetahuan), skills, kompetensi, dan kebajikan (virtues) yang dibutuhkan untuk bertahan hidup di abad ke-21. Secara keseluruhan, kebajikan memberi makna bagi kehidupan seseorang dan membantu dia mencapai kesuksan dan kebahagiaan dalam hidup.
Jadi, pada galibnya, momentum perayaan Idul Fitri dan Hardiknas secara bersama-sama mengajak seluruh warga bangsa Indonesia untuk selalu memperjuangkan dan ‘memuliakan’ kebajikan secara bersungguh-sungguh.
Namun, rupanya kepekaan dan kemampuan kita untuk menangkap pesan bersama dari dua peristiwa kebudayaan tersebu belum cukup cukup terasah. Makanya, dari tahun ke tahun kita cenderung melihat kedua peristia kebudayaaan secara terlepas satu dari yang lainnya.
Kita cenderung memahami bulan suci Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri yang dirayakan umat islam sebagai sebuah peristiwa keagamaan yang berdiri sendiri, dan demi meraih tujuannya sendiri pula.
Hal yang sama terjadi pada Hardiknas. Kita juga cenderung memandang Hardiknas sebagai sesuatu perayaan rutin dunia pendidikan yang berdiri sendiri, dan terarah pada tujuannya sendiri pula.
Padahal, dari berbagai argumen yang dikemukakan di atas, sangat jelas tampak bahwa kedua peristiwa kebudayaan itu terarah ke tujuan yang sama yaitu ‘meraih kebajikan’.
Tahun ini, secara kebetulan, Hari Raya Idul Fitri, 1 Syawal 1443H jatuh pada Senin, 02 Mei 2022, hari yang secara tradisonal didedikasikan untuk ‘berkaca’ tentang kegiatan pendidikan di tanah air kita. Oleh karena jatuh bertepatan dengan Hari Raya Idul Fitri dan menjadi Hari Libur Bersama, maka pemerintah menetapkan bahwa Hardiknas 2022 akan diperingati tanggal 13 Mei 2022.
Meski peringata Hardiknas ditunda, mudah-mudahan, kesamaan harinya dengan Hari Raya Idul Fitri, 1 Syawal 1443 H, tak dianggap sebagai sebuah kebetulan belaka. Lebih baik, kita menjadikannya sebagai ‘tanda pengingat’ bahwa baik Idul Fitri maupun Hardiknas adalah momentum berharga untuk menggelorakan motivasi dan semangat berjuang untuk meraih kebajikan secara terus menerus dan berkelanjutan. ***
Oleh: Maxi Ali P, Pemimpin Redaksi Floresku.com.
8 bulan yang lalu