Rabu, 17 Desember 2025 10:51 WIB
Penulis:redaksi
Editor:redaksi

JAKARTA (Floresku.com) -Jutaan lapangan kerja di kawasan Asia-Pasifik terancam seiring pesatnya adopsi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) di negara-negara kaya, sementara banyak negara berkembang masih bergulat dengan keterbatasan akses digital dan literasi teknologi.
Peringatan keras ini disampaikan para ekonom Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam laporan terbaru Program Pembangunan PBB (UNDP), Selasa (2/12)m awal pekan lalu.
UNDP mengibaratkan revolusi AI sebagai pengulangan sejarah industrialisasi abad ke-19 yang memecah dunia menjadi segelintir negara kaya dan mayoritas negara tertinggal.
“Negara yang berinvestasi pada keterampilan, daya komputasi, dan tata kelola yang kuat akan menikmati manfaat AI. Yang lain berisiko tertinggal jauh,” ujar Philip Schellekens, Kepala Ekonom UNDP untuk Asia-Pasifik.
Baca juga:
Laporan tersebut menyoroti bahwa perempuan dan kaum muda menjadi kelompok paling rentan terdampak otomatisasi dan perubahan pasar kerja. Jika tidak diantisipasi, lonjakan AI berpotensi mengorbankan kemajuan di sektor kesehatan, pendidikan, dan peningkatan pendapatan. Padahal, teknologi ini diproyeksikan menyumbang hampir 1 triliun dolar AS bagi perekonomian Asia dalam satu dekade ke depan.
Negara seperti China, Singapura, dan Korea Selatan disebut telah memetik keuntungan besar dari investasi AI. Namun, pekerja pemula di banyak negara Asia Selatan menghadapi paparan risiko tinggi akibat otomatisasi. Keterbatasan infrastruktur, keterampilan, dan kapasitas tata kelola justru memperbesar risiko pemutusan kerja, eksklusi data, hingga dampak tidak langsung seperti lonjakan kebutuhan energi dan air.
UNDP mendesak pemerintah agar tidak hanya mengejar kecepatan adopsi AI, tetapi juga mengedepankan etika dan inklusivitas. “AI melaju kencang, sementara banyak negara masih di garis start,” kata Kanni Wignaraja, Direktur Regional UNDP Asia-Pasifik.
Bagi negara seperti Kamboja, Papua Nugini, dan Vietnam, prioritas saat ini bukan mengembangkan AI canggih, melainkan memanfaatkan teknologi sederhana—seperti layanan berbasis suara—yang tetap berguna meski internet terbatas. Dengan lebih dari 55 persen populasi dunia tinggal di Asia-Pasifik, kawasan ini berada di pusat transisi AI global. Namun, seperti diingatkan UNDP, titik awal yang tidak setara berisiko memperlebar jurang ketimpangan paling dalam di dunia. (Sandra- Sumber: news.un.org/en/story/2025/12)