Tuhan
Kamis, 08 Februari 2024 17:57 WIB
Penulis:redaksi
Editor:MAR
“Bagimu negeri jiwa raga kami...”
(Kusbini, sepenggal dari Bagimu Negeri)
Siapa bilang agama tak mengintikan Tuhan di segalanya. Tesis bahwa Tuhan adalah awal, penyelenggara dan tujuan kehidupan semesta, bagi agama, adalah kepastian. Dan cara bawa diri manusia kepada Tuhan adalah kepasrahan. Di hadirat Tuhan kita bersujudsembah. Kita puji keagunganNya.
Tetapi di hadirat Tuhan, kita pun tentu mesti berteduh untuk menangkap pesan-pesanNya. Untuk memahami sungguh hikmah dan kehendakNya. Ini sesungguhnya adalah ‘mandat dan panggilan keberimanan.’ Dan hal itu tentu terbangun dalam kualitas relasi manusia dengan Allah, Tuhannya.
Benarlah bahwa kita, manusia ini, ‘dijadikan Tuhan untuk membumi.’ Manusia ‘membumi’ dalam daya, potensi, bakat, dan berbagai kesanggupan. Semuanya menjadi tanda berkat Tuhan. Tetapi ‘membuminya’ manusia tentu tetaplah dalam koridor perelasian dengan Tuhan, dengan sesama serta dengan alam lingkungan.
Katakan bahwa perelasian manusia dengan Tuhan ditandai dengan dinamika ‘kesetiaan dalam iman.’
Manusia yang rindukan Tuhannya dan mencari kehendakNya bisa ditangkap sebagai satu pertimbangan sikap beriman yang paling dasar. Namun, apakah ‘kerinduan akan Tuhan’ adalah satu ziarah batin spiritual yang gampangan?
Sekian banyak orang, terutama pada kalangan muda, yang ‘rindukan Tuhan’ namun merasa terhalang oleh institusi keagamaan yang dinilai kaku, penuh aturan mengikat, serta sekian mendominasi. Paradoks suasana batin dialami saat mesti ‘rindukan Tuhan yang membebaskan’ ternyata mesti terasa ‘sesak terpenjara’ dalam institusi keagamaan.
Di rana praktis keseharian, keber-agamaan bisa terkuasai oleh ‘gejolak eforia spiritualitas momental.’ Orang tampak dan bertampil religius hanya menurut ‘ketikanya’ atau seturut ‘saat ada mau-maunya.’ Di situ, Tuhan ‘dikunci dan dikancing’ demi muluskan segala hasrat dan kepentingan sendiri atau kelompok terbatas. Yang terjadi?
Tuhan, dan segala sesuatu yang berkaitan denganNya sebenarnya lagi ‘diperalat sebagai causa instrumentalis.’ Tegasan bahwa “Gereja bukanlah ladang bisnis atau tidak sebagai perusahaan berkat” mesti menjadi alarm yang wajib diseriusi. Tak hanya di lahan bisnis, seruan anti ‘politisasi agama’ juga menggempur kecenderungan manfaatkan agama hanya demi hegemoni kekuasaan.
Pada saat-saat tertentu agama seseorang mesti dipastikan. Apapun yang berkaitan dengan teritori keagamaan didekati. Tentu, ini bukanlah satu keaiban. Sebab, kebaikan dan kepentingan bersama tetaplah menjadi perjuangan bersama di dalam nilai-nilai. Dalam kesalingan sikap korektif penuh cermat dan bijak. Iya, di dalam sikap kesalingan penuh kedewasaan.
Sebab kekuasaan yang diperjuangkan tanpa koreksi gema nilai, akan berpotensi absolut, untouchble serta bakal berbau pengap autoritarianik. Demikian pun (kuasa) agama, yang sepantasnya terbuka pada kenyataan pengalaman keseharian. Yang berjalan bersama sebagai peziarah yang terbuka dalam keseharian untuk bersama-sama mencari demi menemukan kebaikan dan kebenaran. Dan lalu sungguh memperjuangkan kebaikan dan kebenaran itu. Jika tak demikian?
Agama bisa terjerembab dalam ‘ketertutupan dirinya sendiri.’ Dalam alam kesempitan dan ketertupan seperti itu, agama hanyalah menjadi pelayan setia bagi segelintir (pun banyak) penganut yang terjebak dalam apa yang disebut arus “nafsu kemurnian.”
Di rawa-rawa “nafsu kemurnian,” Tuhan telah ‘terusir pergi jauh’ atau juga bahwa ‘Tuhan telah diborgol.’ Sebab Tuhan dengan segala kuat kuasa dan kehendakNya telah diganti dengan ‘kebenaran sendiri, pikiran sendiri, kehendak sendiri, suka-suka sendiri atau pun ketegaran hati sendiri.’
Claiming diri telah mencermati Tuhan dan mendalami kebenaranNya di negeri-negeri nun jauh dan luas membentang (entah ini fakta atau fiktif) toh akhirnya kembali ke ‘habitat asli’ untuk tetap saja mengurung Tuhan dalam tafsir dan pikiran sendiri dalam virus, itu tadi, “nafsu kemurnian.” Dan di situ sikap dasar yang terlahir hanyalah stigma “salah, haram, kafir, sesat, tak terselamatkan” untuk semua ‘yang bukan kita, iya untuk semua yang berbeda dari kita.’
Dalam Alkitab, Tuhan telah tunjukan kegusaran hatiNya. Nabi Yesaya lanjutkan pesan Tuhan bagi Israel, “Bangsa ini mendekati Aku dengan mulutnya dan memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dariKu..” (Yes 29:13).
Seruan Tuhan melalui Nabi Yesaya itu diulangi Yesus saat Ia ingatkan para pendengarNya, terutama bagi para elitis keagamaan, “Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia” (Mat 15:8-9).
Tuhan merasa gusar di hati. Nama, kuasa dan kehendakNya ‘dipakai untuk melindungi kepentingan segelintir orang.’ Sambil mengakali sesama lain, pun demi kepentingan sepihak.
Ternyata, Tuhan itu hadir, tak hanya untuk membebaskan manusia dari segala keterjepitan diri dan hidup. Tetapi, bahwa Tuhan yang ‘dikurung dalam penjara kepentingan sekelompok orang’ juga hendak membebaskan DiriNya sendiri.
Ah, sekiranya Tuhan mesti berseru, “Orang-orang ini memuliakan (sekelompok) sesamanya dengan bantuan kemanusiaan, tetapi hati, pikiran, rencana dan tindakan mereka telah rusakan aura tatanan hidup bersama demi cita-cita hidup bersama yang jauh lebih luas....”
Sekiranya pula kata-kata Kusbini dimaknai seutuhnya, “Bagimu negeri, jiwa raga kami.....”
Verbo Dei Amorem Spiranti