Rabu, 13 April 2022 11:22 WIB
Penulis:redaksi
Editor:MAR
RUTENG (Floresku.com) - Mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Manggarai yang juga merupakan mantan Penjabat Bupati Manggarai Timur (Matim), Drs. Frans B. Padju Leok angkat bicara terkait kebijakan menonjobkan 26 ASN oleh Bupati Manggarai, Herybertus G.L Nabit.
Frans Leok menilai kebijakan Bupati Nabit dan Wabup Ngabut tidak beretika, menciptakan masalah dan seperti sedang menggali kubur sendiri.
"Bagi saya ini jelas bermasalah. Waktu dengar itu saya prediksi, ini seperti menggali kubur untuk diri sendiri. Jadi bukan orang yang kita tanam di situ tapi kita sendiri. Artinya sendiri yang gali lubang, bukan kita mau tanam orang tapi kita sendiri yang masuk," ungkap Frans Padju Leok, kepada Wartawan di Ruteng, Selasa 12 April 2022 sore.
Frans Leok menjelaskan, sebagai orang yang pernah memimpin birokrasi, ia agak kaget dengan kebijakan nonjob para ASN di Manggarai. Pemerintah Daerah atau Bupati dan Wakil Bupati Manggarai di masa yang lalu jarang melakukan hal seperti itu.
"Karena kita sangat mempertimbangkan etika kepegawaian," katanya.
Pejabat diangkat melalui proses
Sekda Manggarai tahun 2006-2007 itu menjelaskan, seseorang yang dipercayakan untuk menduduki suatu jabatan, dalam diktum keputusannya selalu dinyatakan bahwa orang itu dianggap cakap dan mampu. Pengangkatan itu melalui berbagai proses seleksi.
"Nah kalau dia diturunkan tentu ada pertimbangan-pertimbangan terkait kecakapannya itu. Untuk itu kan ada proses. Katakanlah seseorang dianggap melanggar aturan," katanya.
Penjabat Bupati Matim tahun 2007-2009 itu menjelaskan, menurunkan seseorang dari jabatan tidak boleh dengan tindakan serta-merta melainkan harus melalui proses. Dalam arti jika bersalah atau melanggar aturan, pejabat itu harus diperiksa oleh aparat pengawas internal.
Kemudian ketika terbukti bersalah, maka penyelesaiannya pun harus sesuai dengan aturan misalnya dengan memberikan sanksi. Sebaliknya, jika tidak terbukti bersalah maka harus posisinya harus kembali pada posisi semula.
"Karena itu tadi, pertimbangan awal orang itu dianggap mampu dan cakap sehingga diberikan jabatan atau taruh di jabatan. Sehingga bagi kita agak heran lah kita dengan kebijakan (nonjob) ini," katanya.
Frans Leok menuturkan, dalam pengalamanya di dunia pemerintahan, ia tidak pernah menonjobkan atau menurunkan seseorang ASN dari jabatannya tanpa sebab atau alasan yang jelas.
Penurunan jabatan mungkin terjadi kalau seorang ANS tersandung kasus. Meski demikian tidak bijaksana jika seorang bupati langsung menindak.
Prosedurnya adalah ASN itu dibebaskan dari jabatannya lalu diproses mengikuti mekanisme sesuai aturan yang berlaku.
"Proses pemeriksaan itu berjalan dan dia (ASN) tahu bahwa dia dalam kasus itu diperiksa. Kalau terbukti melanggar aturan kita (Bupati) tinggal tindak lanjut saja. Hukum sesuai dengan aturan yang berlaku," jelasnya.
Terkait sanksi lanjut Frans, dalam aturan kepegawaian biasanya ada beberapa tingkatan sanksi yakni mulai dari sanksi ringan, sanksi sedang hingga berat. Tetapi sebelum menjatuhkan sanksi, ada proses atau tahapan yang harus dilalui.
"Dari pengalaman kita. Kita yang lama itu jarang ya, sampai orang dicopot tanpa suatu sebab. Itu jarang! Kecuali kalau katakan begini ada pegawai malas datang kantor segala macam," tegasnya.
Cerminan etika yang buruk
Penurunan jabatan 26 ASN tanpa dasar yang jelas merupakan cerminan etika yang kurang baik dalam sistem pemerintahan di Manggarai. Seorang pemimpin seharusnya mengambil kebijakan dengan tetap melihat dari aspek etika dan kemanusiaan.
"Kita tidak boleh menghukum seorang pegawai itu langsung dengan hukuman berat," kata Frans Leok.
Ciptakan sejarah buruk
Frans Leok mengatakan, kebijakan menonjobkan puluhan ASN di Manggarai adalah sejarah baru. Hal ini mewariskan sejarah yang buruk dalam pemerintahan di masa yang akan datang. Bahkan saat ini baik pejabat yang nonjob maupun yang sedang menjabat akan terganggu secara psikologi.
"Saya rasa yang langsung merasakan mungkin oleh pegawai itu sendiri. Tapi jangka panjang ini pasti ada," katanya.
Kebijakan ini akan membuat banyak pegawai merasa cemas dalam bekerja. Secara psikologi pegawai merasa terganggu. Para pegawai akan berpikir bahwa suatu saat bisa saja mendapatkan perlakuan yang serupa.
"Jadi iklim itu sudah kurang bagus. Iklim pembinaan kepegawaian, karena bukan tidak mungkin nanti orang yang tidak ada apa-apa tiba-tiba dicopot," katanya.
Atas pengalaman itu, Frans Leok kemudian menyarankan Bupati Nabit dan Wabup Ngabut agar mengambil kebijakan dengan tetap melihat aturan atau undang-undang yang berlaku.
Bupati Nabit dan Wabup Ngabut juga diminta tetap memegang prinsip kemanusiaan. Karena seorang pemimpin seyogyanya harus berpikir luas dan bertindaak bijaksana.
"Artinya kita harus berpikir terbalik juga. Kalau saya memperlakukan orang sepert ini, bagaimana kalau seandainya saya di posisinya dia. Apa bisa menerima tidak?" tanya Frans Leok.
Frans menambahkan, penataan birokrasi telah diatur dalam undang-undang. Di dalam undang-undang itu, ada mekanisme satu tahapan-tahapan yang perlu dilakukan. Bupati harus melaksanakan penataan birokrasi sesuai dengan aturan tersebut.
Selain itu, bupati, kata Frans Leok, semestinya wajib menaati rekomendasi atau masukan dari pemerintah di tingkatan yang lebih tinggi. Misalnya terkait rekomendasi dari Lembaga tertentu seperti KASN.
Sebagai pimpinan pemerintahan di tingkat bawah, Bupati wajib melaksanakan rekomendasi itu.
Sementara untuk bawahannya, Bupati mesti hadir untuk memberikan solusi dan menyelesaikan masalah. Bukan sebaliknya, menciptakan suasana yang tidak nyaman dan menimbulkan perpecahan internal.
"Jangan mau bermasalah daripada kita repot dan pusing kepala. Lebih baik kita cari enak saja. Kalau dia (ASN) punya kesalahan besar sekalipun tinggal dipanggil saja daripada bermasalah karena jabatan sebentar saja. Ketika dipercaya jaga baik-baik itu kuasa jangan sampai nanti kembali menjadi masalah," tutupnya (JH/AN) ***