Mosalaki Lio Paling Inspiratif

Selasa, 21 November 2023 15:51 WIB

Penulis:redaksi

Editor:redaksi

Screenshot 2023-11-21 174537.png
Mgr Vincentius Sensi Potokota (Istimewa)

Oleh: Agustinus Tetiro 
JIKA  kepada saya dilontarkan pertanyaan “Siapakah orang Lio yang paling inspiratif?”, maka jawabannya menjadi sangat jelas: Mgr Vincentius Sensi Potokota. Mengapa? Karena beliau pembaca yang kreatif.

Saya orang Wolotolo dari garis keturunan Bapak. Mgr Sensi orang Saga dari garis keturunan Bapak. Kami orang Lio patrilineal, tetapi soal mencintai ibu, saya pikir kami juaranya. 

Kebetulan yang menyenangkan: ibu saya dan ibu bapa uskup sama-sama dari Wolojita, tempat yang terkenal dengan perempuan-perempuan cantik dengan dialek yang halus lembut.

Jujur saja dari awal, saya kagum pada Uskup Sensi. Saya masih SD ketika beliau memimpin Puspas Ende dan suka membantu pelayanan misa di gereja paroki Wolotolo.  

Kotbahnya bagus, enak dimengerti oleh kami anak-anak SD. Lalu, kalau sedang menunggu misa atau setelah misa jika tidak sedang ngobrol dengan orang, beliau pasti ‘kedapatan’ sedang memegang buku dan membaca.

Suatu ketika, Bapak mengajak saya ke toko buku Nusa Indah di Ende. Bapak saya pembaca novel pujangga baru yang rajin sebelum gangguan katarak menyerang matanya. 

Di Nusa Indah, kami bertemu Romo Sensi sedang membeli banyak buku. Saya makin terkagum-kagum pada pribadi imam ini.

Itu kisah masa kecil saya. Romo Sensi menjadi inspirator bagi saya untuk berani masuk seminari. 

Nah, di seminari lah, saya menemukan orang-orang Lio inspiratif lainnya. Pertama, Romo Domi Balo, orang Detukeli yang mengajar kami Bahasa Latin. 

Romo Domi menjadi model imam tua yang skolastik dalam arti suka belajar. Romo Domi membaca banyak buku tua dan klasik tentang kisah Romawi, Yunani dan peradaban barat lainnya. 

Dari Romo Domi, kami belajar tentang kemampuan kita untuk mencintai sejarah Gereja di barat dan mencari model terbaik untuk gerela lokal.

Suatu ketika, saya membaca tulisan Romo Domi tentang konsep Du’a Ngga’e dalam terang refleksi teologi Katolik. Kendati tidak setuju pada beberapa cara Romo Domi menghubungkan Du’a Ngga’e dengan Tuhan Kristen, saya harus akui bahwa itu tulisan yang kreatif , sebagai karya awal anak Lio merefleksikan imannya dalam saling sumbang ide agama dan budaya.

Kedua, Romo Beni Lalo, orang Saga yang mengajar kami bahasa Jerman. Mengajar bahasa Jerman itu, harus diakui, tidak bisa dilakukan oleh orang dengan imajinasi yang minim. Imajinasi yang tentu saja berbasis pada stok bacaan yang luas. 

Dari lintasan sejarahnya, bahasa Jerman memang “meminjamkan dirinya pada pemikiran filosofis” (Eric Weiner). Anda pasti tahu bahwa hampir setengah dari filosof dunia berfilsafat dalam bahasa Jerman.

Romo Beni adalah pembaca yang rajin. Hampir semua jenis buku dibaca mulai dari sastra dan kebudayaan hingga buku pegangan untuk pendidikan dan teologi. Dan, beliau selalu ingin kita sebagai murid membaca dan terus membaca.

Orang-orang Lio inspiratif lainnya selama kami di Mataloko tentu saja Fr Yance Sengga, musikus yang tekun membuat ringkasan buku sosiologi, Fr Yoris Role yang homilinya selalu menarik—tentu terlahir dari tradisi membaca kreatif, Fr John Seja yang pintar tetapi sangat rendah hati, saudara saya Ignas Suswakara yang sangat pintar sekaligus bisa membuat ide-idenya diungkapkan secara sederhana, saudara saya Wilfrid Beo dan Hendrik Nong yang suka menulis di media seperti koran, saudara saya Boniek Renggo yang puisi-puisinya selalu saya baca, dan saudara-saudara yang lain-lain.

Menarik bahwa ketika diangkat menjadi uskup Maumere, Mgr Sensi dalam kotbahnya pada misa syukur di gereja Wolotolo menginspirasi anak-anak SD, “Aku seleja pu ngere miu na, rio ghawa lowo, nggebha wolo watu, ka uwi kayu butu lamu” (Saya dulu seperti kalian, berenang di kali, berjemur di atas batu, makan ubi kayu yang difermentasi).

**

Saat ini, gerakan literasi sedang menjamur ke segala penjuru negeri. Teman-teman saya di “Buku Bagi NTT” bekerja dengan semangat berbagi yang tinggi untuk mendistribusikan buku ke kampung dan dusun-dusun. Gerakan mereka layak diapresiasi.

Lalu, kita bisa buat apa? Saya membayangkan jika semua sarjana atau perantau dari kampung-kampung di Lio berinisiatif untuk menyumbangkan cukup 10 buku masing-masing orang, maka tidak menjadi mustahil adik-adik kita di kampung bisa melihat alam semesta dari ‘jendela dunia’ (baca: buku) yang lebih berwarna dan lebih kaya itu.

Lalu, mengapa harus buku di tengah era digital ini? Karena, kita harus mengambil sikap untuk melawan budaya menonton yang terlalu manja itu dengan budaya membaca.

 Membaca jauh lebih dahsyat daripada menonton. Ketika engkau membaca novel, otakmu membuat sebuah film. Jika engkau menonton, otakmu dimanja menjadi penelan dari interpretasi orang dan itu tidak pernah membuatmu bangga atau percaya diri.

Membaca membuka wawasan, melebarkan penglihatan dan perspektif, mengasah rasa peduli, tekun pada perjuangan idealisme, dan memungkinkan orang menjadi pribadi jujur sekaligus demokratis. Membaca membuatmu sadar bahwa ada banyak kemungkinan indah di dunia ini.

**

Mengapa saya memulai kisah ini dengan nama Mgr Sensi? Ada alasan yang saya sembunyikan di awal: Beliau anak mosalaki dan kapitan. 

Jika anak mosalaki bisa menjadi contoh dan pada gilirannya menjadi mosalaki yang cerdas dan bijaksana, maka kita akan mendapatkan generasi orang Lio yang gilang-gemilang tanpa perlu terus-menerus ditipu lagi dengan politisi dan caleg yang datang untuk menyogok (baca: money politics) mereka dengan uang yang tidak seberapa, mungkin Rp5 juta, pada acara-acara ritual adat yang sakral itu.

Salam Literasi! Salam Inspirasi! Salam Bangga Menjadi Orang Lio! ***